Sabtu, April 20, 2024

Pendeta Gharib dan Umat Kristen Kuwait

Sumanto Al Qurtuby
Sumanto Al Qurtuby
Dosen Antropologi Budaya, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi

Kuwait, atau resminya Negara Kuwait (Daulah al-Kuwait), merupakan negara-kerajaan mini di kawasan Arab Teluk yang berpenduduk sekitar empat juta jiwa. Dibanding dengan negara-negara di kawasan Arab Teluk lain seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab atau Qatar, Kuwait relatif tidak banyak dikenal di kalangan publik Indonesia, meski dulu sempat mencuat saat terjadi Perang Irak–Kuwait pada tahun 1990.

Kalaupun ada yang mengenal Kuwait biasanya dikaitkan dengan kekayaan dan kemakmuran karena memang negara ini salah satu negara kaya dan makmur di dunia.

Kebanyakan publik Indonesia tidak mengenal pluralitas dan kompleksitas etnis, suku, budaya, dan agama masyarakat Kuwait. Padahal, sebagaimana laiknya negara-negara lain, struktur demografi dan agama masyarakat Kuwait juga sangat majemuk dan kompleks, bukan melulu Islam Sunni seperti dugaan mayoritas publik di Indonesia. Meskipun Islam Sunni menjadi penghuni utama di Kuwait, populasi umat Syiah juga sangat signifikan.

Selain Islam, Kuwait juga rumah buat agama-agama non-Islam, antara lain, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, Bahai, dan Sikh.

Populasi Umat Kristen dan Gereja-Gereja di Kuwait

Umat Kristen di Kuwait memiliki sejarah panjang. Pengikut Yesus Kristus ini, konon, sudah ada di Kuwait sejak abad ke-8 dan 9 Masehi. Kepulauan Failaka disebut-sebut sebagai kawasan yang pertama kali dihuni oleh umat Kristen Kuwait. Sepanjang sejarah, mereka tumbuh dan tenggelam, mengikuti irama gendang rezim politik yang berkuasa.

Adapun sejarah kekristenan modern di Kuwait dimulai pada awal tahun 1900-an dengan pendirian Reformed Church of America yang pernah membuka klinik-klinik pengobatan yang terkenal dengan nama The American Hospital.

Saat ini umat Kristen di Kuwait bukan hanya berasal dari kalangan ekspat saja (warga non-Kuwait, baik Arab maupun bukan) yang menjadi mayoritas penduduk Kuwait (sekitar 70%), tetapi juga warga pribumi Arab Kuwait sendiri. Menurut informasi dari berbagai sumber dan studi (misalnya Public Authority for Civil Information), pupulasi umat Kristen di Kuwait mencapai lebih dari 800 ribu atau sekitar 18–20% dari total jumlah penduduk Kuwait.

Karena banyaknya populasi umat Kristen, tidak heran kalau di Kuwait juga dijumpai sejumlah gereja utama dari berbagai denominasi Kristen.

Di antara gereja-gereja besar dan utama di Kuwait adalah Roman Catholic Church (Gereja Katolik Roma), Coptic Orthodox Church (Gereja Ortodoks Koptik), National Evangelical Church (Gereja Evangelis Nasional), Armenian Apostolic Church (Gereja Apostolik Armenia), Greek Orthodox Church (Gereja Ortodoks Yunani), Greek Catholic (Melkite) Church (Gereja Melkite Yunani), dan Anglican Church (Gereja Anglikan).

Selain itu, ada juga Indian Orthodox, Mar Thoma, Seventh-day Adventist Church, Filipino Chruch, The Church of Jesus Christ of Latter-day Saints (Mormon) dan sebagainya.

Mayoritas umat Kristen Kuwait adalah Katolik (Katolik Roma maupun “Katolik Timur” seperti Maronite), kemudian disusul Ortodoks (Ortodoks Koptik, Yunani, Armenia, dan India) dan Protestan dari berbagai kongregasi dan denominasi.

Di antara negara-negara Arab Teluk, posisi Kuwait cukup unik karena negara ini (seperti Bahrain) mempunyai warga negara (“ber-KTP”) yang beragama Kristen. Kebanyakan umat Kristen di kawasan Arab Teluk adalah bukan warga negara. Berdasarkan laporan International Religious Freedom Report, Kuwait juga tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat toleransi agama cukup tinggi dan tingkat diskriminasi dan intoleransi agama yang sangat rendah (lihat juga studi Patrick Johnstone dan Duane Miller dalam artikel mereka, Believers in Christ from a Muslim Background).

RefWorld (UNHCR) juga melaporkan bahwa umat Kristen di Kuwait bebas beribadah dan melakukan aktivitas keagamaan tanpa ada intervensi dari pemerintah. Bahkan, jika diperlukan, pemerintah bisa menyediakan jasa atau membantu keamanan dan pengaturan trafik lalu lintas menuju ke gereja-gereja agar umat Kristen bisa beribadah dengan aman dan nyaman. Bukan hanya itu, pemerintah juga menyediakan lahan khusus untuk kuburan umat Kristen.

Fenomena dan fakta ini tentu saja sangat menarik untuk dijadikan sebagai bahan studi akademik lebih lanjut mengenai relasi Muslim-non-Muslim (atau Islam-Kristen) di Arab Timur Tengah, khususnya kawasan Arab Teluk, yang selama ini selalu dipersepsikan (dan disalahpahami) sebagai kawasan intoleran dan antipluralisme agama.

Ekspresi toleransi dan kebebasan agama di Kuwait itu bisa dilihat dari pernyataan Uskup Massis Zobenian, Patriarchal Vicar of Kuwait, berikut ini:
“Christians in Kuwait enjoyed religious freedom even before the Iraqi invasion in 1990. My community here numbered around 15,000 before the Iraqi invasion. We enjoyed freedom then that every Christian enjoys now–we have schools here, we have a church here–so you can say that Kuwait is tolerant of other religions. Nowadays, we have about 4,000 Armenians in Kuwait, and we are a very well-organized community. We celebrate Mass every Friday in the church, observe feasts of the saints and celebrate Christmas too.” (Kuwait Times 2018).

Kristen Arab dan non-Arab

Dari sisi kelompok etnik, setidaknya ada dua grup Kristen di Kuwait: Arab dan non-Arab. Untuk kelompok Kristen non-Arab, mayoritas merupakan kaum migran dari berbagai negara di Asia, khususnya India, Filipina, Sri Lanka, Bangladesh, dan sebagainya yang sebagian besar bermigrasi ke Kuwait saat terjadi harga minyak pernah booming tahun 1970an, meski sebagian kecil ada yang dibawa oleh kolonial Inggris (dari India) yang didatangkan sebagai pekerja. Saat itu, Kuwait (dan sejumlah negara Arab Teluk lain) membutuhkan banyak pekerja asing untuk mengerjakan berbagai sektor industri dan pembangunan.

Adapun kelompok Kristen Arab di Kuwait kebanyakan berasal dari Palestina, Suriah, Libanon, dan Mesir. Orang-orang Kristen Palestina migrasi ke Kuwait sebagai dampak dari konflik berkepanjangan (dengan Israel) di negaranya, terutama sejak Perang Arab-Israel tahun 1948.

Sementara itu, warga Kristen non-Arab Kuwait lain migrasi ke Kuwait, selain karena faktor pekerjaan juga lantaran untuk menghindari kekerasan politik domestik di negara masing-masing (umumnya mereka migrasi ke Kuwait sejak 1950-an dan 1960-an). Meski bukan asli “pribumi” (native) Kuwait, umat Kristen Arab non-Kuwait ini memiliki loyalitas dan patriotisme yang sama dengan warga “pribumi” Kuwait. Seperti umumnya warga pribumi Kuwait, mereka juga bekerja di berbagai sektor dan menekuni berbagai profesi: birokrat pemerintah, polisi, tentara, dan sebagainya.

Selain populasi Kristen Arab non-Kuwait, umat Kristen pribumi Arab Kuwait sendiri, meski kecil (sekitar 500-an keluarga) juga ada. Di antara klan Arab Kuwait Kristen yang populer adalah Syammas dan Syuhaibar. Umat Arab Kuwait Kristen berbagi bahasa (Arab dialek Kuwait), tradisi, budaya, makanan, dan sebagainya dengan saudara-saudara mereka dari Arab Kuwait Muslim.

Karena berbahasa Arab, umat Arab Kuwait Kristen juga melakukan ritual-ritual keagamaan di gereja (sembahyang, khutbah, dan seremoni keagamaan lainnya) dalam Bahasa Arab. Kitab Injil mereka juga (tentu saja) berbahasa dan beraksara Arab.

Pendeta Pribumi Arab Kuwait

Salah satu tokoh umat Kristen yang cukup berpengaruh dari kalangan etnis Arab Kuwait adalah Pendeta Emmanuel (Amanuel) Benyamin Yakub Gharib. Pdt. Gharib adalah ketua National Evangelical Church, pendeta Kuwait Presbyterian Church, dan wakil presiden Islamic-Christian Relations Council di Kuwait.

Pdt. Gharib, lahir di kawasan Qibla, Kota Kuwait, adalah pendeta pribumi Arab Kuwait. Leluhurnya adalah keturunan Assyria yang bermigrasi ke Irak untuk menghindari eksekusi rezim Turki Usmani terhadap kelompok minoritas Armenia dan Assyria. Karena situasi yang tidak kondusif di Irak, orang tua Pdt. Gharib memilih hijrah ke Kuwait. Sebagaimana laiknya anak-anak Kristen, Gharib kecil juga dididik masalah kekristenan di gereja.

Pada mulanya, Pdt. Gharib adalah seorang geolog dan sarjana teknik (lulus tahun 1971) dan pernah bekerja di Kementerian Minyak Kuwait. Tetapi belakangan (pada 1989) ia memutuskan untuk belajar teologi di Evangelical Theological Seminary di Kairo, Mesir.

Akhirnya, pada tahun 1999, ia resmi dinobatkan sebagai pendeta, dan tercatat sebagai pendeta Arab pertama di kawasan Arab Teluk (Arab News 2018). Tidak seperti di Palestina, Libanon, Mesir, Suriah, atau Yordania, para pendeta dan pastur di kawasan Arab Teluk adalah dari kalangan Arab maupun non-Arab dari luar Arab Teluk.

Meski sebagai umat Kristen, Pdt. Gharib tidak merasa dikucilkan sebagai minoritas yang dibedakan hak-hak politik-agamanya sebagai warga negara Kuwait. “Para tetanggaku yang Muslim di sini baik-baik semua denganku. Kami semua bangga sebagai warga Kuwait, apa pun agama kami. Bahkan kami termasuk yang tinggal di sini saat terjadi Perang Irak-Kuwait”, tutur Pdt. Gharib (Al Arabiya 2017).

Pdt. Gharib adalah bagian kecil dari saksi hidup atas sisa-sisa kekristenan Timur Tengah. Banyak orang kini menganggap Timur Tengah adalah “bumi Muslim”. Banyak orang menganggap Barat adalah “Tanah Kristen”. Mereka lupa bahwa di Timur Tengah-lah, Yesus Kristus dilahirkan. Dan di Timur Tengah pula, umat Kristen mula-mula tumbuh dan berkembang biak, sebelum mereka menyebar ke Eropa, Amerika, dan kawasan lainnya.

Kolom terkait:

Asia Tengah: Pusat Peradaban Islam yang Terlupakan

Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir

Umat Kristiani Bukan Nashara [Kaum Nasrani]

“Islam Kaffah” yang Bagaimana?

Belajar Agama atau Belajar tentang Agama

Sumanto Al Qurtuby
Sumanto Al Qurtuby
Dosen Antropologi Budaya, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.