Selasa, April 23, 2024

Saatnya Kita Menyelamatkan Para Mualaf

M. Alvin Nur Choironi
M. Alvin Nur Choironi
Mahasiswa Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Jakarta dan Darus Sunnah IIHS, Seknas Pengurus Pusat FKMTHI dan Pegiat Kajian Hadis di el-Bukhari Institute.
Ustadz Felix Siauw

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki pertumbuhan mualaf yang sangat signifikan. Selain sebagai negara pemeluk Islam terbesar, Indonesia juga diikuti dengan pertumbuhan perpindahan pemeluk agama dari non-Islam ke Islam.

Pada tahun 2016, Mualaf Center Indonesia (MCI) merilis data pertumbuhan jumlah mualaf baru hingga 2016. Sebagaimana dirilis oleh Republika, lebih kurang tercatat 2.491 orang yang akhirnya bersyahadat sebagai Muslim melalui MCI di berbagai wilayah di Indonesia. Jumlah tersebut adalah data sementara yang berhasil dirilis oleh lembaga pembina mualaf. Pendeknya, masih banyak di luar sana yang memeluk Islam dari lembaga-lembaga yang lain. Seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan beberapa lembaga yang lain.

Sayangnya, pertumbuhan jumlah mualaf yang pesat tersebut tidak dibarengi dengan pembinaan secara sistematis dan bertingkat kepada mereka. Sehingga sebelum memiliki keilmuan yang mumpuni, beberapa mualaf sudah tergesa-gesa ingin berdakwah. Hanya dengan berbekal kemampuan public speaking, para mualaf sudah berani memutuskan mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang masuk neraka dan mana yang masuk surga.

Contohnya, beberapa bulan lalu, jagat maya dihebohkan dengan pernyataan seorang mualaf yang mengatakan bahwa cinta tanah air tidak ada dalilnya dalam al-Qur’an, mengharamkan pelaku selfie, hingga memutuskan mana tafsir al-Maidah yang paling benar. Padahal, bagi para pengkaji keilmuan-keilmuan terkait, dibutuhkan pendalaman materi-materi keilmuan yang dalam. Mulai pemahaman bahasa Arab yang baik, kematangan memahami tafsir dan hadis serta kelihaian mengaplikasikan ushul fiqh.

Bagi para pengkaji keilmuan-keilmuan di atas, para mualaf ini dianggap serampangan dalam berargumen. Alih-alih memahami tafsir dan hadis dengan baik sesuai ketentuan yang dirumuskan para mufassir (ahli tafsir) dan muhaddis (ahli hadist), ustadz mualaf ini masih “terbata-bata” menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an yang ia baca dengan bantuan terjemahan al-Qur’an. Karenanya, wajar saja jika para pengkaji keilmuan yang bersangkutan menilai ustadz mualaf ini sebagai orang yang belum matang tapi sudah terlalu percaya diri menjadi ustadz.

Beberapa ustadz mualaf ini mengklaim bahwa ilmu yang dia dapatkan adalah ilmu yang ia raih melalui jalan pintas. Saya tidak paham dengan yang dimaksud jalan pintas dalam hal ini. Hanya saja bagi saya, mempelajari ilmu agama tidak cukup dengan hanya membaca buku-buku yang sudah jadi dan ala kadarnya tanpa mendalami ilmu-ilmu alatnya. Seharusnya mempelajari agama Islam tidak bisa dengan jalan pintas atau semacamnya. Mempelajari keilmuan Islam harus dimulai dari keilmuan yang paling dasar baru kemudian dilanjutkan dengan keilmuan-keilmuan di tingkatan atasnya.

Masyarakat dan Ustadz yang Unik

Kebutuhan dakwah di masyarakat biasanya lebih tertarik dengan ustadz atau pendakwah yang punya ciri khas dalam dakwahnya. Salah satunya adalah mualaf. Sebagai orang yang pernah mencicipi kegetiran menjadi pemeluk agama lain dan dikucilkan di komunitas dan keluarganya karena memeluk Islam, seorang mualaf dianggap lebih representatif dan berpengalaman untuk menjelaskan kepada khalayak terkait kesalahan-kesalahan pemeluk agama lain serta bagaimana manis-getirnya memeluk agama Islam. Dengan begitu, para mualaf ini memiliki nilai plus dan keunikan tersendiri untuk berbicara terkait pengalamannya memeluk Islam.

Saya rasa hal ini lumrah saja jika arah dakwah yang disampaikan sang mualaf hanya berkisar pada sekadar testimoni atau motivasi. Tapi, kenyataanya, semua yang hadir dalam majelis itu tidak bisa membendung dan membatasi tema pertanyaannya. Semua hal ditanyakan, termasuk halal dan haram, yang sebenarnya belum pantas untuk menjadi domain pembahasannya.

Dan ternyata sepertinya sang ustadz mualaf tidak kuasa untuk tidak menjawab pertanyaan dari fansnya. Sang mualaf juga tidak kuasa untuk mengatakan “maaf ini bukan domain saya”, atau berkata “saya tidak mampu menjawabnya”, sebagaimana yang dilakukan oleh ulama-ulama besar saat tidak mampu menjawab pertanyaan dari para muridnya.

Anehnya, para jamaah ustadz mualaf yang sudah sangat ngefans dan terkesima dengan penyampaian nan mengharukan dari sang mualaf sangat mempercayai semua jawabannya. Bahkan mereka lebih memilih percaya dengan mualaf yang baru belajar Islam ini dibanding para kiai dan para pengkaji keilmuan berkaitan yang setiap harinya disibukkan dengan keilmuan bersangkutan.

Tanggung Jawab Pemerintah

Masalah ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan ormas-ormas moderat di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Pemerintah seharusnya mulai merencanakan pendidikan khusus para mualaf agar materi-materi yang mereka pelajari tepat dan sesuai porsi dan berjenjang.

Selain itu, pemerintah juga harus memiliki data yang kongkret terkait perpindahan agama dan lembaga yang membimbing sang mualaf. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa semua mualaf mendapatkan pembinaan yang tepat.

Di sisi lain, materi-materi tentang kebangsaan juga harus menjadi prioritas utama. Karena, kenyataannya, mualaf adalah sasaran empuk kaum-kaum Islamis dan Jihadis dalam melancarkan aksinya. Terlebih kelompok anti-NKRI semacam Hizbut Tahrir Indonesia juga telah menyasar mualaf. Baru-baru ini seorang ustadz mualaf yang dibubarkan pengajiannya diketahui sebagai ustadz yang aktif dalam mengampanyekan khilafah.

Berbekal ghirah tinggi yang dimiliki terhadap Islam, para mualaf ini gampang digiring oleh kelompok-kelompok yang menyatakan dirinya paling islami karena lebih representatif dalam menjalankan hukum Tuhan. Siapa yang tidak mau iming-iming surga yang dijanjikan oleh pengikut khilafah ini. Apalagi bagi mualaf yang sudah terlalu semangat untuk menegakkan agama Islam. Tentu akan lebih mudah lagi untuk direkrut.

Jangan sampai hanya karena dianggap paling islami dan paling sesuai dengan ajaran yang diperintahkan oleh al-Qur’an dan Hadist tentang hukum Islam, para mualaf lebih tertarik dengan kelompok-kelompok anti-NKRI dan Islamis. Para mualaf ini adalah bagian dari saudara kita yang harus selalu dibimbing agar semangat keislamannya tidak dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok Islamis dan anti-NKRI.

Baca juga:

HTI, Yahudi Madinah, dan Perongrong Negara Kesepakatan

Khilafah Islamiyah dan Sejumlah Ketidakmungkinan

M. Alvin Nur Choironi
M. Alvin Nur Choironi
Mahasiswa Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Jakarta dan Darus Sunnah IIHS, Seknas Pengurus Pusat FKMTHI dan Pegiat Kajian Hadis di el-Bukhari Institute.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.