Kamis, April 18, 2024

Agar Laut Kita Kembali Sehat

Lutfhi Anshori
Lutfhi Anshori
Jurnalis GeoTIMES dan penggemar sepak bola.
raja4
Salah satu pesona bawah laut Raja Ampat, Papua.

Hari Laut Dunia 8 Juni 2016 mengusung tema “Healthy Oceans, Healthy Planet”. Indonesia penyumbang sampah (plastik) laut kedua terbanyak di dunia setelah Tiongkok.

Dua puluh empat tahun lalu Kanada mengusulkan peringatan Hari Laut Dunia atau World Oceans Day saat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil. Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian menetapkan 8 Juni sebagai Hari Laut Dunia pada Desember 2008. Ini setelah beberapa organisasi nonpemerintah mendesak untuk mengakui secara resmi Hari Laut Sedunia melalui petisi online dan tertulis.

Sejak tahun 2002 peringatan Hari Laut Dunia dikoordinasikan The Ocean Project, organisasi nonprofit yang berbasis di Amerika Serikat. Tema peringatan Hari Laut Dunia tahun ini adalah “Healthy Oceans, Healthy Planet”. Ya, planet yang sehat tentu membutuhkan lautan yang sehat.

Isu utama yang diangkat adalah masalah sampah plastik. Sampah plastik menjadi masalah karena sifatnya yang merusak dan lama waktu yang diperlukan sampai partikelnya terurai mencapai 20 hingga 100 tahun. Organisasi The Ocean Cleanup menyebutkan beberapa persoalan akibat sampah plastik yang mencemari laut.

Dari aspek lingkungan hidup, 1 juta burung laut dan 100 ribu mamalia laut mati setiap tahun akibat polusi plastik. Dari segi ekonomi, pantai di wilayah barat Amerika Serikat harus mengeluarkan dana US$ 500 juta tiap tahun untuk membersihkan sampah.

Secara kesehatan, sampah plastik juga akan memengaruhi sistem rantai makanan. Polutan organik yang dimakan ikan bisa berdampak serius terhadap manusia yang mengonsumsi ikan itu. Orang tersebut bisa terkena kanker dan gangguan reproduksi.

Pada 2010 Dr Jenna Jembeck, kepala tim ilmuwan dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, mengkalkulasi jumlah sampah plastik yang beredar di lautan.

Hasil yang diperoleh dari pengolahan data internasional mengenai populasi sampah, sampah yang diproduksi, tata kelola sampah, dan kesalahan mengelola sampah mencapai 4,8 juta hingga 12,7 juta ton. Dari kisaran angka tersebut, para ilmuwan menetapkan 8 juta ton sebagai perkiraan kasar.

Penelitian Jembeck yang dipublikasikan Science Magazine itu memprediksi jumlah sampah laut akan meningkat secara signifikan pada 2025. Asumsinya, jika tiap tahun 17,5 juta ton sampah plastik memasuki lautan, pada 2025 sedikitnya 155 juta ton sampah plastik akan beredar di lautan.

Pada 2010 saja sekitar 275 juta ton sampah plastik dihasilkan oleh 192 negara pesisir. “Kuantitas sampah plastik yang beredar di laut setara dengan 5 kantong belanja plastik yang menutupi setiap 30 sentimeter garis pantai di seluruh dunia,” kata Jembeck, seperti dikutip BBC.

Tiongkok masih tercatat sebagai penyumbang sampah (plastik) laut terbanyak di dunia, yaitu sekitar 2,4 juta ton. Indonesia di posisi kedua. Tak dijelaskan berapa banyak sampah laut yang disumbangkan Indonesia. Namun, yang pasti setengah dari jumlah sampah plastik yang mengalir ke laut berasal dari Tiongkok, Indonesia, Filipina, Vietnam, Sri Lanka, Thailand, Mesir, Malaysia, Nigeria, dan Bangladesh.

Sampah laut, terutama jenis plastik, menjadi isu lingkungan yang menarik. Sebab, kondisi laut yang tercemar zat temuan Alexander Parkes itu bisa mengancam populasi biota laut. Sampah-sampah itu bisa termakan burung laut, mamalia laut, penyu, dan makhluk lain.

Salah satu contoh kecilnya adalah temuan Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Utara pada 24 Mei 2012. Saat itu Dinas Kelautan membedah perut seekor ikan purba yang telah mati. Dalam perut ikan Coelacanth atau Raja Laut itu ditemukan banyak sampah plastik bekas makanan ringan yang mengisi lambung spesies ikan paling dilindungi oleh PBB itu.

Sebelumnya, kasus serupa menimpa ikan-ikan di sepanjang Teluk Manado hingga perairan Amurang dilaporkan oleh Masamitsu Iwata, peneliti Marine Aquarium Fukushima, Jepang, kepada aktivis lingkungan hidup Angelique Batuna. Batuna menduga Raja Laut memakan sampah-sampah yang mengambang di atas permukaan air.

Fakta itu jelas mengherankan. Sebab, ikan Coelacanth berjenis karnivora itu pantang mengonsumsi selain daging. Menurut Alex Masengi, peneliti Universitas Sam Ratulangi, ikan Raja Laut bisa bertransformasi menjadi pemakan segala karena lingkungan sekitar sudah terkontaminasi.

Untuk merespons isu mengenai sampah laut, World Oceans Day tahun ini mengusung tema “Healthy Oceans, Healthy Planet”. Kiat-kiat yang dikampanyekan World Oceans Day pada seluruh komunitas lingkungan di seluruh dunia, yakni berpikir dua kali untuk membuang sampah ke laut, mengurangi konsumsi produk-produk yang tak terlalu perlu, membeli produk bukan kemasan, berkreasi dengan limbah, dan mengurangi penggunaan benda berbahan plastik seperti botol.

Indonesia untuk pertama kali ikut ambil bagian peringatan World Oceans Day 2011. Peran Indonesia dalam ajang tahunan ini semestinya lebih besar dari negara lain. Sebab, selain sebagai penyumbang sampah laut terbanyak kedua, Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.

Pada 2014 Indonesia juga ditetapkan sebagai ibu kota terumbu karang dunia saat penyelenggaraan World Coral Reef Conference 2014 di Manado. Momentum tersebut seharusnya dimanfaatkan pemerintah dan masyarakat untuk mengintensifkan pemeliharaan laut.

Menyeterilkan laut dari berbagai jenis sampah nyatanya bukan pekerjaan mudah. Menurut Jambeck, lebih baik kita membuang energi untuk membersihkan sampah di darat dan sungai, ketimbang bersusah payah memunguti kembali sampah plastik di lautan.

Ada alasan kuat lain. Selain faktor luasnya, bekerja di tengah laut merupakan pekerjaan sulit dan tidak bisa diprediksi, karena kondisi cuaca yang dinamis. Selain itu, manusia juga dipandang belum mampu mengelola sampah secara efektif dan efisien, sehingga kegiatan membersihkan laut dinilai percuma bila sampah secara sengaja terus di dorong ke lautan.

Perlu perhatian serius dari pemerintah dan kesadaran masyarakat untuk merespons persoalan sampah laut. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan publik harus memperbanyak tempat sampah di pesisir pantai. Di sisi lain, masyarakat seharusnya juga lebih sadar pada lingkungan sekitar dengan cara membuang sampah di tempat semestinya.

Hal yang lebih penting, kesadaran akan pentingnya kehidupan laut hendaknya tak hanya dipahami pada 8 Juni, namun ditanamkan setiap hari.

Lutfhi Anshori
Lutfhi Anshori
Jurnalis GeoTIMES dan penggemar sepak bola.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.