Nurcholish Madjid yang lebih akrab disapa Cak Nur merupakan salah satu pemikir Islam terkemuka di Tanah Air. Karya-karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi) sudah banyak yang membahas pemikiran Cak Nur dalam berbagai perspektif. Di antara pemikiran Cak Nur yang paling menonjol dan selalu relevan dalam konteks kekinian adalah tentang kesatuan tiga entitas, yakni “Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan”.
Sebagai agama samawi, Islam, selain merupakan doktrin, tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah sejak pada saat pertama kali muncul, berkembang, dan hingga entah sampai kapan (hingga akhir zaman). Pemahaman keislaman yang melepaskan diri dari konteks sejarah akan menimbulkan masalah, dan akan sangat berbahaya jika yang disalahkan Islamnya, bukan pemahamannya.
Munculnya praktik-praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari sekadar intoleransi yang mengoyak kebersamaan hingga teror yang mematikan, tidak bisa lepas dari pemahaman Islam yang menihilkan aspek-aspek historis sehingga memunculkan justifikasi keabsahan atas tindakan-tindakan yang sejatinya bertolak belakang dengan doktrin Islam.
Masalahnya akan semakin (tambah) kompleks jika malpraktik keislaman semacam ini tidak semata karena kekeliruan pemahaman, tapi juga karena intervensi kepentingan politik kekuasaan yang dalam praktik sangat sulit dibedakan antara ambisi subjektif sang politikus dengan kepentingan agama yang dipeluknya. Apakah yang tengah diperjuangkan benar-benar merupakan kepentingan agama, ataukah ambisi pribadi yang dibungkus dengan kepentingan agama.
Untuk menjawab kerumitan inilah, Cak Nur pernah memunculkan jargon “Islam Yes, Partai Islam, No!” yang kemudian banyak disalahpahami, terutama oleh para aktivis partai Islam. Cak Nur dianggap anti-partai Islam. Padahal yang dimaksud adalah, pertama sebagai kritik atas praktik politik yang mengatasnamakan Islam tapi tidak berpijak pada prinsip-prinsip Islam yang sebenarnya; dan kedua sebagai bentuk apresiasi terhadap praktik objektivikasi Islam dalam politik, meski tanpa mengibarkan bendera partai Islam.
Dalam konteks keindonesiaan, dikotomi antara partai Islam dan partai bukan Islam hanya menimbulkan perpecahan yang destruktif. Karena pada dasarnya dikotomi itu semata-mata didasarkan pada kepentingan subjektif, bukan atas dasar kepentingan objektif Islam sebagai agama universal.
Dalam praktik, tidak jarang kepentingan agama juga menjadi perhatian para aktivis Muslim yang berkiprah dalam partai yang tidak mengatasnamakan Islam. Jika tidak segera diakhiri, dikotomi ini akan sangat berbahaya bagi keindonesiaan.
Untuk menghindari malpraktik keislaman di Indonesia, Islam harus dipahami dalam kerangka kemodernan dan keindonesiaan. Dalam pandangan Cak Nur, Islam tidak hanya kompatibel dengan semangat modernitas, tapi juga mendukung, dan bahkan kemodernan itu bisa dikatakan inheren dalam Islam. Dengan kata lain, semangat kemodernan seperti rasionalisasi, sekularisasi, dan bahkan liberalisasi merupakan bagian dari semangat Islam.
Banyak kalangan salah paham dengan upaya Cak Nur mengaitkan semangat kemodernan dengan Islam. Untuk menghindari kesalahpahaman itulah kemudian dijelaskan dalam tulisan “Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan Westernisasi”. Kata Cak Nur, modernisasi bukan westernisasi, rasionalisasi bukan rasionalisme, sekularisasi bukan sekularisme, dan liberalisasi bukan liberalisme.
Islam juga bukan hanya kompatibel bagi semangat keindonesiaan (yang multikultural) tapi juga mendukungnya. Islam yang secara harfiah bermakna “kepatuhan” atau “ketaatan” yang diimplementasikan dengan kepasrahan pada Tuhan, maka sejatinya agama-agama di dunia ini sejatinya “islam” (pasrah pada Tuhan). Nilai-nilai universal inilah yang, menurut Cak Nur, harus dikaitkan dengan kondisi ruang dan waktu agar menjadi kekuatan yang efektif dalam masyarakat sebagai etika sosial.
Upaya kontekstualisasi Islam dengan semangat keindonesiaan, selain berakar dari pemaknaan Islam itu sendiri, juga tidak lepas dari pemaknaan kalimat tauhid, la ilaaha illallah menjadi “tiada Tuhan selain Tuhan”. Terdengar unik karena berbeda dari pemaknaan umumnya “tiada Tuhan selain Allah”. Bagi Cak Nur, mengganti kata Allah dengan Tuhan adalah absah karena hanya masalah bahasa yang substansinya sama.
Dari sinilah kita bisa melihat betapa kuatnya semangat inklusivitas keagamaan Cak Nur. Bagaimana membangun kebersamaan yang tidak semata dilandasi kepentingan pragmatis untuk sekadar mentoleransi pemeluk agama yang lain, tapi lebih dari itu karena secara teologis pada hakikatnya agama-agama memiliki doktrin yang sama–suatu pandangan yang juga banyak disalahpahami.
Tak ada alasan bagi warga negara Indonesia untuk berselisih paham, atau bahkan terpecah belah lantaran berbeda agama. Sebab, agama-agama pada dasarnya memiliki landasan teologi yang sama, yang dalam praktik, Cak Nur sering mengibaratkannya seperti jeruji sepeda yang terpisah satu sama lain tapi bersumbu pada as yang sama.
Bisa jadi, konflik antar-agama, atau bahkan intra-agama (sesama pemeluk agama yang sama) yang kerap mengoyak kebersamaan kita, lebih disebabkan karena kepentingan politik subjektif dari para ambisius yang berupaya meraih ambisinya dengan mengatasnamakan kepentingan agama.
Maka, menjaga pemikiran Cak Nur yang paling penting dalam konteks kekinian adalah bagaimana menjaga pemahaman dan implementasi agama yang inklusif dari “tangan-tangan kotor” para ambisius yang (baik secara sadar atau tidak sadar) ingin meraih ambisinya dengan memperalat agama.