Jumat, Maret 29, 2024

Situs Islam, Islamofobia, dan Gotik

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

seni-islam-kristenSalah satu isu yang relatif terlupakan menyangkut aksi massa 4 November yang lalu adalah pemblokiran 11 situs yang diduga merusak dan mengandung unsur konten suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Sungguhpun kini sebagian situs itu sudah kembali seperti semula, tak pelak keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika ini dianggap bukan saja sebagai jurus mabuk ala Kemenkominfo dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menabur benih-benih otoritarianisme negara lewat regulasi satu arah, tapi juga secara sistematik bergerak kepada apa yang dinamakan Islamofobia gotik (gothic Islamophobia).

Dalam konteks kesusastraan, gotik (gothic) menyangkut karya-karya sastra yang menegaskan tema, pesan, dan lanskap horor dan teror. Dengan titik sentral yang sama, tindakan memblokir sejumlah situs Islam oleh Kemenkominfo berangkat dari kepanikan dan ketakutan (phobia) BNPT yang menuduh media Islam sebagai instrumen yang memiliki kekuatan horor dan teror terhadap stabilitas dan keamanan bangsa ini.

Alih-alih beroleh simpati publik, tindakan pembredelan sejumlah situs, terutama situs Islam, ini justru memperlihatkan karut marut dua institusi pemerintahan.

Tentara Irak menurunkan bendera ISIS di kota Hit di provinsi Anbar, Irak, Senin (10/10). Foto diambil tanggal 10 Oktober 2016. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/cfo/16
[ANTARA FOTO/ REUTERS/ Stringer]
Ini diawali dengan menguatnya kecenderungan interpretasi tunggal. Cara-cara BNPT menerjemahkan pesan-pesan radikal yang mengatasnamakan agama pada banyak situs Islam setali tiga uang dengan pola-pola rezim Orde Baru di saat menerjemahkan Pancasila sebagai ideologi tunggal.

Apakah mengekspose tulisan Laa ilaaha illallaah, menekankan pesan-pesan jihad, dan mendorong pemberlakuan syariat Islam dianggap membahasakan radikalisme keberagamaan yang berseberangan dengan Pancasila dan merongsrong stabilitas negara?

Bukankah dalam perspektif Islam semua hal di atas adalah keutamaan (fadhilah), bukan sesuatu yang mengada-ada (bid’ah)? Di atas semua itu, hal-hal tersebut malah memperkuat doktrin ketuhanan sebagaimana ditegaskan oleh sila pertama dari Pancasila. Justru yang semestinya perlu diblokir oleh Kemenkominfo adalah situs-situs yang menyebarkan paham-paham komunisme dan ateisme yang secara tegas membelakangi Pancasila.

Tanpa disadari pemerintah bukan saja lalai tapi juga kian mengidentifikasi diri sebagai otoritas yang konsisten untuk tidak konsisten. Inkonsistensi ini menjadi sumber horor yang lebih dahsyat ketimbang teror yang diumbar oleh gagasan-gagasan radikal.

Karenanya, cara berpikir dan pendekatan militeristik dan keamanan BNPT dalam menentang terorisme adalah sebuah sesat pikir karena terjebak pada simplifikasi. Tidak sepenuhnya terorisme dinisbahkan kepada radikalisme. Munculnya peperangan dan kegentingan di Timur Tengah sesungguhnya jauh lebih dikarenakan oleh saham ketidakadilan yang dimainkan oleh Amerika Serikat di dunia Islam, seperti Palestina dan Irak. Simplifikasi demikian adalah sebuah “gagal resep” guna memotong akar tunggang yang membuat banyak anak muda Islam tertarik dengan paham-paham radikal.

Tak kalah pentingnya, penutupan situs-situs Islam ini pula menunjukkan hilangnya tradisi dialog. Keputusan Kemenkominfo yang menutup situs Islam tanpa melibatkan pihak-pihak yang berkompeten seperti MUI, Kementerian Agama, kampus Islam, cendekiawan Muslim maupun mengundang para pengelola situs untuk berdialog sebelum diblokir memperlihatkan bahwa Kemenkominfo dan BNPT berada pada stasi “darurat dialog” yang sangat serius.

Ajang ini merupakan cara-cara preventif dan rasional karena memberikan hak jawab dan klarifikasi. Apabila mereka menolak serta tidak kooperatif, wajar jika pemerintah mengekspose sikap tersebut sebagai catatan publik.

Warga melakukan aksi penolakan di tempat yang akan dikunjungi calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk berkampanye di kawasan Kedoya, Jakarta, Kamis (10/11). Ahok membatalkan kampanye dengan cara "blusukan" ke kawasan Kedoya karena adanya aksi penolakan dari warga. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./pd/16
Warga melakukan aksi penolakan di tempat yang akan dikunjungi calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk berkampanye di kawasan Kedoya, Jakarta, Kamis (10/11). [ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.]
Sayangnya, Kemenkominfo dan BNPT memilih jalan pintas dengan melakukan rasionalisasi, alih-alih langkah-langkah rasional, sebagai wujud paranoid terhadap Islam sebagai kekuatan politik media. Absennya pendekatan dialogis dalam merespons radikalisme keberagamaan tersebut telah menambah deretan panjang paranoid negara dan beberapa tokoh terhadap simbol-simbol Islam.

Ini, misalnya, terlihat dari kesulitan pemilik nama Muhammad dan Ali untuk mendaftar di autogate di Bandara Soekarno-Hatta, desakan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mengganti istilah-istilah Arab dengan bahasa Indonesia agar Bank Syariah lebih dekat ke ekonomi Islam ala Indonesia daripada ekonomi Islam ala Timur Tengah, hingga pernyataan Syafii Maarif yang menyebut Hamas bentukan Israel.

Absennya gaya kerja dialogis Kemenkominfo dan BNPT tersebut sejatinya mewartakan sebuah rumus Islamofobia yang berangkat dari kontestasi antara negara dan Islam bahwa umat Islam harus didekati secara politis, bukan secara intelektual. Perlahan namun pasti ini akan melahirkan apa yang disebut Muslim nominal, sebagai oposisi dari Muslim adjektiva.

Bila yang pertama merujuk kepada kategori Muslim yang bersifat kuantitatif—Islam KTP, Islam sebagai urusan personal—sementara kategori kedua menegaskan kualitas Muslim yang lebih Islami dalam refleksi dan aksi—kepedulian terhadap bank syariah, partai Islam, media Islam atau pemberlakuan syariah Islam.

Secara ideologis, pemblokiran terhadap situs-situs Islam ini pada hakikatnya digerakkan oleh paranoid negara terhadap kebangkitan Islam (shohwatul Islam). Atas nama peperangan terhadap terorisme, tindakan regulatif atau top-down ala Kemenkominfo dan BNPT ini hanya akan menciptakan terorisme negara berbentuk rezim represif dan otoriter yang jauh lebih radikal ketimbang situs-situs yang diduga mengampanyekan paham-paham radikal keagamaan.

Sungguh ironis bila akhirnya Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia mempunyai pemerintahan yang dijangkiti Islamofobia.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.