Sabtu, April 20, 2024

Memahami Ayat-Ayat Polemik dalam Bible

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).

bible-againYang saya maksud dengan “ayat-ayat polemik” ialah bagian dari Bible yang bukan hanya mendeskripsikan agama lain secara negatif, tapi juga mengkritiknya. Dalam Bible, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, kita jumpai banyak kritik terhadap “yang lain.”

Tanpa bermaksud membanding-bandingkan, walaupun perbandingan bukan hal salah, kritik-kritik al-Qur’an terhadap agama lain tidaklah tipikal Kitab Suci kaum Muslim. Polemik terhadap komunitas agama lain banyak ditemukan dalam setiap Kitab Suci. Bahkan, watak dasar Kitab Suci itu memang bersifat polemikal karena umumnya muncul dalam iklim polemik juga.

Dalam tulisan ini saya akan fokus pada Perjanjian Baru karena saya ingin melihat model-model polemik Kristen awal terhadap Yahudi. Di bagian akhir akan dijelaskan bagaimana kritik-kritik Bible dipahami dalam kesarjanaan modern.

Tipologi Ayat-Ayat Polemik
Dalam Injil Yohannes, Yesus disebutkan berkata kepada orang-orang Yahudi yang mengikutinya sebagai berikut: “Kalian memang keturunan Ibrahim, tapi kalian masih juga berusaha membunuhku karena tidak ada tempat buat firmanku dalam diri kalian… Iblislah yang menjadi bapak kalian dan kalian ingin melakukan keinginan bapak kalian. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran” (8:37-44).

Sebagaimana polemik al-Qur’an, ayat-ayat yang bernada kekerasan dalam Bible perlu dibaca tidak terisolasi dari konteks yang lebih luas, yang dikenal dengan istilah “parting of the ways” (pemisahan dari tradisi Yahudi). Dengan kata lain, Perjanjian Baru harus dibaca dan dipahami terkait suatu proses historis di mana agama Kristen lahir dari rahim tradisi Yahudi dan berkembang menjadi entitas konfesional yang terpisah.

Proses “parting of the ways” itu melibatkan berbagai konflik, ketegangan, dan polemik teologis yang terekam dalam Perjanjian Baru dan literatur Kristen lainnya. Mempelajari elemen-elemen polemik dalam Bible dapat membantu kita memahami bagaimana berbagai tema teologis dirumuskan dalam sejarah awal perkembangan Kristen.

Dari situ kita juga bisa mengerti kenapa surat-surat Paulus, misalnya, terkesan anti-Yahudi. Lihatlah surat Paulus kepada Jemaat Roma, terutama pasal 11. Memang, tergantung bagaimana kita mendefinisikan apa yang dimaksud “anti-Yahudi.” Tapi, jelas, pasal 11 menggambarkan orang-orang Yahudi dengan karakter yang sangat buruk.

Sejumlah sarjana mengelompokkan ayat-ayat anti-Yahudi dalam Injil ke dalam beberapa kategori. Douglas Hare, misalnya, membuat tipologi yang membedakan polemik Injil ke dalam tiga jenis polemik anti-Yahudi. Ia menyebut kategori pertama sebagai “Prophetic anti-Judaism,” yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi kritik terhadap agama Yahudi dari dalam agama sendiri. Dalam kaitan itu, kritik Yesus terhadap Yahudi tidak berbeda dari kritik-kritik profetik yang telah dikemukakan oleh nabi-nabi dari Bani Israil.

Kategori kedua adalah “Jewish-Christian anti-Judaism,” yang mencakup kritik terhadap komunitas Yahudi yang menolak keyakinan baru komunitas Kristen bahwa kematian dan kebangkitan Yesus adalah unsur terpenting dari keimanan kepada Tuhan.

Kategori terakhir, yang ia sebut sebagai “Gentilizing Judaism,” merupakan serangan langsung terhadap ajaran Yahudi. Menurut kategori terakhir ini, orang-orang Yahudi bukan lagi umat pilihan Tuhan karena telah tergantikan oleh umat baru, yaitu mereka yang telah menerima agama Kristen.

Terlepas dari berbagai kelemahannya, tipologi di atas telah diterima luas. Memang, beberapa sarjana seperti George Smiga dan John Gager keberatan dengan sebutan “anti-Yahudi” dan memilih istilah “polemik.” Tapi mereka semua sepakat bahwa kritik-kritik Perjanjian Baru terhadap Yahudi cukup pervasif.

Berbagai Pendekatan
Tentu saja ayat-ayat polemik dalam Perjanjian Baru punya andil bagi terbentuknya klaim-klaim keselamatan eksklusif, bahkan juga teologi supersesionisme. Sebuah teologi yang menganggap agama Yahudi tidak lagi absah atau valid setelah kedatangan Kristen. Polemik Kristen-Yahudi ini berpengaruh terhadap konsep abrograsi (naskh) dalam tradisi Islam. Yakni, bahwa Islam menghapuskan agama-agama sebelumnya, terutama Yahudi dan Kristen.

Asal-usul dan perkembangan teologi supersesionisme dalam sejarah Gereja cukup kompleks dan tak bisa hanya dilacak pada ayat-ayat eksklusif dalam Bible. Namun banyak sarjana berargumen bahwa supersesionisme bermula dari pandangan para penulis Perjanjian Baru. “Karena induk dari komunitas keagamaan yang melahirkan Perjanjian Baru ialah Yahudi,” tulis Norman A. Beck, “maka dapat dimengerti jika sebagian besar polemik supersesionisme dalam Perjanjian Baru bernada anti-Yahudi.”

Klaim-klaim eksklusif Kristen pada akhirnya bukan hanya diarahkan pada Yahudi, melainkan juga sekte-sekte sempalan dalam tradisi Kristen sendiri. Puncaknya ialah lahirnya doktrin Gereja “Extra ecclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Walaupun doktrin ini muncul sebagai reaksi terhadap sekte-sekte (heretics) yang tak diakui Gereja, cakupannya diperluas meliputi agama apa pun selain Kristen.

Perlu dicatat, doktrin ini (dan juga teologi supersesionisme) tidak lagi menggambarkan sikap Gereja saat ini terhadap agama lain, atau–setidaknya–dipahami berbeda. Dalam lima dekade terakhir, terutama pasca Konsili Vatikan II (1962-1965), pandangan negatif tentang agama lain mulai berkurang.

Selain karena re-formulasi teologis yang dilakukan Gereja, kontribusi kesarjanaan modern tak boleh dikecilkan. Tidak dapat dimungkiri, ayat-ayat polemik dalam Bible telah menjadi kajian banyak sarjana sejak waktu yang cukup lama dan menghasilkan karya-karya yang mencerahkan. Sekarang kita punya cukup pengetahuan kenapa polemik dalam berbagai variannya itu muncul dalam Bible dan bagaimana cara melampauinya.

Banyak teori dan pendekatan telah diperkenalkan untuk menjelaskan kemunculan kritik-kritik Perjanjian Baru terhadap Yahudi. Dari metode tekstual-gramatikal, kritik-historis hingga metode retorika sosial.

Tak cukup ruang untuk mendiskusikan masing-masing metode dan pendekatan tersebut. Cukup disebutkan di sini bahwa metode terakhir (socio-rhetorical approach) mulai diminati banyak sarjana karena dianggap mampu membuka tabir konteks sosio-kultural yang menjadi latar belakang munculnya polemik Perjanjian Baru terhadap Yahudi.

Keunggulan pendekatan retorika sosial ialah karena menggabungkan pendekatan saintifik untuk memahami kondisi-kondisi sosial dengan analisis mendalam terkait bagaimana sebuah teks menggunakan bahasa tertentu untuk menyampaikan pesan, pandangan, dan argumen. Kitab Suci yang menggambarkan perkembangan awal sebuah agama baru dari tradisi agama yang sudah established kerap menggunakan sebuah retorika kultural tandingan (countercultural rhetoric), sebuah cara yang dimaksudkan untuk menegaskan superioritas sub-grup dalam kungkungan kelompok mayoritas.

Dengan demikian, teks-teks bernada polemik yang lahir dalam kondisi polemik janganlah dipahami apa adanya. Setiap statemen polemik pasti mengandung unsur melebih-lebihkan (exaggerating) bahkan distorsi. Demikian juga tuduhan-tuduhan Perjanjian Baru terhadap kaum Yahudi. Bukan saja tuduhan itu bersifat subyektif, tapi mungkin juga tidak dimaksudkan sebagaimana yang dikatakannya.

Melalui pemahaman tentang kondisi sosial di mana Kitab Suci muncul dan watak teks itu sendiri, kita dapat menafsirkan ulang ayat-ayat polemik dalam konteks modern yang tak lagi polemikal. Dan reinterpretasi semacam itu membantu mengurangi “cengkraman” teologi supersesionisme terhadap Gereja secara signifikan.

Demikianlah kajian teks-teks polemik dalam Perjanjian Baru telah berkembang jauh dan manfaatnya mulai dirasakan. Dalam studi al-Qur’an, diskusi serupa masih dalam taraf awal sehingga perlu didorong karena kenyataannya banyak kesalahpahaman lintas agama bermula dari ayat-ayat polemik itu. Salah satu buku yang merintis kajian polemik al-Qur’an ialah buku saya yang berjudul Polemik Kitab Suci (Gramedia, 2013), yang edisi Inggrisnya diterbitkan Oxford tahun 2014.

Apakah paragraf di atas dimaksudkan sebagai promosi? Jawabnya: jelas!

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.