Kamis, Maret 28, 2024

Mengkaji Apa itu Islam

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.

islamPertanyaan apa itu Islam dan apa itu islami, penting dan aktual buat kita di Indonesia, yang berdebat apakah orang itu Muslim, atau kafir; apakah politiknya Islami, atau sekuler; apakah pakaiannya Islami; apakah teroris itu Islam atau bukan; apakah non-Muslim bisa bertindak Islami; apakah sebuah negeri kafir bisa dianggap Islami.

Syaikh Muhammad Abduh (w.1905), misalnya, mengatakan, “Di Prancis, saya melihat Islam, bukan Muslim. Di Mesir, saya menyaksikan Muslim, tapi bukan Islam.”

Itu pertanyaan-pertanyaan praktis. Tapi ada juga pertanyaan-pertanyaan teoritis dan konseptual tentang apa itu Islam dan bagaimana seharusnya mengkaji dan menjelaskan Islam, yang sangat majemuk, rumit, dan saling bertolak belakang itu.

Shahab Ahmed, dosen studi Islam di Harvard, yang lahir di Singapura, asal Pakistan, dan wafat 17 September 2015 di Boston, menulis What is Islam?: The Importance of Being Islamic, sebagai konseptualisasi ulang tentang apa itu Islam dan Islami karena menurutnya kajian-kajian Muslim dan terutama Barat non-Muslim sejauh ini tidak memadai dan salah kaprah.

Menurut Shahab Ahmed, Islam harus dikaji sebagai fenomena manusia dan historis yang luas dan bisa jadi saling bertolak belakang. Islam dalam dirinya bersifat kontradiktif, dan kontradiksi ini bukan sesuatu yang aneh atau asing tapi justru terpadu dan konsisten (koheren).

Islam juga bukan melulu bersifat preskriftif atau perintah dan larangan, tapi juga eksploratif, yaitu bersifat menjelajah dan membuka berbagai bentuk pengungkapan dan wujud interaksi manusia dengan wahyu Nabi Muhammad.

Islam bukan hanya hukum fiqih yang sering disebut sebagai “syariat Islam”, tapi juga meliputi falsafah (seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd), tasawuf (seperti Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi), puisi (seperti karya Hafiz Syiraz), mazhab cinta (madzhab al-Isyq), seni yang membolehkan gambar makhluk hidup, dan bahkan ungkapan dan praktik minum anggur di kalangan Muslim.

Sebagai pengkaji, kita tidak semestinya membatasi Islam hanya pada ungkapan dan institusi yang dianggap ortodoks atau normatif, yang berpatokan pada hukum perintah dan larangan. Para pengkaji Islam di Barat khususnya, membuat konseptualisasi yang tidak pas untuk Islam. Misalnya, Islam sama dengan syariat atau hukum Islam; Islam berarti hanya “agama”, atau religion, sedangkan budaya (culture) dianggap bukan atau kurang Islam (paling-paling hanya disebut “Muslim”, seperti frase budaya Muslim, yang seharusnya budaya Islam).

Atau paling sekadar disebut “Islamicate”, budaya dan peradaban Islami, dan enggan menyebut Islam. Ada juga konsep “Islams” (dengan s, yang dalam bahasa Inggris artinya “banyak Islam”, tapi mereka tidak jelas mengapa varian yang banyak itu disebut Islam).

Islam juga sering dikaji melulu berfokus pada teks dan selalu dicari-cari rujukan teks, padahal ungkapan Islam tidak terbatas pada hal-hal yang punya rujukan teksnya. Hukum alam (yang bukan teks), misalnya, juga Islam.

Islam juga tidak identik dengan apa pun yang merujuk hadis-hadis, yang tidak semua Muslim menerima validitasnya dan mengikutinya, seperti di kalangan Ahlul Qur’an yang ragu atau bahkan menolak hadis. Sunnah atau perilaku Nabi Muhammad didekati para pengikutnya secara berbeda-beda.

islam-shahabBahkan ungkapan syahadat bahwa “Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasulullah”, bukanlah hal yang tanpa perbedaan menyangkut pengertian dan pengejawantahannya. Bagaimana dengan sementara kalangan Syiah yang mengakuti “Ali adalah wali Allah”.

Bahkan pemaknaan tiada tuhan selain Allah juga berbeda-beda dan bahkan ada yang bertentangan satu sama lain, seperti diuraikan Al-Syahrastani dalam kitabnya Al-Milal wa al-Nihal. Dengan kalimat lain, Shahab Ahmed berpendapat, Muslim memahami Allah, Muhammad, dan ketundukan kepada Allah dan pengikutan terhadap Muhammad, secara berbeda-beda.

Non-Muslim seperti Yahudi, menurut Ahmed, pun bisa dikatakan Islami ketika ungkapan dan prakteknya menggunakan bahasa, wacana, atau dalam konteks Islam. Musa bin Maymun atau Maimonides, misalnya, adalah filosof Yahudi yang wacananya, struktur, isi, dan makna ungapan-ungkapannya adalah Islam. Dalam bahasa Ahmed, aktornya Muslim atau non-Muslim tidak berpengaruh pada apakah suatu aksi atau perbuatan disebut Islami atau tidak. Yang menentukan Islami adalah apakah ada interaksi manusia itu terhadap Wahyu kepada Muhammad.

Dalam Islam juga tidak bisa dipisahkan agama dan sekuler, sakral dan duniawi, ketuhanan dan kemanusiaan. Islam tidak memisahkan agama dan sains, yang kemudian diartikan sebagai cara hidup yang menyeluruh (din dalam bahasa al-Qur’an, atau a whole way of life, meminjam frase sarjana studi Islam dan pendeta dari Skotlandia W. Montgomery Watt).

Mengkaji Islam berarti mendalami dan menjelaskan setiap pengungkapan dalam kata, tertulis atau tidak, praktik, dan pelembagaan, sebagai bentuk pergumulan penafsiran (hermeneutical engagement) dengan wahyu Tuhan kepada Nabi Muhammad. Cerita-cerita seperti Layla Majnun, bait-bait puisi seperti Masnawi, tarian, musik, humor, dan sebagainya.

Jihad pun, baik fisik maupun intelektual dan spiritual harus dikaji sebagai Islam. Kekerasan atau bahkan terorisme yang menggunakan bahasa, wacana, dan teks Islam pun dikaji sebagai Islam. Maka ada “kekerasan Islam”, sebagaimana ada kekerasan nasional, kekerasan Amerka, kekerasan Israel, dan lain-lain. Tapi jihad-jihad lain, seperti ungkapan Awliya Salabi yang menulis “bergulat dengan istri untuk mengembangbiakkan spesis manusia” sebagai jihad akbar, juga adalah Islam.

Penulis dan aktifis seperti Abu Ala Maududi (w.1979) yang menyebut Ahmadi sebagai non-Muslim harus dikaji sebagai Islam. Tapi pada saat yang sama, Ahmadi juga harus dikaji sebagai Islam karena mereka juga memahami dan berinteraksi dengan wahyu Allah terhadap Muhammad, meskipun berbeda dan bertentangan sebagiannya dengan Muslim-muslim yang lain. Begitu pula, Khawarif, Syiah, dan berbagai aliran yang berinteraksi dengan wahyu Tuhan terhadap Nabi Muhammad harus dikaji sebagai Islam.

Lebih jauh dari itu, wahyu Tuhan tidak terbatas pada al-Qur’an, tapi juga wahyu-wahyu dan tanda-tanda (ayat-ayat) lain sepanjang masa dan di mana pun, yang oleh sarjana lain disebut wahyu universal.

Shahab Ahmed membagi Wahyu menjadi pra-teks, teks, dan kon-teks. Pra-teks adalah wahyu yang melampaui dan di belakang teks, teks adalah kitab al-Qur’an, dan kon-teks adalah keseluruhan ruang dan kosakata makna-makna Wahyu yang dihasilkan manusia yang berinteraksi dengan Wahyu, dalam sejarah. Filsafat dan tasawuf adalah contoh-contoh penafsiran manusia terhadap pra-teks Wahyu.

Jika mengikuti konseptualisasi Ahmed di atas , maka Islam yang lahir dan berkembang di Indonesia atau Amerika adalah Islam, tidak kurang Islam-nya dengan Islam di Arab, sejauh manusianya berinteraksi dengan Wahyu dan memaknainya sebagai Islam.

Partai politik yang dianggap sekuler atau nasionalis harus dikaji sebagai Islam jika para pelakunya memaknai visi dan misi partainya itu, atau aksi dan programnya sebagai Islam. Hukum positif pun bisa dikaji sebagai Islam jika ia dalam konteks Islam dan nilai-nilainya seperti nilai ketuhanan dan kemanusiaan (termasuk nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan keindahan).

Pancasila pun Islam. Wayang pun Islam. Puisi pun Islam. Perpustakaan pun Islam. Nasionalisme Islam. Sosialisme Islam. Sejauh itu dimaknai sebagai bentuk interaksi terhadap Wahyu kepada Muhammad.

Pertanyaan-pertanyaan bisa diajukan kepada Shahab Ahmed. Apakah Islam bisa dilabelkan kepada orang atau aksi yang hanya secara substantif sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan tapi tidak secara eksplisit atau lahiriyah disebut Islam? Sejauhmana kontradiksi dalam Islam yang menjadi fokus konseptualisasinya itu bisa berakibat peminggiran dimensi keterpaduan Islam?

Karena Islam tidak hanya majemuk dan saling bertentangan, bagaimana para pengkaji Islam juga membuat rekonseptualisasi “perubahan” dalam Islam? Apakah setiap kata dan perbuatan seorang Muslim harus dikaji sebagai Islam, meskipun kata dan perbuatan itu bertentangan dengan pemaknaan atas Wahyu terhadap Muhammad? Bagaimana umat-umat sebelum Nabi Muhammad yang juga berinteraksi dengan wahyu Tuhan: apakah itu Islam?

Umat Muslim sepanjang sejarah berbeda pendapat tentang apa itu Islam dan apa itu bukan Islam. Islam bersifat kontradiktif dalam dirinya, dan, menurut Shahab Ahmed, harus dikaji seperti apa adanya. Mengkaji apa itu Islam berarti mengkaji berbagai pemaknaan, pengungkapan, dan praktik, baik tekstual maupun non-tekstual, baik lahiriah maupun batiniah, baik literal mapun majazi, baik pribadi maupun publik, sebagai bentuk interaksi manusia terhadap wahyu Tuhan kepada Nabi Muhammad.

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.