“Nanti aku mau naik haji…”
“Wah, hebat…”
“Iya, mau menghapus dosa di tanah suci..”
Entah kenapa aku terdiam sejenak. Ada yang salah, tapi aku tidak tahu di mana. Sesudah mengucapkan selamat aku pun menyingkir ke satu tempat, warung kopi kesukaanku di mana aku bisa ngutang dulu.
Sambil duduk menunggu matangnya air, aku merenung. Temanku adalah seorang rentenir, itu yang aku tahu. Ia meminjamkan uang dengan bunga yang besar kepada orang yang membutuhkan. Ia banyak mendapat rumah hasil sitaan dari apa yang dia lakukan. Bisa dibilang ia cukup sukses di bidang itu.
Aku pernah mengingatkan, “Kamu tidak takut hukumnya?” Dia bilang, “Gampang, naik haji saja nanti, dosa kita akan dihapuskan. Tuhan Maha Penyayang…”
Temanku lupa bahwa di balik sifat Maha Penyayang, Tuhan juga Maha Adil. Lalu, di mana sifat Maha Adil-nya, jika semudah itu terhapus dosa manusia? Bukankah semua sebab pasti ada akibat?
Ah, aku rasa temanku salah menafsirkan rukun Islam yang kelima, naik haji (bila mampu). Bila mampu di sini ditafsirkannya secara materi. Bahwa jika ada rezeki dan badan sehat, maka orang wajib naik haji.
Apakah dia tidak pernah melihat sisi pandang yang berbeda bahwa yang dimaksud ‘bila mampu’ bisa saja adalah mampu melepaskan diri dari keterikatan duniawi dan sudah pasrah kepada Allah karena selesai dengan dirinya sendiri?
“Kamu tahu bagaimana proses penghapusan dosa pada manusia di dunia?” Kata temanku yang lain ketika ia menjelaskan bagaimana ketika konsep Maha Penyayang dan Maha Adil bekerja.
“Tuhan akan memberikanmu banyak kesulitan di dunia. Begitu juga penyakit, kemiskinan, kehilangan, dan banyak hal yang menyakitkanmu di dunia. Begitulah prosesnya, ketika manusia bertobat memohon ampunanNya.
Memohon ampunan itu mudah, proses menyempurnakan ampunanNya itu yang susah. Karena Ia Maha Penyayang sekaligus Maha Adil, maka apa yang pernah kamu lakukan akan mendapat bayarannya.
Proses itu juga bagian dari ujian untuk melihat apakah manusia itu pada akhirnya pasrah.
Tuhan tidak bisa dibeli dengan materi apa pun di dunia. Tidak dengan ritual berlebihan dan tidak juga dengan angan-angan…”
“Jika perbuatan manusia harus dibayar dengan kesulitan, lalu di mana letak kasih sayang Tuhan?” tanyaku dengan wajah bingung.
Temanku tersenyum, “Dengan memberikan manusia kesempatan untuk membayar dosa-dosanya…”
Aku terjaga dari lamunanku. Kopi panas sudah menunggu di depanku. Ah, memang manusia merasa mudah sekali dia membayar apa yang pernah dia lakukan.
Ada yang sibuk ritual sehingga merasa paling beriman. Ada yang tertangkap korupsi mendadak reliji. Ada juga yang naik haji karena dikejar polisi.
Eh, naik haji dikejar polisi ?
Secangkir kopiku tertawa ketika terbayang wajah “seseorang yamg tidak boleh disebut namanya”, kabur dan tak pernah kembali.