Sabtu, April 20, 2024

Nyepi 2018: Bali Berani Berhenti?

Ni Nyoman Ayu Suciartini
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Penulis, cerpenis, novelis. Novelnya berjudul "Mimpi Itu Gratis" (Gramedia, 2016). Tinggal di Bali.

Apakah setiap yang dilakukan manusia lalu yang disalahkan adalah internet? Yang disalahkan adalah lingkungan atau zaman? Atau yang disalahkan bahkan pemimpinnya?

Kapan manusia bisa menyadari jika ia seharusnya berpikir dulu sebelum bertindak? Kapan manusia diberi kesempatan untuk menyadari jika ia adalah mahkluk lebih tinggi dari zaman, dari lingkungan, bahkan dari internet sekalipun? Yang menentukan martabat manusia adalah perilakunya.

Sabtu, 17 Maret 2018, umat Hindu menyelenggarakan hari suci Nyepi yang artinya Bali, bahkan dunia, mungkin turut merayakan sehari tanpa cahaya, tanpa ingar bingar, tanpa aktivitas, dan yang tersisa hanya hening, murni.

Beberapa tahun belakangan, hari suci Nyepi sempat diwarnai hal yang tak seharusnya. Orang beramai-ramai mengunggah foto selfie saat hari Nyepi dan seolah menunjukkan kepada dunia bahwa dialah satu-satunya makhluk yang berkeliaran di jalanan yang lengang. Bahkan, ada satu kampung di Kawasan Pancasari Bali yang sengaja merayakan “keramaian” saat hari Nyepi tersebut. Ini sungguh bertentangan dan menuai perhatian banyak kalangan.

Dunia pun berkomentar, apakah nyepi yang modern itu adalah dengan turun ke jalanan lalu berteriak-teriak? Video ini diunggah oleh seorang netizen dan menjadi viral. Beragam komentar menyudutkan aksi yang dinilai tidak menampilkan toleransi beragama itu.

Berbekal pengalaman ini, Nyepi kali ini disambut dengan seruan untuk memutus saluran internet di Bali. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya oknum-oknum yang mengunggah hal tidak pantas di dunia maya saat hari sunyi itu tiba. Apakah dengan memutus saluran internet di Bali, keinginan untuk selfie atau menodai perayaan Nyepi juga dengan sendirinya ikut padam?

Lalu, seruan ini ditanggapi beragam. Ada yang penuh mendukung, ada pula yang risau menolak. Keputusan memutuskan internet sehari ini dinilai berlebihan. Bagaimana dengan warga yang menjalankan bisnis jual-beli online, sehari tanpa internet itu bisa jadi berarti satu hari tak makan, tak berpenghasilan. Bagaimana dengan yang jomlo, mereka akan kesepian melewati nyepi yang memang sepi.

Bagaimana dengan yang harus bekerja atau kuliah setelah nyepi, mereka harus mengerjakan tugas-tugas sebagai bekal hari nyepi. Dan yang tetap tenang adalah mereka yang tak terlalu kecanduan internet, tak memiliki kepentingan dengan jaringan internet, dan juga mereka yang sudah bebal dengan kehidupan dunia maya yang meletihkan juga.

Saatnya, hanya satu hari saja, mereka bisa merasakan hidup yang sebenarnya. Menatap wajah suami atau istrinya 24 jam tanpa campur tangan telepon genggam, bisa mengajak bicara anak-anaknya dan mendengar keluh kesah anak-anaknya.

Ada juga yang ingin merenung di saat sepi itu apakah yang telah ia persiapkan untuk menuju kematian. Sebab, kematian itu pasti.

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali sudah meminta kepada Kementerian Informasi dan Komunikasi untuk memutus layanan internet saat Hari Raya Nyepi. Hal ini untuk mengantisipasi agar momen Nyepi tidak dipakai untuk selfie-selfie. Seruan bersama tersebut juga ditandatangani oleh Gubernur Bali Made Mangku Prastika, Komandan Korem 163, dan sejumlah petinggi yang tentunya saja menyetujui usulan ini.

Surat tersebut berisi delapan seruan, termasuk larangan siaran bagi televisi dan radio, dan kewajiban menjaga dan menghormati Hari Raya Suci Nyepi. Satu hal yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya adalah seruan keempat berupa provider penyedia jasa seluler yang diharapkan untuk mematikan data seluler (internet) dari Sabtu 17 Maret 2018 pukul 06.00 WITA hingga Minggu 18 Maret pada jam yang sama.

Nyepi kali ini akan menjadi istimewa. Selain datangnya bersamaan dengan hari suci Saraswati, di mana dirayakan sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan, nyepi akan membuat kesadaran yang lebih. Catur Brata Penyepian, empat larangan, yaitu tidak boleh berapi-api, tidak boleh bepergian, tidak boleh beraktivitas, tidak boleh berfoya-foya, sudah harus dijalankan dengan penuh kesadaran pula.

Bali yang selalu ramai akan hening sehari. Tidak ada ingar bingar Pantai Kuta, Kawasan Ubud akan nyaring dengan suara burung bersahutan. Semua penghuni alam merayakan kebebasan, lalu manusia yang gilirannya mengurung diri.

Akan menjadi perhatian menarik bagi Indonesia juga dunia. Bali yang penuh ingar bingar harus benar-benar terasing sehari? Bagaimana kualitas hidup sehari tanpa internet, tanpa ingar bingar akan menjadi pemandangan unik di mata dunia. Bisa jadi ini menjadi daya tawar yang lain tentang Bali.

Sekali lagi ini bukan sebuah kebakuan. Jangan lantas cepat-cepat menyalahkan internet dan menuduhnya sebagai biang keladi semua persoalan nyepi yang tak sesuai hakiki itu. Namun, jika dicoba, hanya sehari saja meniadakan internet dalam kehidupan modern itu juga bisa jadi obat mujarab. Mungkin.

Apakah kualitas hidup dan juga kualitas nyepi kian meningkat? Jika ya, mungkin kita bisa menambah porsi peniadaan internet, sehari, dua hari, seminggu, sebulan, mungkin selamanya.

Baca juga:

Merawat Toleransi dari Pulau Bali

Hijrah dan Pesan Persaudaraan Lintas Agama

Raja Salman, Bali, dan 50 Penari Pendet

Mem-“Bilal”-kan Toa

Ni Nyoman Ayu Suciartini
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Penulis, cerpenis, novelis. Novelnya berjudul "Mimpi Itu Gratis" (Gramedia, 2016). Tinggal di Bali.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.