Ramadhan bulan penuh berkah. Di bulan Ramadhan, pahala kebaikan dilipatgandakan. Diamnya, atau bahkan tidurnya orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, berpahala. Setan, iblis, dan yang sejenisnya dibelenggu dalam bulan Ramadhan. Dan, di dalam bulan Ramadhan, terdapat lailatul qadar, malam yang diyakini—jika kita berbuat kebajikan—nilainya lebih baik dari kebajikan yang kita lakukan di hari-hari biasa selama seribu bulan.
Itulah Ramadhan yang seharusnya (de jure), Ramadhan in optima forma. Lantas bagaimana Ramadhan yang kita alami secara de facto. Betulkah Ramadhan (selalu) membawa berkah?
Ramadhan tentu saja membawa berkah, namun manusia bisa mengubah yang berkah menjadi kutukan. Untuk sebagian orang, Ramadhan bisa menjadi “kutukan” (dalam tanda petik, untuk menghindari kesalahpahaman). Berkah bisa menjadi kutukan pada saat kita tidak mampu memanfaatkannya secara konstruktif. Apalagi jika kita hanya bisa memanfaatkannya secara destruktif.
Dalam Islam, ada kaidah umum bahwa segala sesuatu tergantung pada niatnya. Artinya, suatu tindakan (perbuatan) pada dasarnya netral atau bebas nilai. Suatu tindakan bisa bernilai pada saat diniatkan untuk kebajikan, untuk sesuatu yang bisa memberi manfaat baik untuk diri sendiri atau orang lain, juga untuk sesama makhluk Tuhan di muka bumi. Karena niat itulah, tindakan kita bisa bernilai.
Bahkan, tindakan yang sejatinya merupakan ibadah mahdhah (ibadah yang diperintahkan secara formal) seperti salat, zakat, puasa, dan haji, tidak serta merta bernilai ibadah di mata Allah, kecuali jika kita melakukannya dengan keikhlasan dan ketulusan. Jika dilakukan untuk mendapatkan pujian orang lain (teman, atasan, mertua, atau siapa pun), nilainya bisa hilang, atau bahkan bisa berubah menjadi kutukan (dosa).
Sebagai bagian dari ibadah mahdhah, puasa di bulan Ramadhan pun bisa menjadi kutukan pada saat dilakukan dengan mengharapkan pujian (riya), untuk menyombongkan diri (ujub), atau untuk tujuan-tujuan lain yang tidak konstruktif bagi kemanusiaan.
Tidak sedikit di antara kita yang mentang-mentang berpuasa, dengan mencibir, menghina, atau bahkan menistakan mereka yang tidak berpuasa. Sweeping terhadap orang-orang yang tidak berpuasa; sweeping terhadap warung makan yang tetap buka di bulan puasa, termasuk tindakan mentang-mentang berpuasa. Berpuasa dengan riya.
Orang-orang yang melakukan sweeping itu seolah mengutuk mereka yang tidak berpuasa, mengutuk orang-orang yang mencari nafkah (membuka warung) di bulan Ramadhan. Mereka mengandaikan diri sebagai tuhan, yang merasa paling tahu siapa yang berhak dipuji atau dicaci. Disadari atau tidak, mereka mengubah Ramadhan yang penuh berkah menjadi kutukan.
Ramadhan juga bisa menjadi kutukan bagi siapa pun yang tidak bisa menahan nafsu: nafsu makan sebanyak-banyaknya pada saat berbuka dan sahur, nafsu berbelanja pakaian dan makanan, nafsu untuk merendahkan/menghina/mencerca, dan nafsu untuk berkata kotor, ghibah (menggunjing), dan berdusta. Puasa dengan tetap melakukan tindakan-tindakan buruk itu, kata Rasulullah SAW, tidak mengandung nilai apa-apa (tidak berpahala) kecuali sekadar (sengsaraan) menahan lapar dan dahaga.
Untuk benar-benar menjadi bulan penuh berkah, puasa di bulan Ramadhan harus diawali dengan niat yang baik, dijalankan tak sekadar dengan menahan lapar dan dahaga, tapi juga dengan menahan nafsu ammarah (jiwa hewani) yang condong pada hal-hal yang buruk.
Puasa yang diniatkan dengan ikhlas, dan dijalankan dengan baik, memperbesar kemungkinan akal untuk memenangkan pertarungan melawan nafsu. Saat nafsu dilemahkan, hati akan condong kepada akal dan ruh. Akal dan ruh inilah yang bisa membimbing para shaim (orang yang berpuasa) agar tetap berada di jalur yang benar.
Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa tujuan utama puasa adalah untuk meraih derajat takwa (QS [2] : 183). Ketakwaan, menurut Nurcholish Madjid, memiliki lima indikasi: (1) beriman secara an sich (dengan menerima adanya kenyataan ghaib); (2) beribadah sebagai usaha pribadi melakukan pendekatan pada Tuhan; (3) berkesadaran tentang tanggung jawab sosial; (4) mengakui adanya kontinuitas dan kesatuan ajaran kebenaran dalam agama-agama sepanjang zaman; dan (5) kesadaran tentang tanggung jawab pribadi di hadapan Tuhan pada Hari Kemudian.
Dari kelima indikator itu, keyakinan kepada yang ghaib merupakan unsur utama yang ditanamkan melalui puasa, karena puasa merupakan ibadah yang paling pribadi (private). Siapa pun tidak bisa memastikan apakah seseorang benar-benar berpuasa atau tidak, karena walaupun mengaku puasa, seseorang bisa saja makan atau minum di tempat tersembunyi tanpa diketahui orang lain.
Orang salat, bisa dilihat gerakan-gerakannya, dan bisa didengar bacaan-bacaannya. Dari gerakan dan bacaannya kita bisa menilai apakah salat seseorang dilakukan dengan baik atau tidak. Demikian juga dengan ibadah haji. Zakat juga ada sesuatu (harta) yang secara jelas bisa dilihat atau diraba.
Puasa berbeda dengan salat, haji, zakat, atau ibadah lain yang bisa diindra. Puasa tidak bisa diindra, kecuali Tuhan (dan dirinya) saja yang tahu. Karena itulah Allah berfirman dalam suatu hadits qudsi, “Puasa adalah untuk-Ku semata, dan Akulah yang akan menanggung pahalanya.”
Karena itu pulalah, puasa menjadi ibadah yang paling efektif melatih kejujuran. Jika berbohong adalah induk dari dosa, maka kejujuran adalah pangkal dari semua kebajikan. Puasa yang dijalankan dengan niat baik (ketulusan, keikhlasan, dan kejujuran) itulah yang menjadikan puasa sebagai ibadah yang penuh berkah.