Ibadah haji adalah ritual tahunan yang sampai kapan pun tidak akan pernah sepi ditunaikan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Bahkan untuk mencapainya tidak sekadar membutuhkan perjalanan fisik yang melelahkan, namun yang tak kalah krusialnya adalah sebuah penantian yang bagi kalangan tertentu sangat menjemukan.
Sebagai pengalaman pribadi, penulis menanti selama 7 tahun untuk bisa berangkat ke tanah suci tahun ini terhitung sejak tahun 2010 mendaftar. Bahkan ada beberapa kawan dan sanak saudara penulis yang masa penantiannya mencapai puluhan tahun. Dari saking lamanya masa penantian yang harus diterima oleh para pendaftar calon jamaah haji, tanpa terasa ketika tiba jadwal keberangkatan haji yang ditentukan, umur yang dialami mencapai usia lanjut (lansia).
Itulah potret di mana untuk menunaikan ibadah haji membutuhkan perjuangan waktu (time) dan pula ruang (space) yang memungkinkan bagi dirinya untuk betul-betul bisa berangkat.
Dalam kaitan ini, waktu dan ruang menjadi konstruksi persyaratan yang akan dihadapi oleh siapa pun yang berminat menunaikan ibadah haji. Terkecuali ada beberapa pihak tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi petugas haji yang di tahun itu pula bisa menjalankan ibadah haji atas biaya perjalanan dinas, atau yang dikenal dalam selorohan masyarakat sebagai “haji abidin”. Atau, ada pula beberapa pihak tertentu yang mendapat undangan dari Kerajaan Arab Saudi yang menjadi utusan negara sebagai tamu kehormatan bagi Raja Arab Saudi.
Lepas dari perihal teknis dan administrasi proses keberangkatan ibadah haji yang dialami oleh masing-masing orang, ada satu hal yang perlu direfleksikan dari ibadah haji. Yaitu, secara substantif sesungguhnya ibadah haji membentangkan sebuah ritual keberagamaan yang homogen namun disertai oleh pelaku ajaran yang heterogen. Pada wilayah ini, masing-masing jemaah terlibat dalam pola implementasi dan internalisasi peribadatan yang berbeda-beda, sesuai batas kemampuan dan kesadaran keberagamaannya.
Bahkan, pada batas-batas tertentu, ada reportoir eternalisme dan favoritisme yang disertai tangisan untuk merepresentasikan beragam kondisi perasaannya yang dilakukan oleh masing-masing pelakunya di berbagai tempat pelaksanaan ibadah haji.
Pengalaman penulis yang saat kini tengah berada di tanah suci, secara langsung dapat menyaksikan bagaimana masing-masing orang mengekspresikan cara ibadah salatnya ketika menjalankan salat arba’ien ketika berada di Madinah.
Dalam berbagai kesempatan ketika penulis salat di Masjid Nabawi berdampingan dengan beragam cara yang diekspresikan oleh masing-masing orang dari berbagai negara ketika salat. Belum lagi, ketika menjalankan ibadah lainnya seperti tapak tilas Rasulullaah dan para sahabatnya.
Dalam kaitan ini, ihwal peribadatan yang tergelar dalam ibadah haji yang unik tersebut, sangat menarik dikaji melalui teori kosmopolitan yang diuraikan oleh Gerard Delanty dalam buku The Cosmopolitan Imagination. Dalam buku tersebut, setidaknya ada tiga poin penting yang bisa digunakan sebagai kerangka analisis.
Semangat Kosmopolitan
Pertama, kosmopolitan berkaitan dengan lingkup sosial, perbedaan budaya, dan pluralisme. Ibadah haji, selain menjadi kewajiban teologis, juga dilingkupi oleh realitas sosial yang terdiri dari perbedaan budaya dan keberagaman kelompok. Dalam realitas sosial yang bernuansa keagamaan, masing-masing jemaah haji hadir di setiap arena penyelenggaraan ibadah haji baik yang wajib dan sunnah dengan model penyikapan yang beragam, namun tidak mereduksi nilai-nilai esensial yang menjadi pakem masing-masing rukun ibadah haji.
Bahkan, dalam suasana perbedaan dan keberagaman, masing-masing jemaah haji dituntut untuk mengeksplorasi nilai-nilai kearifan yang berdimensi ketuhanan dan kemanusiaan, agar tidak terjebak pada wilayah kerentanan yang bisa mengusik kekhusyuan ibadah haji. Berbagai perspektif dan pemikiran yang mempengaruhi cara pandangnya terhadap ajaran agama akan turut serta dalam bingkai peribadatan haji guna mendekatkan dirinya kepada Allah.
Kedua, kosmopolitan berkaitan dengan pola hubungan yang bersifat global dan lokal. Ibadah haji, sebagaimana yang diungkap oleh Shaleh Futuhena dalam buku Historiografi Haji di Indonesia adalah ruang diplomasi antarumat Islam yang berasal dari berbagai negara untuk mengenali spirit peradaban, baik yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, kebudayaan, realitas sosial, dan semacamnya yang terbangun dalam kehidupan antarmereka.
Dalam diplomasi ini, masing-masing jemaah haji bisa menjalin tali persaudaraan yang dilandasi oleh semangat kemanusiaan dan mempelajari nilai-nilai kearifan yang termuat dalam khazanah lokalitas masing-masing mereka untuk dijadikan hikmah dan pelajaran dalam kehidupannya. Dimensi global dan lokal ini menjadi jembatan pemersatu peradaban dunia agar semangat perdamaian menjadi pilihan utama untuk membangun persaudaraan.
Ketiga, kosmopolitan berkaitan dengan pola ikatan yang saling bernegoisasi. Bahwa kehadiran jemaah haji yang tumpah ruah di berbagai praktik peribadatan rukun haji mempunyai ikatan sosial dan budaya berbeda-beda menjadi keniscayaan yang tak bisa dipungkiri. Namun, secara emosional masing-masing jemaah yang beragam harus saling bernegoisasi dengan semangat kemanusiaan yang rerata.
Antara satu dengan lainnya harus mengedepankan semangat kebersahajaan dalam menjalankan praktik peribadatan dengan asas saling membantu dan melindungi. Semisal yang kuat membantu yang lemah, yang muda membantu yang tua, yang kaya membantu miskin dalam mengakses setiap tempat-tempat peribadatan haji. Semuanya lebur dalam ikatan humanitarian yang saling mengkomunikasikan setiap rintangan yang dialami masing-masing jemaah haji. Dengan begitu, semua pihak tergerak untuk meringankan beban yang dialami oleh pihak-pihak yang membutuhkan.
Ketiga unsur tersebut menjadi medium untuk membangun identitas haji kosmopolitan yang mengedepankan semangat kebersahajaan dan kearifan menuju pribadi bertakwa yang humanis. Ihwal demikian dapat menjadi momen untuk meraih sebuah janji: haji yang mabrur.
Mabrur bukan dalam artian identitas simbolik semata yang “dijebak” oleh perayaan peribadatan haji yang disifati (man’ut) “akbar” (besar) maupun “asghar” (kecil) oleh oknum yang berkepentingan, melainkan sebagai proses lanjutan, terutama pasca ibadah haji, untuk meningkatkan perilaku ketuhanan dan kemanusiaan yang egaliter, inklusif, moderat, dan berkeadilan.
Dengan demikian, pelaksanaan haji akan berdampak maslahah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dan insyaallah akan tercatat sebagai pahala yang tak patut disangka dan dikira.
Baca juga:
Berhaji Ke Mekkah [Sebuah Catatan Personal]