Jumat, Maret 29, 2024

Ulama-Ulama Homoseksual

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).

shutterstock_391945030Judul kolom ini diinspirasikan oleh buku al-‘Ulama al-‘Uzzab (Ulama-ulama Jomblo) karya Abdul Fattah Abu Ghuddah. Saya akan memulai dengan menyebut beberapa contoh “ulama homo”, kemudian akan saya suguhkan diskusi yang lebih teoritis. Pemaparan aspek teoritis diperlukan untuk memproblematisasikan konsep “homoseksualitas” sebagai konstruk modern yang mengabaikan keragaman seksualitas, bahkan keragaman seks dan cinta sejenis.

Untuk mengantisipasi argumen saya: Walaupun al-Qur’an dan, terutama, kitab-kitab fikih secara keras melarang hubungan seks sejenis, ada diskrepansi antara teori dan kenyataan yang terjadi. Argumen ini sejalan dengan beberapa studi yang telah dilakukan sebelumnya oleh banyak sarjana Muslim dan non-Muslim. Salah satunya ialah karya Khaled El-Rouayheb, Before Homosexuality in the Arab-Islamic World, 1500-1800 (2005).

Kata “Before Homosexuality” itu penting digarisbawahi karena menggambarkan adanya potret berbeda “sebelum homoseksualitas” diesensialisasikan pada abad ke-19 dan seterusnya sebagai bermakna monolitik.

Cukup disayangkan bahwa banyak studi bagus tentang problem konseptual “homoseksulitas” hanya terfokus pada dunia Islam Arab pada periode Usmaniyah. Lihat, misalnya, karya berikut: Mehmet Kalpakli dan Walter Andrews, Love and Beloved in Early-Modern Ottoman and European Culture and Society (2005); Dror Ze’evi, Producing Desire: Changing Sexual Discourse in the Ottoman Middle East, 1500-1900 (2006).

Berikut beberapa contoh ulama yang dituduh, digambarkan dan dikenal homo, atau terlibat cinta dan seks sejenis dari periode sebelum Usmaniyah sebagaimana diteliti sarjana-sarjana di atas.

“Ulama” Homoseksual

Kata “ulama” diberi tanda petik karena boleh jadi akan dipersoalkan oleh sebagian orang sebagai bukan ulama sebagaimana umum dipahami. Karena itu, saya menggunakan kata “ulama” dalam makna generiknya sebagai Muslim yang berpengetahuan luas dan diakui di zamannya mempunyai kedudukan tertentu.

Saya mulai dengan Ibnu Bajjah (w. 1138), salah seorang filosof Muslim terkemuka dari Andalusia, yang dikenal di Eropa dengan sebutan Avempace. Dia merupakan komentator brilian atas karya-karya Aristoteles dan menguasai berbagai bidang ilmu, seperti kedokteran, astronomi, matematika dan seterusnya.

Antologis Ibnu Khaqan menyebut Ibnu Bajjah sebagai homoseksual. (Ini koreksi atas tulisan saya sebelumnya yang menyebut Ibnu Hazm, semestinya Ibnu Khaqan. Terima kasih buat Saudara Fahmi Suhudi atas koreksinya soal ini.) Ibnu Khaqan, penulis kitab Qala’id al-Iqyan wa Mahasin al-A’yan, dengan nada sinis menyebut Ibnu Bajjah tergila-gila dengan seorang budak berkulit hitam. Menariknya, Ibnu Khaqan sendiri sering disebut-sebut sebagai homo juga.

Tulisan ini tidak hendak membuktikan benar-tidaknya “tuduhan” Ibnu Khaqan. Faktanya, memang tidak banyak mereka yang terbuka mengaku dirinya homo, seperti Abu Nuwas yang syair-syairnya sering dilantunkan di masjid. Homoseksualitas Abu Nuwas bukan hanya diperoleh dari kesaksian banyak orang, tapi diakuinya sendiri.

Dituturkan oleh Abu Abdullah al-Jammaz, bahwa Abu Nuwas berkata: “Saya ingin sesuatu yang tidak ditemukan di dunia dan akhirat.” Jammaz menimpali, “Bukankah semua yang kau inginkan ada di surga?”

Jawab Abu Nuwas, “yang saya inginkan ialah anak laki-laki yang halal (gulaman halalan)!” Maka, maksud pernyataan Abu Nuwas, “tazawwadu min ladzdzatin la tujad fi al-jannah” (nikmatilah kelezatan yang tak ditemukan di surga) ialah hubungan seks sejenis.

Jalinan asmara (dan putus cinta) Abu Nuwas dengan Walibah bin Hubab diceritakan oleh teman-teman sejawatnya, seperti al-Jammaz dan al-Jahiz. Yang disebut terakhir ialah seorang esais terkemuka pada abad kesembilan yang juga menceritakan kisah Abu Sa’id al-Haditsi yang memukul anak laki-laki yang tidak mau berhubungan seks dengannya di sebuah kamar mandi (hammam).

Saat dikonfrontasi kenapa memukul si anak, syeikh Haditsi berkilah bahwa anak itu menyiramnya dengan air panas. “Lalu, kenapa penismu berdiri?” Dia menjawab: “Ya karena kena air panas.”

Cerita-cerita kaum gay dan lesbian di kalangan Muslim dihimpun begitu detail oleh Syihabuddin Ahmad al-Tifasyi (w. 1253) berjudul Nuzhat al-Albab fi-ma la Yujad fi al-Kitab. Kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, buku ini akan menggemparkan jagat Nusantara. Tifasyi tidak sungkan-sungkan menyebut nama tokoh-tokoh Muslim seperti Abu Hatim al-Sijistani. Seorang sufi yang dikenal paling wara’ dan alim di zamannya, mengkhatamkan al-Qur’an setiap minggu, tapi “kana mula’an bil-ghilman” (dia menyukai anak laki-laki).

Orang bisa saja mengatakan, Sijistani menyukai laki-laki untuk mengasah ketajaman spiritualitasnya. Itu bukan urusan saya!

Namun, untuk sebagian besarnya, Tifasyi tidak menyebut nama orang-orang Muslim yang disebutnya “lathah” (kaum homo), termasuk mereka yang diketahui melakukan seks sejenis di masjid. Suatu saat saya akan ulas kitab Nuzhat al-Albab lebih detail.

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Membaca kitab Nuzhat al-Albab kita diajak untuk merenung: Sedemikian ditoleransikah homoseksualitas di dunia Islam-Arab zaman pra-modern? Jika karya Tifasyi ini belum menyadarkan Anda, coba lihat daftar panjang nama-nama ilmuwan, intelektual, dan penulis Muslim homoseksual yang dihimpun oleh Arno Schmitt, Bio-Bibliography of Male-Male Sexuality in Muslim Societies (1995). Judul Arabnya: al-Fihris al-Mubin fi Akhbar Man Dzukira Min al-Luthiyyin wa al-Ma’abin wa Muhibbi al-Ghilman wa al-Mukhannatsin.

before-lgbtSaya tidak kaget dengan daftarnya yang panjang (tebal buku ini lebih dari 300 halaman dan hanya memuat nama-nama beserta sumber yang memuatnya). Yang saya kagumi ialah ketekunan Schmitt menelusuri sumber-sumber dalam berbagai bahasa, termasuk Arab. Subhanallah! Saya merasa jadi manusia paling pemalas.

Apa yang terjadi di masa pra-modern itu bukan karena kemerosotan moral, atau rendahnya tingkat religiositas, atau pengaruh sekularisasi. Kendati al-Qur’an dan kitab-kitab fikih bersikap negatif terhadap homoseksualitas, masyarakat Muslim secara umum mengabaikan kutukan tersebut. Kultur Muslim saat itu memperlakukan homoseksualitas dengan ketidakpedulian, jika bukan ketakjuban.

Hampir tanpa pengecualian, karya-karya sastra, puisi dan prosa, dari Abu Nuwas dan al-Jahiz hingga Alfu Lailah wa Lailah (Seribu Satu Malam), menyikapi kaum gay-lesbian dan seksualitas mereka dengan penuh penghormatan dan penerimaan. Tamsil cinta homoseksual dan erotisisme merupakan sesuatu yang sangat umum dalam karya-karya para sufi agung.

Di sini, kita perlu menyoal: Ada apa dengan modernitas? Kenapa manusia yang hidup di zaman modern (atau pasca-modern?) ini cenderung melihat seksualitas sebagai sesuatu yang statis, tetap, dan tidak berbeda dari zaman ke zaman dan dari budaya ke budaya yang lain?

Dalam konteks pertanyaan di atas, saya melihat istilah “homoseksualitas” yang digunakan di zaman modern ini gagal memotret beragam distingsi yang membentuk pemahaman perilaku seks sejenis yang berkembang di dunia Islam-Arab pra-modern. Beberapa contoh yang disebutkan di awal tulisan ini menunjukkan keragaman bentuk-bentuk homoseksualitas, dari sekadar kepincut dengan ketampanan laki-laki tanpa jenggot, berkhulwat bersama anak laki-laki demi kerinduan ruhani, hingga sensitivitas estetik bahkan penetrasi seksual.

Kita perlu lebih atentif pada kompleksitas dan multiplisitas pola dan praktik homoseksualitas agar bisa memahami sisi lain modernitas (dalam hal ini “kolonialisme”) yang membawa “petaka” di dunia Islam-Arab.

Supaya tulisan ini tidak terlalu panjang, cukup disajikan hasil penelitian dua ahli Timur Tengah. Di Mesir, kata Mervat Hatem, “pengakuan terhadap homoseksualitas mencapai puncaknya ketika seorang pemimpin homoseksual Abbas Helmi Pasha diangkat jadi pemimpin… Namun, sepeninggalnya dan menyebarnya pengaruh kultur Barat pada paruh kedua abad ke-19 telah menyebabkan penolakan sosial dan politik terhadap homoseksualitas” (1986:270).

“Sebelum kedatangan [penjajah] Prancis di Maroko,” demikian Gavin Maxwell menyimpulkan, “homoseksualitas antar laki-laki tidak pernah dianggap memalukan atau abnormal.” (1983:286).

Lalu, siapa yang menyebabkan kebencian terhadap homoseksualitas?

Kolom terkait:

Islam Erotis

Mengapa LGBT Begitu Dibenci?

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.