Setelah berbagai ketidakpastian, akhirnya revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masuk ke dalam Progam Legislasi Nasional 2016. Revisi itu disebabkan UU ITE lebih banyak membatasi hak berekspresi warga di dunia maya daripada melindungi hak individu dalam memanfaatkan teknologi informasi yang merupakan alasan utama pembentukan UU tersebut.
Berdasarkan data Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), sepanjang 2008 hingga 2015, terdapat 120 warga negara dipaksa menjalani proses hukum karena eskspresi mereka di dunia maya. Bahkan, sebagian dari mereka ditahan dengan tuduhan tindak pidana pencemaran nama baik menurut Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Secara umum, beberapa pasal UU ITE diperdebatkan karena berpotensi melanggar prinsip perlindungan hak warga negara. Misalnya, Pasal 27 ayat (1) terkait konten yang bermuatan melanggar kesusilaan (pornografi ); ayat (2) terkait perjudian; ayat (3) terkait pencemaran nama baik; ayat (4) terkait konten bermuatan pemerasan atau ancaman. Juga Pasal 28 ayat (1) terkait berita bohong, dan ayat (2) terkait penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan perihal suku, agama, dan ras (sara).
Dari seluruh pasal bermasalah tersebut, pasal pencemaran nama baik merupakan pasal yang paling disorot karena banyak “memakan korban”.
Meski tindak pidana pencemaran nama baik telah diatur rinci dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP (Pasal 310 hingga Pasal 317), pasal-pasal tersebut dianggap belum mampu menjangkau pencemaran nama baik yang terjadi di Internet. Dalil tersebut dikuatkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi.
Jika dicermati, secara teoretis dan dalam praktik, rumusan delik UU ITE memang masih bermasalah. Contohnya, dalam pasal yang melarang orang dengan sengaja mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki konten pencemaran nama baik, ternyata tidak memenuhi prinsip lex certa (kejelasan makna). Dalam pasal tersebut terdapat frasa: “membuat dapat diaksesnya…”, dan frasa, “informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik”.
Kedua frasa itu dalam praktiknya dapat mengalami fluktuatif makna karena sebuah tindakan dapat begitu saja diartikan sebagai perbuatan pencemaran nama baik.
Selain itu, pasal tersebut bermasalah karena tidak jelasnya objek yang dituju berupa orang atau institusi. Akibatnya, seseorang dapat dengan mudah dipidana karena mencemarkan nama baik sebuah institusi sebagaimana terjadi pada kasus Prita Mulyasari (pencemaran nama baik rumah sakit) dan kasus Florence (pencemaran nama baik sebuah kota).
Pasal itu kian bermasalah ketika tidak ditentukan apakah delik pencemaran nama baik itu adalah delik aduan atau bukan. Ketidakjelasan makna itu dapat menyebabkan diabaikannya hak asasi atas kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.
Pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE itu berbeda dengan Pasal 310 KUHP yang menentukan secara jelas perbuatan yang menyerang kehormatan dan nama baik seseorang melalui frasa, “menuduh orang tersebut telah melakukan sesuatu”. Sehingga, sebuah tindakan tidak akan menjadi pencemaran nama baik karena dilakukan untuk membela diri atau untuk kepentingan umum. Apalagi tindak pidana dalam KUHP adalah delik aduan yang memiliki ancaman pidana yang lebih ringan.
Bahkan pelaku memiliki kesempatan untuk membuktikan tuduhan tersebut. Jika orang yang dituduh melakukan suatu perbuatan, terbukti melakukan perbuatan ayng dituduhkan tersebut, maka orang yang menuduh tidak dapat dihukum sebagai pelaku penghinaan atau pencemaran nama baik. Sebaliknya, jika tuduhan tersebut tidak terbukti, maka pelaku akan dihukum karena fitnah dengan ancaman pidana yang lebih berat.
Mencermati beberapa perbedaan tersebut dan praktik yang sangat keras, masuk akal bila banyak pihak keberatan terhadap keberadaan ketentuan pencemaran nama baik dalam UU ITE. Karenanya, mereka mendorong UU tersebut direvisi. Pertanyaannya adalah bagaimana revisi tersebut dilakukan agar perlindungan kebebasan berekspresi dapat sekaligus melindungi kehormatan dan nama baik seseorang.
Melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi, pemerintah membuat draf revisi UU ITE yang mencoba mengakomodasi kritik masyarakat terhadap pasal pencemaran nama baik tadi. Revisi diarahkan pada pengurangan ancaman pidana penjara, dari 6 tahun menjadi 4 tahun. Perubahan itu bertujuan agar pelaku tidak ditahan selama proses hukum, karena ancaman pidana tersebut tidak memenuhi syarat penahanan yang termaktub dalam Pasal 21 KUHAP.
Namun, perdebatan terhadap ancaman pidana tersebut menyisakan pertanyaan penting, apakah dengan memenjarakan pelaku, nama baik dan kehormatan korban dapat dipulihkan? Jika mengadopsi konsep negara modern yang percaya bahwa semakin sedikit perbuatan yang diancam sanksi pidana, maka bangsa itu dianggap lebih beradab. Maka, bentuk pemidanaan dalam perkara pencemaran nama baik melalui media Internet semestinya dihindari.
Dalam kajian hukum pidana, masih terdapat bentuk sanksi alternatif lain yang dapat digunakan untuk membuat jera pelaku pencemaran nama baik tanpa merendahkan nilai kemanusiaan dengan memenjarakannya.
Langkah pemerintah merevisi UU ITE menunjukkan pemerintah gagal membaca kehendak publik. Menurut saya, pengaturan tindak pidana pencemaran nama baik dalam KUHP sudah memadai untuk melindungi kebebasan berekspresi dan sekaligus melindungi kehormatan/reputasi dan nama baik seseorang.
Pasal 310 KUHP dapat menjerat perbuatan pencemaran nama baik seseorang yang dilakukan secara lisan maupun tulisan melalui berbagai media/sarana. Karena pasal tersebut tidak menentukan wujud media atau sarana dilakukannya tindak kejahatan. Dengan demikian, perbuatan pencemaran nama baik melalui surat atau media massa (cetak maupun audio visual, termasuk internet) dapat dijangkau oleh ketentuan ini. Oleh karena itu, tindak pidana pencemaran nama baik tidak perlu lagi diatur dalam UU ITE. Penegak hukum cukup menggunakan ketentuan KUHP.
Penolakan terhadap revisi UU ITE kian beralasan jika membaca rumusan revisi yang tidak memuat perubahan berarti. Revisi hanya sekadar menambahkan penjelasan terhadap pasal tindak pidana pencemaran nama baik, dengan menerangkan bahwa pasal tersebut mengacu kepada Pasal 310 dan 311 KUHP. Karena itu, pengaturan delik tersebut dalam UU ITE kehilangan urgensinya.
Logika yang sama juga berlaku bagi tindak pidana lain yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) yang telah diatur dalam Undang-Undang Pornografi Pasal 27 ayat (2) dan ayat (4) yang telah diatur dalam KUHP. Begitu pula terhadap Pasal 28 ayat (2) sebagai tindak pidana penebar kebencian (haatzaai artikelen) yang juga telah diatur dalam KUHP (Pasal 154-155). Apalagi berdasarkan putusan MK, pasal-pasal haatzaai itu tidak lagi berkekuatan hukum mengikat.
Jika pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo memang berniat merevisi UU ITE, semestinya perbaikan terfokus kepada perlindungan hak atas data pribadi dan hak privacy orang yang memanfaatkan teknologi informasi. Sebagai pengguna Internet terbesar di dunia, Indonesia perlu serius menyusun perangkat hukum yang memadai untuk melindungi hak dan data pengguna.
Revisi setengah hati hanya akan menciptakan masalah baru bagi masyarakat pengguna teknologi informasi.