Hari ini adalah “Hari Asyura”. Sebuah hari peringatan setiap 10 Muharram yang merujuk pada 10 Muharram 61 Hijriah, di mana Sayyidina Husain (cucu Nabi Muhammad dari garis pernikahan Siti Fatimah dan Sayyidina Ali) bersama belasan keluarganya dan puluhan sahabatnya yang diperkirakan jumlahnya 73 orang syahid di Karbala (Irak) dalam sebuah pembantaian.
Pembantainya adalah pasukan Umar bin Sa’ad yang jumlahnya diperkirakan–dalam catatan versi paling sedikit–empat ribu di bawah perintah Yazid bin Muawiyah yang kala itu menjadi khalifah berdasarkan limpahan dari Muawiyah yang mengkhianati kesepakatan dengan Sayyidina Hasan tentang suksesi kekhalifahan yang seharusnya dibentuk semacam dewa syura.
Yazid memang dikenal sebagai penguasa yang zalim dan pribadi yang fasik, sebagaimana dicatat dalam Tarikh al-Khulafa’ karya Imam as-Suyuthi atau tarikh-nya Imam al-Thabari. Kekejamannya pada Sayyidina Husain juga bukan satu-satunya yang mengerikan di mana cucu Nabi itu dipenggal dan keluarganya diarak keliling Arab serta ditawan selama 40 hari. Sebuah peristiwa yang hingga Imam Abdullah bin Alwi Al Haddad dalam Tastbit al-Fuad menegaskan bahwa Hari Asyura adalah hari kesedihan.
Yang juga mengerikan adalah kekejaman Yazid pada sahabat Nabi dan penduduk kota Madinah yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Harrah, juga serangan pasukannya ke kota Makkah yang hingga mengancam Ka’bah dan Masjidil Haram untuk melumpuhkan Abdullah bin Zubair. Ketika itu Abdullah dan pasukannya yang menguasai Mekkah berlindung di dua bangunan suci tersebut.
Tragedi Karbala merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Islam, konflik internal Islam paling mengerikan yang menyiratkan pesan bahwa “Islam” bisa dibajak menjadi semacam label semata untuk nafsu berkuasa. Oleh karena itu, di antara nasihat Husain pada pengikut Yazid: “Kalian adalah orang-orang yang paling besar musibahnya karena kedudukan ulama telah direbut.”
Syekh Abdul Qadir Jailani dalam Al-Ghunya memasukkan Hari Asyura sebagai salah satu “Asyirul Karomah” (Hari Keramat) bersama Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Maulid Nabi, Isra-Mi’raj, Hari Arafah, Idul Fitri, dan Idul Adha. Nabi pun telah jauh-jauh hari mengingatkan akan Hari Asyura tersebut kepada Ummu Salamah, misalnya dicatat dalam Fadhail ash-Shahabah karya Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang ditahkik oleh Washiulllah bin Muhammad Abbas, Profesor Universitas Ummul Qura, Mekkah.
Tentu, Husain tak hendak berperang. Karbala bahkan bukan tujuannya. Ia membawa anak-anak dan wanita dari keluarganya dan keluarga sahabatnya untuk berhijrah ke Kufah menemui pengikut setia ayahnya untuk merencanakan sebuah gerakan menentang kezaliman kekhalifahan Yazid.
Jumlah rombongan hijrah itu pun hanya puluhan. Ia sendiri juga menegaskan: “Aku keluar bukan untuk merusak, melainkan perbaikan bagi umat datukku. Aku ingin beramar ma’ruf dan nahi munkar.” Namun, pasukan Umar bin Sa’ad menggiringnya ke Karbala dan membantainya. Husain mencoba melawan, namun apa daya. Keadaannya dipersulit karena ia dan pasukannya diblokade dari air Sungai Eufrat.
Sebuah episode sejarah yang menampilkan romantika perjuangan, pengorbanan, kesetiaan, kesabaran, yang berhadapan dengan ketertindasan, kekejaman, kebengisan, dan seterusnya dalam sebuah upaya menegakkan nilai-nilai luhur itu kemudian. Sebagaimana memang dicita-citakan oleh Husain sendiri bahwa ia syahid untuk memenangkan sejarah tentang masa lalu: kemenangan nilai-nilai, mendobrak semua sekat yang ada: keagamaan dan kebangsaan, lalu menginspirasi semua pribadi dan komunitas antar agama dan bangsa.
Seorang pendeta dan gerejanya di Syam, ketika rombongan tawanan keluarga dan sahabat Husain melewati daerahnya, membayar pasukan Umar bin Sa’ad untuk “meminjam” dalam waktu semalam kepala Husain karena tahu akan keagungan kepalanya. Malam itu ia mencuci kepala yang dipenuhi darah itu di sebuah batu, batu itu kini terletak di Aleppo (Suriah) dan dibangunkan sebuah masjid bernama “Al-Nuqtah” untuk menghormatinya. Sejarah masjid itu dicatat oleh Sheikh Ibrahim Nasralla dalam The Traces of Ale Mohammad in Aleppo.
Hingga kini, setiap Hari Asyura, para pendeta juga ikut hadir memperingatinya di makam Husain di Irak. Antoine Bara, cendekiawan Kristen, menulis buku berjudul Imam Hussein in Christian Ideology. Dia menegaskan bahwa Husain dan tragedinya bukan hanya “milik” muslim saja, tetapi milik seluruh manusia, karena ia adalah “hati nurani agama-agama” dan “prinsip kemanusiaan”.
Mahatma Gandhi belajar dari Husain tentang bagaimana tertindas namun bangkit menjadi pemenang. Karena itu, Asyura menjadi salah satu inspirasi utama bahwa perang dalam Islam bukan soal agama (dorongan fanatisme), melainkan kemanusiaan, keadilan, dan semangat egalitarian. Termasuk jika ia ada dalam tubuh Islam itu sendiri, seperti tentang Husain dan Yazid.
Di Indonesia, “Tragedi Karbala” menjadi hikayat dan peringatan yang ada dalam berbagai tradisi lokal. Bermula dari Hikayat Soydina Usin yang ditulis sekitar abad ke-17 di Aceh, ada tradisi “Bubur Suro” di Jawa di mana dalam versi hikayat hingga diakulturasikan dengan menyamakan Yazid dan Kurawa, dalam dalam bentuk festival bernama Tabot di Bengkulu.
Adapun di tanah Sunda dan Madura, hikayat tentang Asyura digubah dengan menekankan pada kekejaman Yazid dengan versi Sunda berjudul Wawacan Yazid dan versi Madura: Caretana Yazid Calaka (Kisah Yazid Celaka).
Dalam catatan Ricklefs di A History of Modern Indonesia, abad ke-17-19 M adalah masa-masa maraknya perang anti-kolonial yang dimulai dengan Perang Ternate pada awal abad ke-17 M sampai Perang Aceh yang berlangsung begitu lama pada akhir abad ke-19 M. Dikisahkan bahwa para pemimpin peperangan itu yang sebagian besar adalah tokoh Islam, seperti Pangeran Trunojoyo pada abad ke-17 dan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa di abad ke-19, kerap menjadikan epos Islam masyhur seperti Asyura sebagai kisah yang diceritakan pada komandan perang dan pembantu dekatnya untuk membangkitkan semangat perang.
Akhirnya, di antara episode dalam Perang Karbala, salah satu komandan pasukan Yazid bernama Hur ar-Riyahi yang berkontribusi dalam menggiring Husain hingga ke Karbala, justru berbalik membela Husain di tengah perang di Karbala. Ia terdorong oleh kata-kata Husain kepadanya bahwa ia dilahirkan sebagai seorang yang merdeka, maka jangan mau diperbudak oleh siapa pun untuk sesuatu yang bertentangan dengan nuraninya. Dan Hur menjadi syahid paling beruntung, husnul khotimah.
Sebuah pelajaran sejarah agar kita tak pernah memvonis siapa pun atas keadaannya saat ini: kafir, fasik, dan lain-lain. Maupun berbangga atas apa yang menjadi keadaan kita saat ini: muslim, saleh, dan lain-lain. Karena kita tak tahu episode-episode apa yang akan terjadi dalam sejarah mereka dan kita di hari-hari esok dan bagaimana ujung dari kehidupan mereka dan kita: husnul khotimah atau su’ul khotimah.
Kolom terkait:
Kebengisan Khalifah Yazid Menghadapi Oposisi
Khalifah Al-Walid bin Yazid: Fir’aunnya Umat Islam