“Tuhan ada di sini di dalam jiwa ini… “ (Ebiet G. Ade)
“Aku dekat, Engkau dekat; Aku jauh, Engkau Jauh; Hati adalah cermin, tempat pahala dan dosa bertarung.. “ (Bimbo)
Benarkah Tuhan ada di hati Manusia? Tuhan itu sesungguhnya sangat dekat, sedekat urat nadi. Dia selalu bersemai dalam setiap jiwa manusia. Ke mana pun kita bergerak, Tuhan selalu hadir. Tuhan tak pernah tidur. Tuhan ada di mana-mana: di warung kopi, di balik meja editor, di balik kursi “sakral” sutradara, di darat, di laut, di udara, bahkan di ujung spektrum.
Dialah al-muhith, melingkupi segala dimensi kehidupan kita; melampaui ruang, waktu, batas. Karena Dia sungguh tak terbatas.
Kendati Tuhan secara eksistensial selalu dekat dengan diri kita, tidak semua manusia merasakan dan menyadarinya. Manusia acapkali lupa bahwa di dalam dirinya ada motif—memijam istilah Aristoteles—teogenetis sebagai sumber energi yang dahsyat. Danah Zohar dan Ian Marshal (2008) menyebut sumber energi tersebut sebagai modal spiritual. Dan, modal spiritual inilah yang kini meruntuhkan bangunan konsepsi manusia modern di jagat Barat berbasis filosofis-psikologis Sigmund Freud.
Jika Freud beranggapan manusia itu lahir dalam keadaan “sakit” atau “gila”, sebaliknya Aristoteles dan Zohar justru melihat manusia lahir dengan potensi kebahagiaan-ruhaniah yang begitu hebat. Di mata Freud, tugas utama seorang filosof, psikolog, dan agamawan adalah membantu menyembuhkan manusia yang memang lahir dalam keadaan sakit/gila. Jadi, konsep manusia menurut Freud, bersifat negatif.
Sebaliknya, bagi Aristoteles dan Zohar, justru tugas mendasar seorang filosof, psikolog, dan agamawan adalah membantu menemukan potensi kebahagiaannya yang memang melekat dalam setiap jiwa manusia. Jadi, konsep manusia menurut Aristoteles dan Zohar, bersifat positif.
Arus “Psikologi Positif”
Pandangan terakhir ini jelas sejalan dengan Islam. Bahkan, Islam menyebut potensi ruhaniah manusia tersebut dengan istilah hanif—cenderung kepada kebaikan universal, penuh kedamaian, dan anti-kebencian. Konsep insan kamil dalam tasawuf dan filsafat Islam mempertegas pandangan Islam tentang manusia dan kemanusiaan. Karena itu, Islam tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai kemanusiaan. Keduanya menyatu bagaikan ikan dan air.
Islam adalah agama kemanusiaan. Melawan kemanusiaan berarti melawan “kodrat” Tuhan. Dan, di atas fondasi filosofis inilah sesungguhnya peradaban Islam dirumuskan dan dibangun.
Sebaliknya justru peradaban Barat. Ia berpijak dan dibangun di atas fondasi filosofis Freud, lengkap dengan konsepsinya tentang manusia yang tersebar dalam pelbagai karya/buku/seni. Sebuah peradaban yang membangun “jarak” dengan Tuhan. Akibatnya, Tuhan dibuang jauh-jauh dalam pelbagai ranah kehidupan. Manusia dinistakan dari potensi ruhaniah yang dibawanya sejak lahir. Maka, lahirlah manusia satu dimensi—one dimensional man dalam istilah filosof Herbert Marcuse.
Manusia hanya sebatas raga tanpa jiwa; manusia hanya sebatas fikir tanpa zikir (hati); manusia hanya sebatas kerangka minus makna—yang justru belakangan disadari sebagai malapetaka manusia modern.
Bahkan Nurcholish Madjid atau Cak Nur (2008) menegaskan bahwa krisis epistemologis manusia modern itu adalah krisis tentang makna hidup. Manusia mengalami alienasi. Ya, dia teralineasi dari diri, lingkungan, dan bahkan Tuhan-nya. Manusia modern merasa tidak bermakna.
Nah, orang seperti Zohar, Marshal atau bahkan Robert Maslow—terkenal dengan teori piramida terbaliknya itu—kini seolah sibuk “mengoreksi” peradaban Barat yang menjauhkan manusia dari potensi/esensi ruhaninya. Mereka menyebut dirinya sebagai pengusung aliran “psikologi positif”. Gelombang arus “psikologi positif” ini jelas sehati dengan konsep hanif dalam Islam.
Arus psikologi positif menjalar ke mana-mana, termasuk ke rumah kita. Inilah fenomena masyarakat pascamodern. Dalam konteks itu pula kini “Mencari Tuhan” ramai dibincangkan. Berbagai bangunan, tembok, zona ilmu pengetahuan dan peradaban, yang menjauhkan manusia dari diri dan Tuhan, diruntuhkan. Manusia kini ramai merayakan kembali hadirnya Tuhan di ruang publik: di hotel berbintang, di lapangan golf, di warung kopi, di ruang publik lewat pelbagai aksi!
Mereka seolah mengalami—memakai istilah Jung—proses “individuasi”: meruntuhkan kepribadian lama, mencoba mencari kepribadian baru; mengawinkan antara ketakwaan dan kenikmatan, hingga membentuk identitas baru. Bahkan, bumi kita konon semakin spiritual. Dahsyatnya, semua fenomena itu didukung dan disebarkan lewat budaya atau media spectacle.
Esensi “Mencari Tuhan”
“Mencari Tuhan” sejatinya bersifat psikologis-eksistensial. Manusia mencoba mengenali jati dirinya secara utuh. Karena, dengan mengenal dirinya, sesungguhnya manusia akan mengenal Tuhan-nya. Secara ruhaniah, segala hijab (penghalang) yang membuat dirinya jauh dari Tuhan disingkirkan. Harta dan kuasa yang acapkali menyebabkan manusia jauh dari Tuhan berusaha dimaknai secara baru, bukan sebagai tujuan tapi sekadar alat untuk menuju kehidupan akhirat yang lebih abadi.
“Mencari Tuhan” sejatinya adalah sebuah pengalaman intelektual-spiritual. Pengalaman semacam ini seringkali bermula dari kegelisahan individu. Mencari Tuhan, otomatis bukan sekadar simbolik atau berhenti di permukaan (ghirah); bukan sekadar “syariah”, tapi juga “hakikat”; bukan sekadar “fiqih” tapi juga “tasawuf”; bukan sekadar bergerak di fakultas akal, tapi juga hati. Karena akal yang mampu menemukan kebenaran. Namun hatilah justru yang membuat kita mencintai kebenaran itu, dari mana pun ia berasal.
Dengan demikian, para pencari Tuhan itu selalu merindukan kembali esensi agama sebagai basis pengetahuan dan spiritual; agama berbasis cinta atau—memakai istilah Ibn Arabi—”hermeunetika kasih sayang” yang mencintai kedamaian dan menghargai keragaman, bukan agama sebagai ideologi yang kadang menjadi sumber kekerasan, perpecahan, dan kebencian.
Tanpa diawali “kegelisahan spiritual”, dihiasi pengetahuan, dan kebersihan hati, mencari Tuhan terasa hampa. Tuhan akan tetap terasa jauh, meski sebenarnya dekat; akan terasa melangit tanpa membumi.
Jadi, para pencari Tuhan adalah “laskar cinta” yang merindukan kebahagiaan sejati dan abadi. Bagi para pencari Tuhan sejati, agama dimaknai sebagai sumber kebahagiaan spiritual dengan cara memuliakan manusia tanpa kebencian; membangun sistem sosial berkeadilan berbasiskan cinta yang membuat semua lapisan masyarakat bergerak damai dan hidup setara di tengah keragaman. Itulah esensi mencari Tuhan. Pun hakikat kita beragama.
Lalu, sudahkah manusia itu menemukan Tuhan? Ya, selama mereka itu bisa merayakan kemanusiaan senafas dengan rasa keberagamaan/keislaman otomatis mereka telah menemukan dan merasakan hadirnya Tuhan. Benih-benih kebencian dan kekerasan benar-benar mereka kikis. Yang tersisa di benaknya hanyalah satu hal: kedamaian sejati sebagai reffleksi dari sifat-sifat Tuhan yang rahman dan rahim. Begitulah Islam semestinya kita hayati dan maknai. Islam yang berbasis hanif dan cinta. Islam ramah, bukan yang suka marah-marah dengan teriakan Allah Akbar! Islam adalah garam, bukan gincu!
Akhirnya, perangkap Islam vs Kafir yang begitu fasis, mencekam dan cenderung mematikan akal sehat selama Pilkada DKI Jakarta, berharap benar-benar tidak menjalar ke mana-mana. Pun tidak menjadi polarisasi baru menjelang Pemilu 2019. Karena kalau itu benar-benar terjadi bakal hancur Indonesia.
Karena itu, sekecil apa pun syiar kebencian yang muncul di ruang publik harus kita lawan. Apalagi kebencian itu dikemas dengan isu politisasi agama. Semoga Tuhan benar-benar ada dalam setiap hati manusia Indonesia!