Kita makin sering mendengar kata “deradikalisasi” sebagai obat melawan terorisme. Apalagi ancaman terorisme dipercaya makin nyata, misalnya dengan mulai terlibatnya kaum perempuan dan anak-anak sebagai pelaku bom bunuh-diri.
Kata itu, deradikalisasi, merujuk kepada dihancurkannya keabsahan (delegitimasi) dasar-dasar ideologis penopang aksi-aksi teroris. Di sini, yang “radikal” dengan sengaja ingin di “de-“kan: dilawan, dihancurkan, di-delete. Pendeknya, ini proses “cuci otak”, agar mantan atau calon teroris “bertobat”.
Program dan kegiatan deradikalisasi menjadi andalan banyak pihak yang peduli pada ancaman terorisme. Tak saja di Indonesia, tapi juga dunia. Di Tanah Air, langkah-langkah ini ditempuh bukan saja oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tapi juga NU dan sejumlah LSM seperti Wahid Institute.
Kegiatan terkait deradikalisasi sangat perlu, tapi sekaligus tak mudah. Ada banyak tantangan di sekelilingnya, dari berbagai sudut: siapa melakukan apa, anggaran, ukuran keberhasilan, dan lainnya. Tantangan terberat lainnya: deradikalisasi sendiri dianggap kurang menekankan pencegahan, yang tak kalah penting dalam langkah-langkah kontra-terorisme.
Deradikalisasi dan “Disengagement”
Aspek-aspek di atas terus menjadi perdebatan di kalangan para sarjana dan peneliti, aktivis LSM, dan pengambil kebijakan. Tak mungkin membahasnya satu per satu di ruang terbatas ini.
Artikel ini hanya ingin melaporkan satu pelajaran terkait berhentinya sejumlah mantan jihadis di Poso, Sulawesi Tengah. Basisnya adalah hasil riset Julie Chernov Hwang, Rizal Panggabean, dan saya yang terbit di Asian Survey (2013), “The Disengagement of Jihadis in Poso, Indonesia”. Kami menggunakan “jihadis”, karena begitulah mereka sudah dan hendak disebut.
Kami fokus pada bagaimana mantan jihadis berhenti dari melakukan aksi-aksi kekerasan, meskipun mungkin mereka belum mengalami deradikalisasi. Kami dari awal membedakan deradikalisasi dan disengagement (Indonesia: “mengambil jarak dari”): kontras dari yang pertama, disengagement fokus pada pilihan tindakan seseorang untuk berhenti dari melakukan aksi-aksi kekerasan.
Riset seperti ini belum pernah dilakukan. Yang cukup banyak diteliti adalah bagaimana seseorang seperti Ali Imron berhenti dari melakukan aksi-aksi teroris. Riset-riset lainnya umumnya membahas sejauhmana program atau kegiatan deradikalisasi berhasil atau gagal. Kami ingin melihat kaitan keduanya: bagaimana langkah-langkah deradikalisasi mempengaruhi, jika ada, seseorang untuk memutuskan berhenti dari melakukan aksi-aksi kekerasan, meskipun mungkin dia (mereka) masih radikal? Apakah kita bisa melihat mekanisme apa saja yang berlangsung di sana, sehingga keputusan berhenti diambil seseorang?
Kami mewawancarai banyak pihak di Jakarta, Palu, dan Poso. Narasumber utama kami adalah 23 jihadis dan mantan jihadis, enam di antaranya masih dipenjara dalam kasus terorisme. Kami memeriksa faktor-faktor emosional, psikologis, rasional, dan relasional yang dapat menarik (pull) atau mendorong (push) para jihadis untuk akhirnya berhenti dari aksi-aksi teror.
Tiga Pemicu Utama
Kami menemukan bahwa para jihadis Poso pada umumnya sudah disengage dari aksi-aksi kekerasan. Hal ini berlangsung dalam proses panjang, dengan mempertimbangkan banyak hal, di mana seorang jihadis merenungkan beberapa pilihan terkait masa depannya. Keputusan untuk berhenti ini bersifat kondisional: beberapa dari mereka menyatakan secara terbuka bahwa mereka akan kembali berjihad jika sebab-sebab lama kembali mengemuka.
Kami juga menemukan bahwa proses berhenti dari berjihad itu disebabkan tiga pemicu (drivers) utama yang saling terkait. Pada tingkat berbeda, bersatunya ketiga pemicu ini membuat mereka memutuskan untuk “bertobat”.
Pertama, faktor-faktor struktural, yakni meningkatnya kapasitas aparat negara, khususnya Polri dan Densus 88, dalam menangani konflik dan kekerasan. Hal ini menjadi fakta keras yang memaksa para jihadis untuk menimbang dan menimbang lagi keuntungan dan kerugian dari aksi-aksi teror yang berkelanjutan.
Karena alasan ini, beberapa di antara jihadis memandang bahwa melanjutkan aksi-aksi teror sangat berisiko. Selain itu, beberapa yang dipenjara mengakui bahwa pergaulan mereka dengan anggota Polri di penjara mengubah pandangan mereka tentang Polri dan negara. Mereka, misalnya, menemukan bahwa anggota Polri juga Muslim yang taat. Fakta ini mengganggu keyakinan mereka sebelumnya bahwa NKRI dan aparat-aparatnya bangsa thaghut.
Kedua, fakrot-faktor penarik (pull factors), yakni terbukanya hubungan-hubungan personal dengan orang-orang lain di luar kelompok jihadis atau teroris yang lama. Hal ini, misalnya, memaksa para (mantan) jihadis untuk mengikuti permintaan ibu atau istri mereka untuk berhenti menjadi jihadis atau mengubah prioritas dalam hidup mereka. Semuanya menarik mereka keluar dari persekutuan lama dengan organisasi teroris.
Seorang narasumber mengisahkan, dia menyerahkan diri ke Polri, sesudah beberapa tahun menjadi pelarian dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), karena itulah isi doa ibunya sesudah salat. Dari kabar yang diterimanya dalam persembunyian, dia tahu bahwa ibunya lebih suka dia menyerahkan diri, karena dengan begitu perasaan si ibu lebih aman dan tenteram.
Beberapa narasumber menyatakan bahwa mereka disengage karena umur mereka kini sudah 30-an tahun, beristri dan beranak—dan bahwa sekarang saatnya memikirkan keluarga dan karir. “Semua anak saya lahir ketika saya di penjara. Saya sudah punya tiga anak…. Saya harus fokus pada keluarga,” katanya. Seorang lainnya lagi menyatakan bahwa dia berhenti karena dia sudah menyesal, apalagi sesudah dia bertemu dengan korban dan keluarganya dulu yang sudah memafkannya.
Ketiga, faktor-faktor pendorong (push factors), berupa tumbuhnya kekecewaan terhadap ideologi, taktik, atau pemimpin organisasi teroris. Ditambah dengan faktor-faktor pertama dan kedua di atas, semuanya ini mendorong mereka keluar dari persekutuan lama.
Beberapa di antara narasumber menyatakan, konflik antara Islam dan Kristen sudah selesai di Poso—karenanya, memerangi warga Kristen sekarang sudah bukan lagi kewajiban seperti sebelumnya. Yang lainnya berubah pandangan karena berhubungan dekat dengan mantan lawannya dulu, seorang Kristen, yang bersama-sama dengannya dipenjara. “Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang aparat sudah kuat,” katanya. Yang lainnya lagi menilai, alih-alih meningkatkan dukungan kaum Muslim, aksi-aksi teroris mereka justru memperoleh kecaman dari banyak Muslim di mana-mana.
Penutup
Artikel pendek ini tak bisa mewakili laporan yang lebih lengkap dan bernuansa yang muncul dalam penerbitan aslinya. Pendalaman apa pun harus merujuk ke edisi aslinya.
Namun, beberapa hal penting dapat disimpulkan dan dapat menjadi dasar kita memajukan program atau kegiatan seperti deradikalisasi. Pertama, para jihadis bisa berhenti dari melakukan aksi-aksi kekerasan tanpa terlebih dahulu mengalami deradikalisasi. Hal ini penting karena sementara program deradikalisasi tak mudah dijalankan, ada cara lain yang bisa ditempuh untuk tujuan yang sama, yakni berhentinya aksi-aksi teroris.
Kedua, kapasitas negara selalu memainkan peran kunci dalam proses di atas. Faktor ini terus menjadi dasar bagi para jihadis untuk menentukan pilihan apakah mau melanjutkan aksi-aksi kekerasan atau tidak.
Implikasinya, jika negara betul mampu bertindak tegas terhadap ancaman terorisme, misalnya dalam bentuk aksi-aksi anarkis, negara harus mau secara tegas menegakkan hukum melawan radikalisme. Jika betul terorisme adalah ancaman, benihnya dalam bentuk-bentuk radikalisme tak boleh didiamkan.