Selayaknya kebanyakan perempuan di negeri ini, aku selalu menjadi kelas dua dalam sistem sosial dan budaya di negeri yang masih sangat patriarkis ini. Kami tidak memiliki akses terhadap ekonomi, sosial, politik, perlindungan diri, pendidikan, seluas dan sebebas laki-laki sebagai golongan kelas satu.
Selayaknya kebanyakan ibu rumah tangga di negeri ini, aku harus pandai memastikan stabilitas keluarga dalam segala kondisi. Aku harus bisa memastikan suami dan anak-anakku tetap memakan menu bergizi, memastikan anak-anakku mendapatkan kasih sayang dan pendidikan yang layak, memastikan suamiku mendapatkan perhatian terbaik, saat ekonomi keluarga sedang buruk. Bahkan, aku masih harusk turut bekerja di tengah melakukan semua tanggung jawab tersebut.
Saat ekonomi keluarga sedang baik, aku pun harus memastikan kondisi tersebut tetap terjaga. Menyisihkan uang untuk tabungan masa depan. Meskipun dengan konsekuensi mengorbankan keinginan pribadiku untuk membeli ini dan itu.
Apa aku mengeluh? Tidak. Justru itu membuatku menyadari bahwa seorang perempuan, baik yang menjadi ibu rumah tangga maupun tidak, adalah sosok sentral dalam kehidupan. Itu membuatku bangga.
Namun, aku tidak terlena dengan kebanggan itu. Segala keterbatasan pada perempuan harus didobrak. Perempuan tidak boleh lagi sebatas menjadi objek laki-laki karena ketulusan, keteguhan, dan kesetiaanya. Perempuan harus sejahtera. Perempuan harus memiliki akses ekonomi, kesehatan, pendidikan, perlindungan diri, dan politik seluas laki-laki. Menurutku, semuanya sangat mungkin terjadi saat ini.
Sebagai seorang politikus, menurutku memilih secara rasional presiden yang berpihak pada perempuan adalah bagian dari perjuangan untuk mewujudkannya. Sebab, di tangannyalah kebijakan-kebijakan yang memihak perempuan dapat terwujud. Dan pilihanku di Pilpres 2019 jatuh kepada Joko Widodo (Jokowi).
Kamu mungkin meragukan pilihanku adalah rasional lantaran aku seorang kader PDIP. Sama sekali tidak. Aku memilih Jokowi bahkan sebelum ia mendapat rekomendasi dari partaiku untuk menjadi capres pada Pilpres 2014. Bersama beberapa politikus senior di PDIP, saat itu, aku turut memperjuangkan Jokowi untuk mendapatkan rekomendasi. Syukur, itu berhasil. Ia menjadi capres lantas terpilih sebagai presiden.
Pertimbanganku berjuang untuk Jokowi saat itu, karena aku melihat track record-nya di masa lalu sebagai pejabat serta pribadi, dan konsepnya untuk masa mendatang.
Sebagai pribadi, Jokowi adalah seorang bapak rumah tangga yang tidak memiliki rekam jejak menyakiti istri dan anak-anaknya. Rumah tangganya harmonis, meskipun statusnya sebagai pengusaha dan pejabat sangat mungkin membuka ruang baginya untuk “main-main”. Tapi itu tidak dilakukannya karena kesetiaannya pada keluarga. Menurutku, kesetiaan pada istri dan keluarganya menunjukkan ia memiliki modal besar untuk berkomitmen dan berpihak kepada perempuan.
Sebagai pejabat, dari wali kota Solo sampai gubernur DKI Jakarta, Jokowi membuat telah menjebol mental block yang selama ini menempatkan perempuan di kelas kedua. Ia mengangkat perempuan sebagai komandan Satpol PP, jabatan yang selalu dianggap maskulin dan hanya layak diisi laki-laki. Menurutku itu sebuah terobosan besar yang seperti mimpi akan dilakukan pejabat daerah di negeri ini.
Hasilnya, pendekatan kekerasan yang selama ini dilakukan Satpol PP dalam melakukan penertiban masyarakat pun berubah lebih manusiawi di daerah yang dipimpinnya. Pemimpin daerah lainnya pun akhirnya mengikuti kebijakan Jokowi. Seperti di Kediri yang saat ini komandan Satpol PP dijabat perempuan.
Dalam diskusi-diskusi denganku, Jokowi kala itu banyak memaparkan konsep tentang pemberdayaan perempuan. Seperti komitmennya mengangkat banyak perempuan menjadi menteri yang sangat aku setujui. Karena, itu adalah terobosan besar untuk memberi akses kepada perempuan secara politik setelah perpolitikan negara ini begitu lama terkungkung dalam nalar militeristik maskulin selama Orde Baru (Orba).
Begitu pula komitmennya menjamin kesejahteraan perempuan di bidang ekonomi, meningkatkan mutu pendidikan perempuan, menjamin perlindungan sosial, serta menjamin kesehatan perempuan.
Sampai saat ini, aku tidak melihat perbedaan dalam diri Jokowi. Ia tetap seorang suami, bapak dan kakek yang setia kepada keluarganya. Ia pun telah membuktikan berpihak kepada perempuan selama menjabat periode pertamanya. Maka, tidak ada alasan bagiku untuk berpindah pilihan.
Jokowi Terbukti Berkomitmen terhadap Perempuan
Menurutku, Jokowi selama kurang lebih lima tahun ke belakang setidaknya telah berpihak kepada perempuan dalam dua hal: memberi access tools dan meringankan daily life perempuan.
Dalam studi feminisme, yang membuat sistem patriarki bertahan karena perempuan tidak diberikan access tools—bahasaku:perempuan dikurung sebatas dapur dan kasur, tidak boleh lebih dari itu.
Dengan mengangkat delapan menteri perempuan di pelbagai bidang penting, Jokowi telah memberikan access tools kepada perempuan melalui politik untuk mengatur hajat hidupnya. Para menteri tersebut juga telah membuktikan bisa berprestasi. Bu Sri Mulyani, Bu Retno Marsudi, dan Bu Susi Pudjiastuti mendapat penghargaan internasional di bidangnya masing-masing.
Delapan menteri tersebut juga telah mampu membawa perubahan pola pemerintahan. Mereka turun langsung ke lapangan untuk mendengarkan keluhan masyarakat. Terutama dari kaum perempuan. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan tepat sasaran bagi kepentingan publik. Hal ini mungkin dilakukan karena mereka memiliki rasa keibuan.
Sertifikat tanah gratis dan program Pemodalan Nasional Madani (PNM) Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (MEKAAR) adalah wujud pemberian access tool bagi perempuan secara ekonomi dan modal. 60 persen penerima sertifikat tanah gratis adalah perempuan. Aku menyaksikan sendiri, di Blitar itu yang antre saat pembagian sertifikat tanah kebanyakan perempuan. Mereka jadi berdaya. Punya alat produksi karena tanah menjadi milik mereka sepenuhnya.
5 juta perempuan menerima PNM MEKAAR. 5 million people is a big number untuk satu periode pemerintahan. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya di negeri ini 5 juta ibu-ibu ujuk-ujuk mendapat modal usaha, meskipun itu baru untuk modal mikro. Tapi banyak yang aku tahu juga sudah mulai bergerak ke UMKM.
Lalu pemberian subsidi pembangunan rumah. Walaupun angka bantuannya tidak besar, hanya Rp30 juta, tapi sangat membantu untuk keluarga baru. Mereka bisa menggunakannya untuk DP rumah subsidi yang cicilanya juga murah. Sehingga mempunyai tempat tinggal dan bisa menjalin keluarga baru secara mandiri. Sementara tabungan mereka bisa digunakan buat ngopeni anak dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Keberhasilan Jokowi menekan angka inflasi di angka 3 persen atau melebihi targetnya pada Pilpres 2014 sebesar 5 persen dan menjadikan Indonesia negara dengan tingkat inflasi terendah di Asia, sangat meringankan kebutuhan sehari-hari perempuan. Harga kebutuhan dapat ditekan. Ibu-ibu bisa berbelanja dengan murah dan lebih mudah mengatur keuangan keluarga.
Pembangunan infrastruktur juga memudahkan perempuan untuk melakukan mobilitas kesehariannya. Mereka lebih mudah untuk ke pasar. Baik untuk membeli kebutuhan rumah tangga maupun untuk berjualan. Jelas itu memangkas ongkos dan mengurangi risiko dalam perjalanan. Buat perempuan yang mudik setiap tahun dari Jakarta ke Jawa Tengah atau Jawa Timur, mereka tidak perlu lagi terjebak macet berjam-jam yang berisiko pada keselamatan jiwanya. Tentu saja, ongkos perjalanan juga terpangkas.
Maaf, ya, pernyataan kita tidak makan infrastruktur dari oposisi itu bodoh banget dan membodohi. Bagaimana perempuan tidak bergantung pada infrastruktur kalau cost dalam rumah tangga itu ada di transportasi.
Ibu-ibu Papua hepi setelah ada tol laut. Karena tol laut, harga semen yang dulunya satu sak Rp700 ribu sampai Rp1juta sekarang bisa sama dengan di Jawa, sekitar Rp70ribu. Dana akhirnya bisa dialihkan untuk kebutuhan hidup lainnya. Belum lagi harga BBM yang sudah rata. Jangan lupa BBM ini sifatnya multiplier. Kalau BBM murah, maka harga-harga lain lebih murah.
Mereka juga sangat gembira ketika listrik untuk pertama kali dalam hidupnya masuk ke dalam rumah tangga secara meluas. Jangan lupa listrik itu modal untuk kemajuan di bidang-bidang kehidupan lain. Di bidang usaha, relasi sosial, dll.
Hal-Hal inilah yang banyak dikaburkan dan tidak di-highlight oleh oposisi dan luput dari media. Sampai pada akhirnya mengamini bahwa hidup lebih sulit, perekonomian lebih sulit.
Jokowi memang tidak memilih istilah emak-emak seperti halnya kubu oposisi. Tapi istilah menurutku hanya secondary issue. He has done many things untuk perempuan. Lagi pula, istilah perempuan juga lebih luas. Tidak hanya untuk ibu-ibu saja, tapi remaja dan anak-anak. Jokowi ingin memperhatikan semuanya. Semua perempuan harus tangguh.
Caring, nurturing, nursing, itu ada di sosok Jokowi. Maka lebih baik sebagai perempuan kita berpikir rasional dan memilihnya untuk perjuangan kita sendiri.