Jumat, Maret 29, 2024

Alasan Mengapa KH Ma’ruf Amin Lebih Penting Bagi Sumatra Barat Daripada Prabowo Subianto

Memilih Prabowo Subianto adalah cara cepat merealisasikan bahaya laten Orde Baru. Meskipun karakteristik Orde Baru sangat tampak-jelas pada Fadli Zon beserta puisi-puisi picisannya, namun tetap saja perpanjangan tangan yang paling nyata dari rezim diktator Orde Baru adalah Prabowo Subianto. Seseorang bisa saja memisahkan Prabowo dari banyak hal, tapi tak seorang anak manusia pun yang sanggup memisahkan Prabowo Subianto dan Orde Baru. Sekalipun sudah tumbang tahun 1998, Orde Baru tetap berurat-berakar melalui tindak-tanduk Prabowo Subianto. Bahkan, dengan kebanggaan yang tiada duanya,  orang-orang sekeliling Prabowo mengatakan bahwa kalau Prabowo menang maka mereka akan mengembalikan kejayaan Orde Baru. Ini adalah pengakuan paling jujur sekaligus paling brutal di abad ini.

Apa pentingnya peringatan bahaya di atas bagi masyarakat Minangkabau?

Bila masyarakat Minangkabau sedang ingin-inginnya membangga-banggakan masa lalu, maka sederet tokoh yang bakal disebutkan hanya berputar di nama-nama itu saja.  Kalau tidak tentang Sutan Sjahrir dengan segala takahnya, pasti tentang Moh. Natsir yang keras dengan politik Islamnya; kalau tidak tentang Hamka yang kharismatik sebagai ulama dan sastrawan, pasti tentang Hatta yang tak bisa dilepaskan dari Soekarno; kalau tidak tentang Agus Salim yang pandai banyak bahasa, pasti tentang Tan Malaka bisa menghilang sekejab dalam pelariannya; dan seterusnya. Atau kalau ditarik garis lebih jauh, paling tidak tersebutlah nama Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, yang merupakan guru dari KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan ketika mereka belajar di Mekah.

Dan di sanalah kisah-sedih itu bermulai. Dalam kebanggaan masyarakat Minangkabau atas kejayaan masa lalu, sesungguhnya terpendam pertanyaan kolektif tentang tidak adanya lagi tokoh besar yang lahir dari Minangkabau. Pertanyaan itu, sayangnya, paling jauh hanya jadi “percik permenungan” belaka. Padahal, kalau kita mau sedikit meneroka ke belakang, maka kemunculan Orde Baru adalah salah satu kata kuncinya.

Tak dapat dipungkiri, berkuasanya Orde Baru adalah momen awal habis-tandasnya gerakan intelektual di Minangkabau.  Rezim Orde Baru adalah rezim anti-intelektual. Seluruh wilayah Indonesia merasakan beringasnya. Khusus untuk Sumatra Barat, program utama Orde baru adalah mencabut akar intelektualitas di Minangkabau sampai ke akar-akarnya, yaitu dengan cara menyingkirkan Surau.

Sejak dekade awal abad 20, khususnya dalam konteks pergolakan politik di era menuju negara merdeka, Sumatra Barat adalah salah satu basis gerakan intelektual di Indonesia, tak hanya dari pendidikan modern, tetapi juga pendidikan surau. Itu sebabnya surau tak bisa dipinggirkan dalam penulisan sejarah intelektual di Minangkabau. Sebagian besar tokoh gerakan nasionalis anti-kolonial di Minangkabau pada era itu merupakan produk pendidikan surau.

Orde Baru sangat sadar dengan kondisi tersebut. Jangan heran bila sasaran utama rezim diktator itu di Minangkabau adalah membabat habis surau. Tapi, Orde Baru tahu bahwa cara melenyapkan surau secara membabi-buta. Orde Baru bekerja dengan cara yang sangat halus, tapi lebih kejam: Mengubah sistim Nagari menjadi sistem Desa. Akibatnya jelas: pola kepemimpinan egaliter Tigo Tungku Sajarangan (Kaum Agama, Kaum Intelektual, dan Kaum Adat) disingkirkan dan diganti dengan pola kepemimpinan tunggal hirarki, yakni Kepala Desa. Lewat pola Kepala Desa itulah tangan Orde Baru bisa sampai ke leher rakyat bawah.

Berubahnya struktur Nagari menjadi struktur Desa bukanlah perubahan istilah belaka, tapi perubahan struktur sosial dan itu mempunyai efek berkelanjutan, salah satunya yaitu terputusnya siklus pendidikan tradisional di mana surau berada di dalamnya sebagai arena penting. Setelah melenyapkan suaru, Orde Baru membagi ruang pendidikan layaknya tempat latihan sirkus: Untuk belajar mengaji ke TPA, untuk belajar ilmu-ilmu modern ke sekolah yang kurikulumnya sudah dikendalikan Orde Baru, untuk belajar adat bahkan hanya lewat ekstrakurikuler ataupun muatan lokal, dan seterusnya.

Surau tidak lagi berada dalam rangkaian infrastruktur pendidikan arus-utama. Surau dan elemen-elemen pendidikan lainnya yang sebelumnya berada dalam satu jejaringan, sejak itu menjadi terasing satu sama lain. Tak terelakkan lagi, bagi generasi selanjutnya, kisah heroik lelaki Minang yang melewati alur ruang surau-lapau-rantau hanya jadi hafalan pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM) saja.

Kini kita tahu, lewat perubahan struktur sosial yang besar-besaran itu, Orde Baru berhasil membabat intelektualitas di Minangkabau. Sudah jelas kiranya mengapa sepanjang Orde Baru, Minangkabau hanyalah sebuah puak yang berbanding terbalik dari beberapa dekade sebelumnya. Dari negeri yang penuh gejolak intelektualitas menjadi negeri yang main aman, patuh, dan penurut. Maka, jangan heran, bila dengan kebanggan yang menggebu-gebu, Soeharto gemar menjadikan Sumatra Barat sebagai provinsi teladan. Bahkan, tak tanggung-tanggung, Soeharto menyebut Sumatra Barat sebagai “anak baik”. Dalam hal itu, Soeharto sungguh benar: Sumatra Barat memang anak yang baik. Tapi, sayangnya, baik karena dibesarkan oleh Bapak yang selalu benar dan suka main tangan.

Ketika Prabowo Subianto ke Sumatra Barat tahun 2015 lalu, ia seperti meneruskan apa yang dikatakan Soeharto. “Sumatra Barat adalah teladan bagi Indonesia,” katanya. Pernyataan itu terdengar seperti pujian. Selayang warga Minangkabau bangga dibuatnya. Tepuk-tangan begitu riuh. Tapi, kalau dilihat apa yang sudah dilakukan Orde Baru di Sumatra Barat, itu justru jadi menyakitkan. Tepuk tangan warga Minangkabau itu lebih terdengar seperti sebuah perayaan atas ketertundukan berpuluh-puluh tahun di bawah rezim diktator.

Namun, ada yang tak kalah menyakitkan. Masih dalam rangka kunjungan tersebut, Prabowo menyanyikan kembali lagu lama itu, “Sumatra Barat merupakan tempat lahirnya tokoh-tokoh besar…”. Lagi-lagi, tepuk-tangan bergemuruh di mana-mana. Akan tetapi, tepuk-tangan itu terdengar seperti cemooh pada diri sendiri, karena tokoh-tokoh besar yang disebut Prabowo tersebut adalah gelombang terakhir intelektual di Minangkabau, sebelum Orde Baru—rezim yang ingin dibangkitkan kembali oleh Prabowo itu—membenamkan segala-galanya.

Tak lama setelah Orde Baru tumbang tahun 1998 dan negara sedang masa peralihan yang penuh ketegangan, masyarakat Sumatra Barat malah disibukkan oleh gerakan Kembali ke Nagari. Runtuhnya Orde Baru langsung dijadikan momen untuk memperbaiki apa yang sudah rusak. Bagi masyarakat Minangkabau, konsekuensi kembali ke Nagari itu sangat jelas, yaitu kembali ke Surau. Tahun 1999, desakan keras masyarakat Sumatra Barat ke Pemerintah Provinsi untuk  Kembali ke Nagari berhasil mendapat landasan hukum.  Suka-cita masyarakat Minangkabau terhadap rencana kembali ke Nagari itu tak kurang meriahnya dari perayaan rakyat Indonesia atas tumbangnya rezim diktator.

Gerakan Kembali ke Nagari memang berhasil mengubah sistem Desa kembali jadi Nagari. Tapi, kini dapat dilihat bahwa gerakan itu belum bisa dikatakan berhasil. Tentu saja mustahil untuk mengembalikan Minangkabau seperti dahulu, paling tidak seperti dekade-dekade sebelum Orde Baru. Telah dilakukan banyak uji coba, mencari-cari formula paling tepat untuk kembali ke sistem Nagari. Berbagai Nagari percontohan telah dibuat, bermacam regulasi sudah disahkan, tapi tetap saja masyarakat Minangkabau belum menemukan bentuk paling tepat untuk kembali ke Nagari.

Persoalannya tentu saja sangat kompleks. Tiga dekade rezim diktator Orde Baru ternyata sudah cukup untuk mengubah secara fundamental tatanan sosial dan budaya di Sumatra Barat, sehingga sangat mustahil mengubah banyak hal dalam waktu yang sebentar. 20 tahun sejak gerakan itu dimulai, toh hasilnya masih jauh dari sempurna. Persoalannya semakin rumit ketika dalam gerakan itu tidak lagi berurusan sepenuhnya dengan usaha membangun kembali Sumber Daya Manusia.

Kembali ke Nagari sudah bercampur-baur antara politik identitas yang sedang kentara pasca Orde Baru; sudah direduksi menjadi perebutan kuasa dari kaum adat yang selama Orde Baru dikerangkeng dalam organisasi Kerapatan Adat Nagari (KAN); sudah menyimpang menjadi politik anggaran melalui pemekaran wilayah; menjadi program tipu-muslihat oleh para politikus yang ingin meraup suara masyarakat tradisional, dan masih banyak lagi. Dengan kata lain, gerakan Kembali ke Nagari tak hanya dihambat habis-habisan oleh warisan struktur sosial Orde Baru, tetapi juga  dipecah-belah oleh kesadaran yang tidak pernah sama. Ini adalah kondisi tak terelakkan dari wilayah yang telah babak-belur dihajar rezim diktator.

Dalam konteks inilah memilih Prabowo Subianto yang terus-terang akan membangkitkan Orde Baru adalah pilihan paling fatal. Prabowo mungkin tak akan mengembalikan Orde Baru dengan bentuk yang sama, tapi ia bisa bertindak lebih berbahaya daripada Orde Baru itu sendiri. Kalau masyarakat Sumatra Barat mau sama-sama belajar dari yang sudah, maka tak ada lagi cerita untuk menghidupkan Orde Baru di ranah Minang. Cukup rasanya selama berpuluh tahun ditekan dan digusuk-gusuk jadi anak baik Orde Baru.

Ma’ruf Amin justru lebih tahu keinginan masyarakat Sumatra Barat yang paling dalam. Dalam kunjungannya dua hari ke Sumatra Barat (7-8 Februari 2019) ia berkomitmen tak akan ada lagi buta Al-Quran di Sumatra Barat. Ini merupakan sebuah terobosan. KH Ma’ruf adalah orang pertama yang berani membuat komitmen seperti itu dengan masyarakat Sumatra Barat. Hal yang sama tak pernah dilakukan oleh pemimpin sebelumnya.

Komitmen KH Ma’ruf Amin jangan dianggap komitmen politisi belaka. Komitmen beliau merupakan komitmen seorang ulama sebenarnya. Masyarakat Sumatra Barat tentu tak akan asing lagi dengan komitmen seorang ulama. Komitmen ulama adalah komitmen yang dibawa sampai mati. Pertanggungjawabannya tidak sekedar pada masyarakat Sumatra Barat, tetapi juga pada Tuhan. Ia telah pasang badan untuk sebuah kehendak bersama masyarakat Minangkabau yang dari dulu ingin terus berlandaskan Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah. Oleh sebab itu, tak ada jalan lain selain mendukung dan mengawal komitmen KH Ma’ruf Amin. Dan terlalu beresiko dan berbahaya bila masyarakat Minangkabau masih saja memilih anak kesayangan Orde Baru.

Selain itu, suatu hal yang tak kalah penting, komitmen tersebut diucapkan KH Ma’ruf Amin dalam statusnya sebagai Calon Wakil Presiden. Ini adalah posisi tawar paling menguntungkan bagi Sumatra Barat. Kalau komitmen tersebut diucapkan dalam status beliau sebagai katakanlah calon ketua institusi agama, dampaknya akan berbeda ketika beliau mengucapkannya sebagai Calon Wakil Presiden. Bila nanti terpilih sebagai Wakil Presiden bersama Presiden Joko Widodo, proses perealisasian komitmen tersebut menjadi program akan lebih mudah dilakukan dengan perangkat yang banyak. Gerakan Islam yang lebih maju, dengan begitu, tak hanya digerakkan dari bawah, tetapi juga didukung dari atas.

KH Ma’ruf Amin pun sudah menyadari potensi itu sejak jauh-jauh hari. Kini sudah saatnya ulama berada dalam struktur negara sebab ulama tak bisa terus-terusan hanya jadi pemberi restu, katanya. Ia mengibaratkan peran ulama selama ini ibarat daun salam: Ketika memasak, daun salam yang pertamakali dimasukkan, dan ketika masakan sudah jadi, daun salam yang pertama dikeluarkan. KH Ma’ruf Amin benar: Ketika ada yang mau jadi presiden, buru-buru minta restu ulama, ketika sudah jadi penguasa, ulama ditinggalkan.  

Oleh sebab itu, posisi Wakil Presiden adalah posisi paling tepat bagi KH Ma’ruf menjalankan komitmennya. Ia tak akan lagi menjadi pemberi restu belaka, tapi sudah menjadi pengawal utama posisi presiden yang dijalankan Joko Widodo. Lewat posisi seperti itulah komitmen KH. Ma’ruf untuk Sumatra Barat akan lebih banyak jalannya untuk direalisasikan. Hal seperti itu tentu akan sangat berbeda dengan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, di mana ulama hanya berada pada posisi pemberi restu dan pengumpul massa belaka. Posisi tawar ulama sebagai kontrol utama atas gerak-gerik presiden tidak ada dalam struktur barisan Prabowo-Sandi. Bahkan mereka menolak Ijtima Ulama!

Selain itu semua, suatu hal yang tak kalah penting, komitmen KH Ma’ruf Amin dalam menjanjikan Sumatra Barat akan terbebas dari buta Al-Quran mempunyai potensi besar untuk menghidupkan gerakan kembali Surau dalam format yang lebih massif. Artinya, ini akan lebih dari sekadar gerakan lokal belaka. Masyarakat Minangkabau tahu bahwa surau bukan sekadar menjadi tempat belajar Al-Quran, tapi memulainya dengan menguatkan pendidikan Al-Quran adalah tindakan yang lebih baik daripada hal-hal lainnya. Sebelumnya KH Ma’ruf Amin mengatakan akan menguatkan kembali pondok pesantren. Tentu saja hal itu berjalinkelindan dengan keinginan masyarakat Sumatra Barat untuk menguatkan sistem pendidikan Surau. Kalau sudah serba-cocok begini, apa lagi yang harus kita lakukan?

Tak ada salahnya bila masyarakat Sumatra Barat segera merespon komitmen KH Ma’ruf Amin itu dengan tawaran-tawaran program yang sekiranya berkaitan dengan pendidikan Al-Quran tersebut. Semenjak KH Ma’ruf mengucapkan komitmen itu maka tak ada jalan yang lebih baik selain segera membuat kontrak politik dengan Joko Widodo – Ma’ruf Amin, misalnya dengan cara memastikan bahwa bila mereka terpilih nantinya maka setiap Nagari di Sumatra Barat paling tidak mempunyai satu ekosistem surau.   

Suatu ekosistem surau tidak sekadar satu bangunan surau saja. Kalau soal bangunan saja, sangat gampang membuatnya. Tidak terlalu butuh “peran negara” kalau cuma untuk mendirikan satu-dua bangunan surau. Melainkan juga termasuk komponen-komponen yang menghidupkannya, seperti regulasi pendidikan tradisional, regenerasi alim-ulama, penguatan cerdik-pandai, pemberdayaan ninik-mamak, penguatan seni dan silat, dan seterusnya.

Itulah paling tidak, tawaran paling sangat sederhana, untuk merespon komitmen KH Ma’ruf Amin. Tentu saja ada banyak tawaran yang akan bermunculan dari masyarakat Sumatra Barat untuk membuat kontrak politik dengan Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin.  Dan itulah yang mesti segera dilakukan oleh masyarakat Sumatra Barat: Memunculkan tawaran demi tawaran dari berbagai wilayah. Kini saatnya masyarakat Sumatra Barat, khususnya Minangkabau, berfokus pada pengawalan komitmen KH. Ma’ruf Amin tersebut. Tak ada waktu untuk membiarkan Orde Baru kembali memporak-porandakan masyarakat Minangkabau!

Sebagai ucapan terimakasih atas komitmen berani dari KH Ma’ruf Amin untuk masyarakat Minangkabau, saya akan memberi hadiah penghormatan sederhana untuk beliau, yaitu sebuah pantun:

Luruih jalan ka Solok

Ka kida jalan ka Sangka

Kok dapek ciek nan elok

Manga pulo nak ka dituka

 

(Lurus jalan ke Solok

Ke kiri jalan ke Batusangkar

Kalau sudah ada satu yang elok

Untuk apa pula mesti ditukar)

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.