Foto-foto Aksi 212 di Jakarta beberapa hari lalu membuat tidak sedikit pendukungnya membusungkan dada. Bukan hanya karena tidak adanya aksi brutal seperti pada 411 sebelumnya, namun demo Bela Islam III bisa dikatakan sebagai demonstrasi terbesar dalam sejarah gerakan umat Islam Indonesia. Tidak ada data pasti berapa jumlahnya, namun angkanya diperkirakan 500 ribu-1 jutaan.
Slogan dan kecaman kasar terhadap Ahok begitu mudah ditemukan selama aksi. Saya kira isu penistaan tidaklah menjadi faktor tunggal kebencian mereka terhadap Ahok, terdapat akar historis yang menjadi bensin menggelorakan kebencian terhadapnya.
Membelenggu Tionghoa
Sudah tidak terhitung berapa ratus artikel dan jutaan komentar di jejaring sosial dimuntahkan menyoal kiprah Ahok di Jakarta. Respons publik semakin mengeskalasi tatkala Buni Yani sukses menggunting pidatonya di Kepulauan Seribu.
Di luar keragaman analisis yang telah dimunculkan, nampaknya cukup sedikit pihak yang membongkar narasi masa lalu menyangkut tiga identitas; Tionghoa-Jawa-Islam, dalam hiruk pikuk Ahok.
Jika political genocide 1965 dianggap lorong paling kelam dalam sejarah kontemper Indonesia, saya bisa katakan tidak pernah ada persekusi atas nama kebencian etnis paling kejam melebihi yang menimpa Tionghoa, baik sebelum maupun sesudah abad ke-20.
Melalui buku Tionghoa dalam Pusaran Politik, yang mengantarkannya meraih Wertheim Award 2008, Benny G Setiono memapar secara detail dan cermat ragam kejahatan kemanusiaan yang menimpa etnisnya, mulai dari pembunuhan, pemerkosaan, penjarahan, penyiksaan, perbudakan, hingga sunat paksa. Lengkap beserta lokasi, waktu, dan eksak kuantitasnya.
Meski sama-sama pendatang, etnis Arab dan India di Indonesia relatif tidak pernah diusik. Sedangkan Tionghoa sebaliknya. Tidak ada ras setangguh Tionghoa jika kita mau mengamini Jan Pieterszoon Coen, bos VOC Batavia 1627-1729).
Namun begitu, menurut ART Kemasang (1981), Tionghoa tetap mempunyai kelemahan fundamental, yakni tidak memiliki semacam lem perekat dalam bentuk ideologi atau agama, tidak seperti ras Arab atau India. Ini yang menyebabkan Tionghoa mudah dimanipulasi oleh rezim yang berkuasa kala itu—kelompok aristokrat Jawa maupun VOC.
Saat Nusantara masih jahiliyah tidaklah sulit menemukan Tionghoa kaya. Namun karena tidak punya jabatan politik mentereng—tanpa memeluk Islam terlebih dahulu, hidup etnis Tionghoa selalu dipenuhi bayangan ketakutan.
Bagaimana tidak, di banyak kerajaan Jawa, telah diterapkan hukum sita kekayaan. Kalau ada Tionghoa meninggal, secara otomatis kekayaannya menjadi milik penguasa (raja dan bawahannya). Jika melawan, akan digunakan kekuatan koersif-militeristik.
Itu sebabnya, saat banyak Tionghoa Banten dipaksa Kompeni pindah ke Batavia untuk meramaikan kota metropolis pertengahan abad ke-18, raja Banten marah dan tetap menghukum Tionghoa tersebut. Ujung-ujungnya agar kekayaannya tetap jatuh ke tangan penguasa lokal (Meilink-Roelofsz; 1962).
Hukum jahiliyah Jawa saat itu adalah “silakan membangun kerajaan bisnis, namun jangan pernah bermimpi punya jabatan politik-strategis”. Bisa dikatakan Tionghoa adalah rivalitas utama aristokrat Jawa saat itu—bahkan hingga sekarang.
Uniknya, Tionghoa akan dianggap sebagai “pribumi” manakala mau tunduk dan berserah diri pada aturan dan tata nilai Jawa. Salah satunya adalah melakukan konversi ke Islam, bersunat, dan harus sadar posisi sebagai “Jawa swasta”.
Bagi Tionghoa yang demikian, mereka bisa menikahi perempuan pribumi dan secara otomatis akan dianggap sebagai pribumi—dengan segala hak dan kewajibannya. Banyak keturunan Tionghoa-Muslim yang punya jabatan penting kenegaraan kala itu, sebut saja Raden Patah atau Putri Ong Tien Cirebon (Campbell 1915; Raffles 1830; De Graff & Pigeaud 1984).
Perlu dicatat bahwa urusan kawin-mengawin ini punya sejarah agak pelik. Saat Perang Jawa (1825-1830) berkobar, adalah Pangeran Diponegoro yang melarang seluruh pasukannya mengambil perempuan Tionghoa sebagai gundik, selir atau—lebih-lebih—istri.
Diponegoro meyakini perempuan Tionghoa pembawa sial menyusul kekalahan telaknya di medan Perang Gowok (1826). Mungkin agak sulit dipahami, namun Diponegoro sendiri mengaku hal ini disebabkan ia dipijit oleh amoy, malam hari sebelum turun laga di Gowok. Keyakinannya semakin menebal tatkala Raden Tumenggung, ipar Diponegoro, juga menderita kekalahan di pesisir utara Jawa persis setelah beradu peluh dengan amoy asal Lasem (Carey, 2011, 1984).
Sangat mungkin Tionghoafobia yang diwariskan secara turun-temurun oleh Kompeni dan diperkuat oleh “Diponegoro affair” menetesi terus memori kolektif Islam-Jawa, serta menjadi jawaban mengapa, misalnya, tidak sedikit kampung yang bernama “Kauman” di banyak wilayah Jawa masih steril dari anasir-anasir Tionghoa-nonmuslim. Saya dengan jujur menduga-duga, politik penguasaan tanah di Jogjakarta yang hingga saat ini masih mengunci rapat syahwat kepemilikan Tionghoa juga dipengaruhi oleh warisan fobia ini.
Ahok Sang Penantang
Meski konstitusi telah menghapuskan seluruh hukum jahiliyah yang pernah bercokol di Nusantara, kitab suci yang bernama Pancasila dan UUD 1945 tidak serta merta mampu membendung warisan historis yang menyusup melalui sistem pendidikan dan pranata sosial kita. Ahok memang pernah membuktikan dirinya mampu menerabas hukum-hukum kuno itu di Belitung Timur. Namun, Jawa—dengan seluruh pengalaman yang membentuknya hingga sekarang—adalah koentji!
Ahok seperti tengah berjuang mendapatkan tanah di Jogjakarta. Anda boleh tidak percaya, namun dalam hiruk pikuk Pilkada Jakarta, sosoknya babak belur bukan karena skandal al-Maidah 51 an sich. Lebih jauh, suami Veronica ini laksana tengah memegang panji konstitusi melawan raksasa penjaga tradisi Islam di Jawa masa lalu yang terus mewirid; Tionghoa-nonmuslim yang tidak mau tunduk terhadap kemauan elite Islam dan unggah-ungguh Jawa terlarang menjadi imam politik di ibukota negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Seperti halnya Gus Dur dan Cak Nur, saya sendiri memilih berdiri di belakang konstitusi. Entah Anda.
Baca juga