Membangun desa sendiri bukanlah hal baru. Ia kisah lama, bahkan teramat panjang bila direntang. Dana Desa dengan cepat naik ke panggung utama pembangunan.
Dana Desa jadi program idola karena beberapa perkara. Pertama, dana itu langsung diberikan ke desa, setelah ditransfer dari rekening pusat ke kabupaten. Kedua, desa jadi subyek. Program diputuskan oleh desa dan warga lewat musyawarah desa (Musdes). Otoritas desa penuh karena dijamin oleh UU Desa No. 6/2014. Ketiga, seluruh kegiatan mesti menghidupkan potensi lokal: orang, material, juga nilai (lokal).
Semangat keswadayaan dan swakelola yang dikejar. Singkat kata, dengan cepat gerakan pembangunan desa membuncah, aneka kreativitas meluap. Beruntung saya pernah mengawal program ini sejak tahun pertama.
Tiap desa punya cerita. Menjelang petang saya tiba di Desa Pa’bentengan Kabupaten Maros (Sulsel) hendak menyiapkan kedatangan Presiden (Pak Jokowi) yang ingin melihat pemanfaatan Dana Desa (2016). Kepala Desa (Kades) dengan semangat menceritakan kemajuan desanya. Dari mulai bangun jalan desa sampai pelatihan warga. Saya tentu juga senang dengan kisah bahagia tersebut.
Namun, di antara warta itu, saya terkesiap dengan program pengadaan air bersih. Warga desa selama ini kesulitan memperoleh air bersih, juga sebuah gambaran dari desa-desa lainnya.
Banyak desa yang memanfaatkan Dana Desa untuk air bersih, tapi yang ini agak spesial. Kadesnya menghibahkan tanah pribadi sebagai lokasi produksi air bersih. Mesin dan pipa untuk menyalurkan air bersih baru diambil dari Dana Desa.
Hasrat pemimpin untuk memberi dan menghibahkan sumber dayanya itu yang amat berharga. Ketika sebagian orang punya pandangan miring kepada aparat desa, laku Kades ini menghidupkan kembali nyawa seorang pemimpin. Semangat kerelawanan mekar bergandengan dengan komitmen pemerintah. Sekarang warga desa itu ceria, hidup mereka makin tertata.
Kisah yang hampir sama juga terjadi di Desa Sungai Bakau Besar Laut (SBBL), Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Pada tahun pertama (2015), Dana Desa dipakai untuk membeli mesin pengolah air dan perangkat listrik energi surya. Listrik di sana belum ada. Pembangkit itu yang dipakai untuk menyalakan mesin pengolah air bersih. Dengan perangkat itu air bersih tersedia untuk warga desa. Iwan, Kades SBBL, tak henti menginisiasi dan mengawasi program tersebut. Seluruh waktunya dihabiskan untuk memastikan pelayanan sosial dasar sampai ke warga. Hari demi hari, pekan demi pekan.
Masalah tak lantas usai. Warga yang tinggal agak jauh, dan belum bisa mengakses air bersih, mesti datang langsung ke sentra pengolahan tersebut. Tidak efisien dan hanya dapat ambil air dalam jumlah kecil. Akhirnya musyawarah dibuat dan diputuskan tahun depannya lagi (2016) Dana Desa digunakan membeli pipa untuk disalurkan ke masing-masing rumah warga. Sekarang, tiap rumah tangga sudah dialiri air dan warga hanya membayar Rp 6000/bulan. Program ini juga menghidupkan organisasi ekonomi desa, yakni Bumdes (Badan Usaha Milik Desa). Operasionalisasi program ini sehari-hari dikelola oleh Bumdes tersebut.
Itulah sekelumit kisah pembangunan desa yang dipicu oleh Dana Desa. Gerakan pembangunan (bukan sekadar aktivitas pembangunan) telah bersemi. Warga bersuara karena desa punya rongga. Kewenangan desa dijalankan sebab pemerintah disiplin menegakkan aturan. Partisipasi meruap di lapangan dengan segala keterbatasan.
Musyawarah desa hidup, warga desa datang dengan agenda yang didiskusikan. Semangat kerelawanan menyala, memberikan apa pun yang dimiliki: tenaga, pikiran, waktu, uang, tanah, dan seterusnya. Gotong royong marak kembali.
Program direncanakan bersama dan dieksekusi secara berjamaah.
Memang masih jauh dari sempurna, tetapi benih pemberdayaan telah menjelma. Revolusi Dana Desa: Desa Bicara!