Di sela-sela rapat konsultasi Komisi Nasional HAM yang diikuti puluhan aktivis serta penyintas Tragedi 65-66, Jumat pekan lalu (9/12), nama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tiba-tiba disentil oleh salah satu peserta. Ini berkaitan dengan kasusnya yang masuk dalam naskah ujian siswa SMP Muhammadiyah 1 Purbalingga, Jawa Tengah. Foto naskah tersebut viral di jejaring sosial.
Sungguhpun Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pengurus Daerah Muhammadiyah setempat sudah mengklarifikasi dan meminta maaf, kejadian ini sebenarnya mengkonfirmasi betapa membuncahnya pesona—atau lebih tepatnya kebencian terhadap—suami Veronica Tan ini.
Sedemikian kuat “pesona” Ahok di soal ujian nomor 48 sehingga mengaburkan kejelian kita pada nomor 50. Di sana, pembuat naskah ujian telah berupaya begitu lembut, cerdik, dan sekaligus tendensius menggiring siswa-siswi memilih huruf ‘d’ (PKI Kafir) sebagai jawaban atas pertanyaan “Parpol yang tidak mengenal Islam, bahkan memusuhinya adalah…”
Kafir Politik
Kafir adalah label teologis tertinggi untuk menyatakan seseorang berbeda keimanan. Kamus Meriam Webster (2016) menerjemahkan “infidel” (kafir) sebagai entitas non-Kristiani atau yang melawan kekristenan. Al-Qur’an, menurut Adams (1995), menyebut setidaknya 482 kata “kufr” dan tidak memberikan makna tunggal.
Menolak mempercayai keesaan Tuhan (QS. 3:70-71, QS. 5:73, QS. 10:68) dan/atau tidak bersyukur terhadap nikmat yang telah diberikan-Nya, keduanya sama-sama bisa dilabeli kufr.
Dalam perkembangan politik Islam, istilah kafir telah bermetamorfosis sebagai piranti dahsyat komunitas melawan kekuatan kolonial yang mencekik mereka.
Saat perang kemerdekaan, umat Islam Indonesia memberi label kafir kepada Belanda, Jepang maupun Sekutu. Tujuannya, agar umat Islam tersulut kebenciannya sehingga ikut dalam front perjuangan kemerdekaan (Kuntowijoyo 1987; Amiq 1998). Itu sebabnya term kafir tidak bisa dijauhkan dari kuasa politik.
Segera setelah Indonesia merdeka, sebagian besar elite politik Islam merasa sangat kecewa dengan kelompok komunis dan nasionalis karena dianggap sebagai aktor di balik suksesnya serimpungan ide formalisme Islam yang mereka perjuangkan.
Khusus terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), hampir semua elite Islam menaruh perhatian sangat serius mengingat partai ini dianggap rival politik terkuat. PKI memang dikenal punya sistem rekrutmen dan kaderisasi yang modern dan militan sehingga sulit ditaklukkan (McVey 1990).
Begitu kuatnya pesona PKI di akar rumput, partai ini baru bisa dikubur secara mengenaskan setelah ditawur 3 raksasa politik: militer dengan senjatanya, kelompok agama dengan fatwa kafir dan paramiliternya, serta Amerika Serikat dengan suplai informasi dan dana.
Namun apakah PKI sendiri tidak mengenal dan bahkan memusuhi Islam? Terus terang saya ragu. Partai Nahdlatul Ulama di bawah komando KH Wahab Hasbulloh dan PERTI ikut berintegrasi dengan PKI di dalam payung NASAKOM kala itu.
Aidit, salah satu ikon sentral PKI yang merupakan putra tokoh Partai Masjumi Belitung, tidak hanya telah bersunat, tapi juga khatam al-Qur’an berkali-kali sebagai “syarat” agar bisa meneruskan studi ke Batavia. Dia juga menikahi Soetanti secara Islam di hadapan penghulu KH Raden Dasuki, tokoh PKI Solo (Zulkifli & Hidayat 2010).
Secara politik, Aidit dan PKI dibenci setengah mati oleh dua parta—imeminjam istilah Aidit— reaksioner: Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. Khusus partai pertama, Remy Madinier (2015; 1999) menjelaskan detail kiprah politik Masyumi dalam menegakkan formalisme Islam di Indonesia serta bagaimana partai ini pecah kongsi dengan NU.
Masyumi dan para pendukungnya, termasuk Muhammadiyah dan PII, pernah ngamuk berat gara-gara pidato Aidit di hadapan kader PKI Malang pada 28 April 1954. “Nabi Muhammad SAW bukanlah milik Masjumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masjumi. Memilih Masjumi sama dengan mendoakan agar seluruh dunia masuk neraka. Masuk Masjumi itu haram dan masuk PKI itu halal!”
Saat podium Aidit dikepung massa Masyumi dan memaksanya mencabut ucapannya, ayah Ibarruri ini menuruti. “Saya minta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti-agama.”
Saya sendiri merasa agak susah menyebut PKI anti-agama mengingat partai ini, menurut Ajip Rosidi, pernah mendirikan sayap Ikhwanul Muslimin. Hingga saat ini saya juga belum pernah mendengar PKI mensyaratkan anggotanya harus menanggalkan agamanya terlebih dahulu jika ingin bergabung apalagi memecat anggotanya yang Muslim.
Sungguhpun demikian, Masyumi tetap bergeming. Partai Islam terbesar ini kemudian, sebagaimana ditulis Hari Efendi (2013), membentuk Forum Anti Komunis (FAK) di tahun 1954. Sayap politik yang dikomandani Isa Anshary ini kemudian mengeluarkan fatwa seputar kafir dan sesatnya PKI.
“…… 3) Berdasarkan segala jang tersebut itu, njatalah bahwa komunisme itu menurut hukum Islam adalah kufur. 4) Barangsiapa jang menganut komunisme dengan pengertian kesadaran dan kejakinan akan benarnja faham komunisme jang njata-njata bertentangan, menentang dan memusuhi Islam itu, maka ia hukumnja kafir. 5) Seorang muslim yang mengikut komunisme atau organisasi komunis dengan tidak mempunyai pengertian, kesadaran, dan kejakikan atas hakikat falsafah, adjaran tudjuan dan tjara-tjara perdjuangan komunis maka ia adalah sesat dari agama Islam.
……. “.
Namun sayang, partai Islam lainnya seperti NU dan PERTI tidak satu suara dengan Masyumi. Meskipun belakangan, setelah diprovokasi oleh anasir Masyumi dan militer pasca G30S 1965, banyak kiai NU Jawa Timur menyebut PKI sebagai kafir harbi sehingga pembantaian terjadi eskalatif (McGregor 2009; Hasyim 2007; Abiyoso & Herfanda 1995; Basri & Anam 1994; Fealy & McGregor 2010).
Usai pemusnahan PKI secara fisik, dengan dukungan partai politik, ormas agama, dan Barat, militer sukses membakukan kekafiran dan kesesatan PKI/Komunisme melalui sidang MPRS akhir Juni hingga awal Juli 1966.
Ibarat pepatah sekali dayung dua pulau terlampaui, proses politik yang menghasilkan kesepakatan memborgol komunisme—dengan stigma ateis dan anti-Pancasila—melalui TAP MPRS Nomor XXVI/1966 tersebut sekaligus menjadi pintu masuk memapras NASAKOM dan akhirnya menenggelamkan Presiden Soekarno sekaligus (Mujiburrahman 2006).
Menyambut Rekonsiliasi
Bagi saya, menyimpulkan PKI tidak mengenal—dan bahkan memusuhi—Islam tidaklah sepenuhnya tepat. Yang konsisten dikritik PKI kala itu adalah sebagian partai Islam, yakni Masyumi.
Saya bisa katakan mengkritik kelompok Islam tidak berarti mengkritik Islam. Islam tidak sama dengan organisasi Islam. Jika saya, misalnya, mengkritik Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak serta merta saya tengah merendahkan Islam, meski semua yang ada di MUI beragama Islam.
Dalam konteks rekonsiliasi 65, secara jujur bangsa ini harus mengucapkan terima kasih kepada pembuat naskah soal ujian tersebut. Terutama karena ia telah menyadarkan kembali publik menyangkut prasyarat penting terjadinya rekonsiliasi 65 di akar rumpur. Dalam forum di Komnas HAM pekan lalu, saya menyatakan bahwa kesuksesan rekonsiliasi hanya bisa terjadi sepanjang kita mampu mematahkan pewarisan memori publik terkait tiga hal: PKI tidak anti-tuhan, tidak anti-Pancasila, dan tidak ada “dosa waris”.
Kesalahan segelintir elite partai dalam G30S tidak bisa menjadi pembenar dilakukannya serangkaian kekerasan terhadap anggota partai. Tanpa pematahan itu berdasarkan fakta sejarah, rekonsiliasi akan berjalan setengah hati dan tetap menyisakan duri. Wallahu a’lam bi al-shawab.