Jumat, April 26, 2024

Pesan Natal harus Konkret, Bahasa “Bagus-Bagus” adalah Sia-Sia

Petrus Richard Sianturi
Petrus Richard Sianturi
Lulusan Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, dan Fakultas Hukum Unika Parahyangan, Bandung.

Setiap Hari Natal umat Kristiani merayakan kebahagian adalah biasa dan wajar. Perayaan yang terlalu berlebihan, apalagi foya-foya, selalu menimbulkan tanda tanya. Dalam iman Kristen, kelahiran Yesus bemakna dalam: bahwa segala dosa saya diampuni dan karenanya manusia yang berlumuran dosa dijamin akan kehidupan baru. Diharapkan mereka menjadi lebih baik, dan tidak jadi keledai; mudah jatuh di lubang yang sama.

Kelahiran Yesus diimani sebagai tanda kelahiran kembali manusia atas pengalaman dosa yang sudah-sudah, untuk kemudian menatap hari ini dan masa depan dalam sikap dan tabiat seperti apa yang Allah inginkan. Kelahiran Yesus dan kemudian seluruh perjalanan hidup-Nya bisa dilihat sebagai kehadiran langsung Allah Bapa dan pesan nyata apa yang Allah Bapa inginkan kita perbuat sebagai manusia dengan segala kelemahannya (Yesus pun terpancing emosi ketika Bait Allah dijadikan pasar).

Natal hendaknya bukan sekadar euforia perayaan (apalagi yang heboh-heboh, ingat ada pesan keras dari lahirnya Yesus di kandang kotor dan tidak layak). Hedonisme dan lupa diri tidak punya tempat dalam Natal. Natal adalah perayaan iman yang bisa dirasakan justru kalau kita benar-benar tahu apa dan untuk apa maksud Yesus lahir itu. Karenanya, pesan Natal, khususnya oleh mereka para imam/pendeta dari mimbarnya harus konkret dan “kena” pada umat.

Natal 2017 dirayakan dalam suasana Indonesia yang masih rentan akan konflik horisontal. Sikap saling curiga melulu dan intoleran masih terasa dan khawatir sewaktu-waktu, kapan pun bisa tersulut. Pengalaman setahun ini, misalnya saat Pilkada Jakarta lalu masih membekas luka bagi sebagian dan bukan tidak mungkin tidak jadi benih dendam dalam hati. Kita jadi sulit memaafkan dan selalu menilai orang lain dari ukuran mata dan kepala sendiri. Penilaian yang tidak akan pernah memuaskan kita.

Sentimen-sentimen negatif atas dasar SARA  masih sering dijadikan dasar adu domba oleh sebagian orang. Penyebaran hoaks, berita bohong yang menghina, menyudutkan dan provokatif masih terus terjadi, apalagi di media sosial. Sepanjang tahun ini, kita hampir terbiasa memaklumi kejahatan-kejahatan verbal dan non-verbal menyebar dan dilakukan begitu saja dalam kehidupan bermasyarakat.

Isu keadilan sekaligus ketidakadilan juga masih sangat minim disentuh oleh hati nurani dan kesadaran. Seorang yang dituduh secara kasar mencuri pengeras suara, seenaknya dipukuli dan dibakar. Istri bunuh suami, begitu juga ditempat lain suami bunuh istri. Anak menggugat ibunya karena harta. Tanah “wong cilik” dirampas untuk obsesi bisnis besar. Diskriminasi terhadap orang lain karena latar belakang dan orientasi tertentu. Penyelesaian pelanggaran HAM yang belum banyak menambah langkah maju.

Korupsi masih terus merajalela, bahkan drama-drama memalukan sekaligus memuakkan terjadi terus oleh koruptor. Jangan bicara kalau korupsi dirasa mereka tidak “taat” ke gereja (kita ingat ada pendeta dihukum karena korupsi besar dan ada uskup mundur karena dugaan penggelapan dana umat!).

Korupsi dan suap-menyuap terjadi dihampir semua lini, semuanya merusak. Paus Fransiskus mengibaratkan korupsi sebagai kuburan: di luar kelihatan rapi dan bagus, di dalam terdapat tulang belulang berbau busuk.

Dalam konteks global, peperangan masih mungkin terjadi. Ketegangan-ketegangan antarnegara, apakah itu kompetisi ekonomi dan politik, masih jadi berita sehari-hari. Hari-hari ini, pengakuan Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel mematahkan segala usaha diplomasi dan resolusi konflik dua negara. Negara-negara kembali bersitegang dan saling mengancam.

Di tataran masyarakat umum (kita bisa lihat bebas di internet dan media sosial), debat semakin tidak sehat. Provokasi jadi umpan yang sempurna untuk memancing sentimen-sentimen murahan.

Solidaritas menjadi sangat jauh dan pura-pura. Yang kelihatan betul adalah kemunafikan dan keegoisan. Orang boleh berangkat gereja, ikut perayaan Natal, tapi makna Natal berhenti juga setelah keluar dari gereja. Perayaan Natal menjadi bukan refleksi iman, saat kita berusaha sadar bahwa Natal jauh lebih dalam dari sekadar pesta, tapi tidak lebih dari momen untuk senang-senang, selesai.

Pesan yang konkret

Pesan Natal memang harus konkret dan sama sekali tidak dibutuhkan bahasa yang “setinggi langit” untuk membumikan maksud-maksud tersirat Tuhan baik lewat Natal dan ayat-ayat di Alkitab. Mimbar yang dibutuhkan, kalau dari situ keluar pesan-pesan dan ajakan-ajakan yang nyata. Kalau bahkan Allah perlu menghadirkan Yesus dalam kenyataan sebagai sungguh-sungguh manusia (bisa dipegang, dipukul, dan dicaci) agar manusia itu “kena”, para imam dan pendeta tidak relevan untuk bicara yang rumit soal maksud Allah dalam konteks sekarang.

Dari mimbar itu perlu keluar penjelasan mengapa ikut memberikan komentar yang berbau SARA adalah juga jelas melanggar perintah Allah. Mengapa sebagai Kristiani, melakukan korupsi dan suap-menyuap, meski sekecil apa pun, adalah juga dosa besar (Jangan mencuri!, Kel. 20:15, Kel. 23:8).

Apakah misalnya cukup membuat umat “kena”, hanya dengan mengatakan bahwa “kita harus hidup sebagai anak Allah, kita harus berdoa pada Roh Kudus dan menjadi terang bagi sesama”? Umat kena, jika mimbar digunakan untuk menyampaikan pesan soal apa yang menjadi kegelisahan konkret, dan karenanya dia jadi bergulat untuk ikut ambil bagian dalam menyelesaikannya.

Saat banyak orang, termasuk di dalamnya orang-orang (paling tidak mengaku) Kristen, ikut saling serang soal isu Yerusalem, mimbar gereja seharusnya digunakan untuk menyampaikan pesan penengah soal historisitas tanah suci, mengapa konflik terjadi dan mengapa pengakuan sepihak Trump perlu ditolak demi mengedepankan solusi yang adil. Tidak ada pesan politik yang bisa dijadikan dalih untuk menyampaikan pesan kemanusian dengan jujur yang mimbar gereja perlu sampaikan.

Jika keluar gereja, di parkiran yang penuh dan sesak, masih banyak umat emosional dan serasa ingin memukul karena tidak sabar (situasi dan suasana yang tidak jarang ditemukan), mimbar gereja harus lebih mengkonkretkan perintah Tuhan untuk “Mengasihi sesamamu, seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:29, Im. 19:18).

Lebih jauh, balik menghina karena, misalnya keyakinan saya sekalipun dihina, adalah juga melanggar perintah Tuhan untuk mengasihi sesama bahkan musuh (orang Kristen tidak boleh menampar balik yang menampar pipinya).

Selama masih banyak orang Kristen yang mudah terpancing ikut jadi curiga dan membenci karena berbeda keyakinan (sama juga dengan radikal-fanatik dan jumlahnya sebenarnya juga lumayan), berarti mimbar gereja harus lebih sering membahaskan perintah Allah untuk mengedepankan dialog agar saling mengenal demi kebersamaan. Saling menjaga dan membela. Saling menghargai dan tidak mudah diadu domba. Sebab, ajaran Kristen sendiri yang menegaskan bahwa iman adalah tawaran dan undangan (2 Kor. 5: 20) dan sama sekali tidak boleh dipaksakan.

Kelahiran Yesus, seperti setiap tahun kita rayakan dalam Hari Natal, adalah maksud Allah Bapa yang nyata untuk membuat umat “kena”. Karena itu, gereja saat ini harus meneruskan pesan Natal itu dalam bahasa konkret untuk mendorong tindakan konkret. Mimbar jangan menyebarkan pesan-pesan yang suka membuat umat tidur daripada merasa. Tentu, perlu diakui, pesan Natal itu kembali pada diri masing-masing, untuk bertindak konkret.

Selamat merayakan Hari Natal.

Kolom terkait:

Pesan Natal dari Seorang Kristiani Anak Seorang Mukmin

Yesus, Tuhan Kaum Muslim Juga? [Refleksi Natal dari Seorang Mukmin]

Selamat Natal, Saudaraku [Natal dalam Al-Qur’an] 

Fatwa MUI yang Salah dan Tidak Perlu

Fatwa MUI di Antara Maulid dan Natal

Petrus Richard Sianturi
Petrus Richard Sianturi
Lulusan Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, dan Fakultas Hukum Unika Parahyangan, Bandung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.