Jumat, Maret 29, 2024

Mudiklah, Wahai Jiwa yang Tenteram

Jamal D. Rahman
Jamal D. Rahman
Penyair, esais, dan dosen sastra UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi "Jurnal Sajak". Mantan pemimpin redaksi majalah sastra "Horison" (2003-2016). Buku puisinya: Airmata Diam, Reruntuhan Cahaya, Garam-Garam Hujan, dan Rubaiyat Matahari. Bukunya yang akan segera terbit: Wahdatul Wujud: Artikulasi Islam dalam Sastra Indonesia Modern dan Secangkir Kopi Seorang Musafir (kumpulan esai). Penerima Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2016.
Rindu kampung. Sejumlah penumpang turun dari KM Labobar yang bertolak dari Pelabuhan Balikpapan saat tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (18/6). ANTARA FOTO/Moch Asim

Mudiklah, wahai jiwa yang tenteram. Mudiklah ke kampung halamanmu yang telah lama kautinggalkan. Hari-hari ini kampung halamanmu atau kampong memanggil-manggilmu, membangunkan jiwa dan rohmu untuk pulang barang sebentar, sekadar mereguk udara dan meneguk air tempat asalmu—yang barangkali sudah lama terlupa. Jiwa dan rohmu pasti mendengar panggilan gaib itu. Itu sebabnya hatimu bergetar setiap kali melihat teman atau tetanggamu mempersiapkan sesuatu untuk pulang, guna merayakan kemenangan di kampung halaman.

Merayakan kemenangan? Setidaknya engkau telah mencoba mengalahkan dirimu sendiri. Selama Ramadhan ini, engkau berusaha menahan diri dari semua hal yang akan mengotori rohmu. Engkau berpuasa, sebagai usaha menundukkan godaan-godaan yang kerapkali membelenggumu sekaligus membuat hatimu tak mendengar suara kalbumu sendiri. Engkau salat malam dan merenungkan ayat-ayat suci, sebagai usaha mengembalikan dunia batinmu pada keluasan semesta yang paling murni. Sebesar usahamu mengalahkan dirimu sendiri, sebesar itu pula kemenangan yang akan kauraih.

Dengan itu semua, engkau mempertajam kepekaan rohanimu pada dunia terdekat hingga lingkungan terjauh yang mungkin dijangkau oleh rohmu yang tak terbatas. Ya, rohanimu kini begitu peka pada setiap panggilan. Engkau menangkap setiap sinyal yang dikirimkan lewat satelit di angkasa rohanimu yang bergemuruh. Kaudengar suara memanggil-manggil dari setiap penjuru: dari kampung halaman yang jauh, dari saudara-saudaramu yang miskin dan papa, dari mereka yang dizalimi di berbagai sudut dunia, dari hatimu sendiri yang selama ini cenderung tertutupi oleh nafsumu yang gelap.

Terbayanglah di matamu rumputan, pohonan, dan jalanan kampung halaman yang telah lama kautinggalkan—dan semuanya membakar rindumu. Terbayanglah olehmu wajah-wajah memelas di sudut-sudut kota yang kumuh, di kolong jembatan, di pojok-pojok desa yang berdebu. Terdengarlah jerit tangis mereka yang dirampas haknya dan terusir dari kampung halaman mereka di berbagai sudut dunia. Terdengar jugalah olehmu jerit histeris lumpur Lapindo yang kelam itu. Dengan kepekaan rohanimu, setiap kali terbayang dan terdengar jerit mereka, kauulurkan tangan dan hatimu yang paling kudus.

Aduhai jiwa yang tenteram, minal ‘aidin walfaizin. Engkaulah kini jiwa yang mudik, kembali pada asal kemurnian dan kesucianmu. Engkaulah kini jiwa yang beruntung, meraih kemenangan (Idul Fitri) setelah menundukkan godaan-godaan yang kotor. Engkaulah kiranya kini jiwa yang tenteram di tengah dunia yang penuh guncangan.

Engkau memang harus mudik, sebab engkau adalah musafir. Engkau telah meninggalkan kampung halamanmu, merantau, mengembara ke daerah-daerah paling jauh. Tapi sejauh-jauh engkau merantau, tak ada daerah yang lebih jauh dibanding daerah dalam dirimu sendiri. Ya, engkau merantau ke daerah terjauh, daerah terjauh dalam dirimu sebagai sebuah semesta.

Di rantau, engkau menemukan impianmu. Tapi ikatan dan ingatan primordial pada kampung halaman tak pernah benar-benar pupus. Bagimu, rantau bagaimanapun adalah sesuatu yang asing. Pada titik itu engkau adalah musafir lata: memendam perih dalam bahagia, merasa gembira dalam pedih—dan engkau selalu rindu pulang.

Tapi pulang bukan sesuatu yang mudah. Jalan menuju pulang seringkali begitu terjal dan berliku. Penuh hambatan, berlubang, dan berdebu. Hasrat dan seluruh bekal yang kaumiliki seringkali tak cukup bertenanga untuk mendorongmu pulang, apalagi mudik.

Untuk pulang, engkau memerlukan juga daya panggil yang kuat dari kampung halamanmu, sebagai sebentuk “hidayah” yang membakar rindumu. Mudik adalah titik temu paling mesra antara rindumu yang berapi-api pada kampung halaman di satu sisi, dan panggilan kampung halaman agar engkau segera mudik di sisi lain. Pertemuan dua hal itulah yang memberimu tenaga untuk mengatasi semua tantangan dalam jalan terjal menuju pulang.

Pernah kaubilang mudik itu absurd, tak masuk akal, aneh. Berdesakan. Berjubelan. Macet. Panas. Berkeringat. Bau. Mahal. Menyiksa. Ya, karena kau bukan bagian dari para pemudik itu. Api rindu pada kampung halamanmu padam. Kau pun tak mendengar panggilan kampung halamanmu. Atau kampung halamanmu memang tak memanggil-manggilmu? Atau jangan-jangan kampung halamanmu tak mengharapkan kepulanganmu? Astagfirullah. Untunglah kini kautahu: alangkah malang musafir lata yang tak terbakar oleh rindu pulang.

Maka, mudik adalah jalan menuju “sorga”. Dan jalan menuju “sorga”, atau bahkan sorga, seringkali memang perih. Ia menuntut kesediaan jasmani dan rohani untuk pasrah dan secara total menyerah pada prosedur formal yang tersedia, betapapun melelahkan dan menyakitkan. Betapapun tak masuk akal. Untuk meraih “sorga”, kadangkala engkau harus menjalani “siksa”. Itulah yang oleh Jalaluddin Rumi diibaratkan dengan buncis: agar lezat dan bergizi, buncis rela menjalani siksa, yaitu direbus dalam air mendidih. Dengan kesadaran itu, buncis tak merasakannya sebagai sebuah siksaan.

Kalau kampung halaman memanggilmu untuk pulang, itu bukan untuk kampung halaman, melainkan untuk dirimu sendiri. Kampung halaman tak punya kepentingan dengan kepulanganmu. Ia memanggilmu, semata karena rasa kasihnya yang begitu besar kepadamu. Sebab, dia tahu: di rantau engkau adalah musafir lata. Karena rantau adalah sesuatu yang asing, dan ingatan primordial tak pernah benar-benar pupus darimu, kampung halaman pun tahu: engkau adalah seorang perantau yang merasa terasing. Kampung halaman memanggil-manggilmu demi mengatasi perasan terasingmu sendiri.

Maka, mudiklah ke kampung halamanmu. Mudiklah ke rumah spiritualmu. Kembalilah ke muasalmu dengan hati rela dan direlakan. Mudah-mudahan Tuhan menyapamu dengan sapaan yang agung: ya ayyutuhan nafsul muthmainnah, irji’iy ila robbiki rodhiyatan mardhiyyah, fadkhuli fi ‘ibadi, wadkhuli jannati (Wahai jiwa yang tenteram, pulanglah kepada Tuhanmu dengan rela dan direlakan, masuklah ke dalam golongan hamba-Ku, dan masuklah ke sorga-Ku).

Wahai jiwa yang tenteram, selamat datang di kampung halaman. Selamat datang di Kampung Halaman. Minal ‘aidin walfaizin….

Baca juga:

Inti Idul Fitri adalah Pesta Makan

Jamal D. Rahman
Jamal D. Rahman
Penyair, esais, dan dosen sastra UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi "Jurnal Sajak". Mantan pemimpin redaksi majalah sastra "Horison" (2003-2016). Buku puisinya: Airmata Diam, Reruntuhan Cahaya, Garam-Garam Hujan, dan Rubaiyat Matahari. Bukunya yang akan segera terbit: Wahdatul Wujud: Artikulasi Islam dalam Sastra Indonesia Modern dan Secangkir Kopi Seorang Musafir (kumpulan esai). Penerima Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2016.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.