Sejarah menunjukkan bahwa jutaan orang mati karena agama. Berpegang pada ajaran Tuhan, ternyata, tak selamanya mendatangkan damai. Terorisme adalah salah satu bentuknya. Riwayat dunia menyingkapkan fakta bahwa wahyu ilahi bisa juga dijadikan alat legitimasi pembunuhan.
Awalnya, agama bertujuan merawat kehidupan. Kenyataan malah bicara sebaliknya, rupanya dia lebih sering digunakan untuk melukai kemanusiaan. Jadi, teringat kata-kata Pram di Rumah Kaca, “Ya, Tuhan, betapa mudah nama-Mu dikorup.”
Kita belum siuman dari bom Thamrin, ledakan di Kampung Melayu sudah memecah ketenangan. Belum kering luka, kita sudah disuguhi viralnya ceceran potongan tubuh di media sosial. Tindakan terorisme, tampaknya, sudah seperti “hari raya” yang kita peringati rutin. Kita serasa tidak diberi waktu jeda untuk memulihkan tenaga. Emosi terperas habis. Bahkan kita, hampir-hampir, sudah tak mau lagi peduli.
Situasi ini membuat agama jadi kambing hitam. Ajarannya yang berorientasi “langit” kerap dijadikan alasan sah untuk membunuh. Tindakan menihilkan kemanusiaan acapkali disundut doktrin iming-iming bidadari “di sana”. Dengan itu, agama tampak berhasil mencetak manusia irasional. Namun, apakah kita harus menyerah pada kenyataan ironis ini?
Kenyataan Agama
Dua ribuan orang mati dalam peristiwa 911. Setahun sejak ISIS berkiprah, konon, sudah mengeksekusi kurang-lebih tiga ribu orang. Keresahan yang diciptakannya malah menjalar ke Indonesia. Kekerasan atas nama agama jadi banal di sini. Ujaran kebencian bukan lagi hanya di media sosial, tapi juga merasuki mimbar khutbah. Kebhinnekaan tak lagi penting dibanding semangat primordial.
Berbeda dengan saudara sepupunya yang agresif, gereja malah tampak pasif. Pilihan sikap kita apolitis, malah cenderung apatis. Konflik agraria, jelas-jelas, merusak keutuhan ciptaan, kita diamkan. Kita membisu di hadapan carut-marut situasi politik karena memang tak punya alternatif. Kita menjauhinya karena merasa itu tidak ada hubungan dengan penginjilan.
Semangat memberitakan Injil kita masih kental dengan proselitisasi alias “main pindah-pindahan agama”. Eh, sekali Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terjerat kasus, kita cerewetnya minta ampun. Gereja akhirnya sama saja. Semangatnya pun masih primordial.
Ujungnya, tak salah jadinya kalau kita skeptis pada agama. Kita kehilangan keyakinan kalau agama bisa membuat dunia jadi kondusif untuk ditinggali. Wajar saja kalau akhirnya kita bertanya, “Masihkah agama bisa jadi sumber arti kehidupan? Dalam sikap agresif akut dan pasif beku, apakah agama masih berguna?”
Agama dan Masalah Eksistensial
Schleiermacher (1768-1843) pernah mengumandangkan bahwa agama adalah perasaan kebergantungan absolut. Dengan tesis itu, teolog Jerman ini tampaknya sukses mengubah paras agama. Tadinya, khususnya di Eropa, orang bertuhan harus dengan sistem logika ketat. Namun, pasca tesis itu disiarkan, agama bermetamorfosa dengan raut eksistensialisme. Hal utama bukan lagi soal formula baku rumusan doktrin. Namun, keberadaan makna diri diagungkan di atas segalanya.
Paul Tillich (1886-1965), teolog Jerman-Amerika yang juga kritikus Schleiermacher, dalam Systematic Theology (1963) mengatakan pandangan Schleiermacher adalah sebuah bentuk eskapisme dari pemikiran modern. Agama yang dipermak jadi non-rasional dan subjektif-emosional, menurutnya, adalah bukti kalau Schleiermacher tidak mampu menjawab tantangan modernitas.
Namun, alih-alih menegasikan Schleiermacher, Tillich malah meradikalkannya. Gambaran abstrak teologisnya tidak kalah dengan pendahulunya itu. Lewat onto-teologi, Tillich menempatkan makna eksistensi pada ujung transendental. Allah sebagai ground being dari keberadaan diri.
Dua teolog abad ke-20 itu adalah anak zamannya. Generasi yang menempatkan eksistensialisme sebagai menu utama pemikiran. Itu wajar jika melihat kondisi krisis intelektual kala itu. Kemajuan teknologi tak disangka malah melahirkan dua kali perang dunia. Ditambah kaum cendekiawan yang kian tersudut dalam usaha memberi makna kehidupan.
Proyek filsafat Hegel, dengan imajinasi Roh Absolut, terbukti gagal. Hegel yakin bahwa realitas akan selalu bergerak pada kondisi yang lebih baik asal mesin dialektika bekerja. Ternyata, dunia semakin lalim. Jatuhnya bom atom, misalnya, justru kian menegaskan sifat kebinatangan manusia.
Kondisi ini berujung pada pesimisme. Modernitas yang mendewakan optimisme tak berdaya di hadapan kenyataan. Sebagai garda terdepan pencerahan manusia, rasionalisme impoten. Makna malah mengabur. Manusia modern mengalami krisis tentang keberartian. Awan mendung tentang tujuan hidup akhirnya berubah jadi badai kecemasan. Hidup dirasai tak lagi punya substansi.
Dalam situasi inilah agama memainkan peran kembali. Agama yang tadinya mandul mulai mengalami kebangkitan. Kitab suci, yang sempat diklaim sebagai sekumpulan mitos, kembali mendapat tempat. Para teolog mendapat pekerjaan baru dalam mengkomunikasikan pesan agama. Teologi eksistensialis jadi primadona.
Sulit dipungkiri, salah satu pesan kuat agama memang bersifat eksistensial. Dengan klaim punya akses pada yang Transenden, agama menggaransi setiap orang dengan makna ultimat kehidupan. Dia dianggap bisa memberi jaminan kepastian tentang arti hidup, bahkan setelah kematian.
Masalah tentang Makna
Saya meyakini bahwa pelaku bom bunuh diri tidak melulu perkara imbalan puluhan bidadari. Alasan yang terlalu dangkal untuk mencetak kenekatan segila itu. Pasti ada sebuah narasi yang sedang bekerja. Sesuatu yang membuat aksi itu sangat bermakna bagi sang eksekutor. Pelaku pasti sadar konsekuensi. Tapi, dia tetap saja tak mau ambil pusing. Sebuah ciri eksistensialisme.
Eksistensialisme lahir dari perlawanan terhadap kekuatan dominasi rasionalisme. Kierkegaard, seorang eksistensialis Protestan, menolak dengan tegas segala sistem rasional yang menjembatani relasi manusia dengan Tuhan. Nietzsche dalam Senjakala Berhala (2016) mengatakan, “Saya mencurigai semua pembuat sistem dan menjauhi mereka. Kemauan pada sistem sama saja dengan kurang integritas.” Bagi seorang eksistensialis, menjadi otentik merupakan tujuan utama. Struktur, tatanan, atau apa pun yang diduga meracuni keaslian diri harus dihindari.
Karakter utama eksistensialisme terletak pada tekanan individualitas. Suara bising kerumunan, bagi seorang eksistensialis, adalah sumber kehancuran. Di sanalah asal muasal kepalsuan diri. Oleh karenanya, kebenaran itu subjektif. Hanya dalam nurani personal kelurusan hati ditemukan.
Namun, di balik visi kebebasan itu, tersimpan bahaya. Kerapkali, alih-alih menjadi otentik, eksistensialisme malah menawarkan absurditas. Itu terjadi, menurut Camus, karena ada konfrontasi antara diri sendiri dengan dunia luar. Makna memecah dalam serpihan ambiguitas. “Lompatan iman” akhirnya hanya solusi palsu. Kemana tujuan lompatan iman itu? Pada kondisi dunia yang lebih baik? Atau sebaliknya, malah menghancurkan?
Eksistensialisme akhirnya meninggalkan masalah justru pada intisari ajarannya. Apa itu makna? Apakah meledakkan bom, sebagai ekspresi kebermaknaan, bisa dibenarkan? Apakah sikap pasif terhadap kenyataan, sebagai cerminan keberartian, dapat diterima?
Narasi Baru dari Agama
Akar dari permasalahan ini terletak pada sifat abstrak dari ajaran agama. Dogma agama dengan orientasi “langit” menjadikan kenyataan dunia sebagai prioritas kedua. Artinya, tak peduli serusak apa pun bumi manusia ini, jadi tak masalah selama kapling surga terjamin. Anjuran moral tentang kebaikan pun kerap jadi persoalan. Ada perbedaan rumusan dalam menerjemahkan “yang baik” dalam tiap agama. Misalnya, poligami dalam agama tertentu dilarang, tapi bagi yang lain malah diperbolehkan.
Doktrin berbasis idealisme-abstrak ternyata membuat ajaran jadi multitafsir. Akibatnya, bukannya menciptakan keteraturan, agama malah menelurkan kesemrawutan. Lebih lagi, dia akhirnya melahirkan keresahan. Alih-alih sebagai solution maker, agama malah jadi trouble maker.
Untuk mengatasi masalah ini, membahasakan ulang agama menjadi keniscayaan. Kita harus mengajukan sebuah proposal baru dalam beragama. Sebuah gagasan yang bisa mereduksi ragam penafsiran. Kita harus memproduksi sebuah ide segar untuk mengikat segala perbedaan perspektif yang kerap jadi titik pertengkaran. Sebuah agama yang berorientasi materialistis-objektif tentang realitas, seperti mengentaskan kemiskinan dan kelaparan.
Aloysius Pieris, seorang teolog Sri Lanka, pernah mengeluarkan pernyataan kuat yang menggambarkan wajah Asia. Dalam buku An Asian Theology of Liberation (1988), dia mengatakan bahwa benua Asia adalah tempat di mana kemiskinan bergandengan dengan kekayaan ragam agama. Asia sebagai tempat kelahiran semua agama besar dunia justru adalah lautan kemiskinan.
Agama akan bernuansa Asia, bagi Pieris, jika mampu merangkul dua konteks ini bersamaan. Oleh karena itu, agama akan selalu bersifat introspeksi. Artinya, agama harus berdialog dengan yang lain. Namun, kandungan percakapan bukan hanya pada level diskursus intelektual. Dia harus menyentuh solidaritas partisipatif dalam pergumulan kehidupan konkret.
Maka, pergumulan melawan kemiskinan dan dialog antar iman tidak dapat dipisahkan. Mereka adalah dua permukaan dalam satu koin yang sama. Dia menegaskan bahwa kegagalan seluruh teologi kontekstual di Asia karena menceraikan agama dan kemiskinan.
Kelaparan dan kemiskinan adalah kontradiksi sejarah. Segelintir orang menguasai kekayaan dunia, sementara banyak orang lainnya berjuang keras hanya untuk bertahan hidup. Kenyataan ini mengiris eksistensi. Aktualisasi diri tidak akan dimungkinkan selama kebutuhan fisiologis tidak terpenuhi. Orang tak mau lagi repot memikirkan apa tujuan hidup. Bagi orang miskin dan lapar, hidup adalah untuk makan. Bukankah itu pertanda dehumanisasi?
Inilah narasi baru agama itu. Kebhinnekaan agama acapkali tak berjalan karena tak ada “musuh” bersama untuk dilawan. Kita semua berjuang dengan agenda surgawi masing-masing. Akibatnya, pluralisme dan toleransi tak lebih hanya jargon semata. Padahal, kemiskinan tak memandang agama. Kelaparan buta warna kulit. Dia menginjak siapa pun tanpa peduli latar belakang identitas.
Kenyataan inilah yang semestinya jadi pemantik dialog kita. Urusan yang seharusnya membuat semua agama bergotong-royong demi pengentasannya. Dengan begitu, bukan hanya elite yang terlibat, tapi kita semua yang senasib-sependeritaan.
Hans Kung mengatakan, “Tidak ada perdamaian antar bangsa-bangsa tanpa adanya kedamaian antaragama. Dan tidak ada kedamaian antaragama tanpa adanya dialog antaragama.” Sementara dialog dengan mengasingkan realitas kemiskinan, kata Pieris, hanya jatuh pada elitisme intelektual belaka.
Maka, hanya dialog antar iman yang berbasis pada realitas kemiskinan sebagai satu-satunya cara agar tercipta ketenteraman di Indonesia. Di sinilah kebermaknaan baru dalam agama bisa ditemukan.
Baca juga: