Barangkali hanya kebetulan bahwa maulid Nabi Muhammad SAW kali ini bertepatan waktunya pada 12 Rabi’ul Awwal Hijriyah dan 12 Desember Masihiyah. Bahkan harinya pun sama, Senin. Terlepas dari perbedaan pendapat tentang kapan persisnya kelahiran Nabi tersebut seperti ditulis Mun’im Sirry di laman ini, 8 Desember, Mitos Seputar Biografi Nabi Muhammad (Renungan Maulid).
Namun, sengaja atau tidak, ketepatan angka 1212 tersebut menarik untuk dicermati. Belakangan ini memang perhatian kita disedot untuk memelototi sejumlah angka tertentu. Di bulan ini saja, ada dua angka yang menjadi pusat pembicaraan banyak orang: 212 untuk aksi doa dan zikir bersama di lapangan Monas dan 412 untuk parade kebhinekaan di bundaran HI. Bisa jadi akan ada rumusan angka lainnya lagi. Jangan-jangan kita bakal lupa nama bulan ini (Desember) karena yang sering disebut angka 12.
Setiap kali datang hari kelahiran atau maulid Nabi Muhammad, hampir seluruh umat Islam di dunia merayakannya dengan penuh suka cita. Berbagai jenis kegiatan keagamaan seperti shalawatan, lomba-lomba keagamaan, ceramah, dan sebagainya diselenggarakan secara semarak demi mengagungkan Nabi.
Merawat Kemajemukan
Namun, sesungguhnya yang terpenting dari peringatan maulid Nabi Muhammad bukanlah perayaan yang bersifat seremonial belaka, melainkan bagaimana kita, sebagai umatnya, meneladani sikap dan perilaku Nabi untuk diterapkan dalam kehidupan kita. Ada banyak sekali warisan yang telah ditinggalkan Nabi dan sangat relevan untuk kita implementasikan dalam konteks kekinian, baik pada tingkat individu maupun masyarakat, bahkan negara.
Salah satu warisan Nabi Muhammad yang sangat relevan adalah komitmennya yang sangat tinggi untuk merawat kemajemukan. Seperti diketahui, pada paruh kedua dari fase kehidupannya, Nabi memimpin negara-kota (city-state) al-Madinah al-Munawwarah (sebelumnya disebut Yatsrib) di mana penduduknya beragam. Ada kaum Muslim, yang terdiri atas golongan Anshar dan Muhajirin, kaum Yahudi, dan kaum Nasrani. Mungkin juga ada kaum-kaum lainnya yang jarang diungkap dalam sejarah.
Dalam konteks kemajemukan itulah Nabi Muhammad kemudian menginisiasi pembentukan sebuah dokumen tertulis yang dapat mengatur kehidupan kelompok masyarakat yang beragam tersebut. Lahirlah apa yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah (mitsaq Madinah atau sahifah Madinah) sebagai sebuah aturan bersama, atau dalam istilah kemudian disebut konstitusi.
Piagam Madinah, yang oleh sosiolog Robert N. Bellah disebut konstitusi pertama dan termodern pada zamannya, bukan saja meletakkan aturan-aturan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang demokratis, tetapi juga proses pembentukannya sendiri dilakukan secara demokratis. Setelah membuat Piagam Madinah, Nabi kemudian mengumpulkan kepala-kepala suku yang ada di Madinah untuk bermusyawarah. Pada saat itu Nabi menawarkan konsepnya tersebut.
Menurut catatan, hanya ada dua suku yang menolak konsep yang ditawarkan Nabi, sedangkan sebagian besar lainnya menyetujuinya. Berdasarkan hasil musyawarah yang diperoleh dari suara terbanyak, Piagam Madinah itu kemudian diberlakukan. Dari sini jelas bahwa proses itu sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Selama Nabi Muhammad memimpin Madinah dengan berpijak pada konstitusi yang telah dibuatnya, setidaknya ada tiga hal prinsipil terkait dengan komitmennya untuk merawat kemajemukan, yang dapat diteladani oleh kita semua untuk diterapkan pada masa kini, yaitu: kebebasan (al-hurriyah), persamaan (al-musawat), dan persaudaraan (al-ukhuwwah). Ketiga prinsip tersebut bukan hanya diucapkan, melainkan benar-benar diwujudnyatakan dalam kehidupan masyarakat Madinah waktu itu.
Sebut saja tentang kebebasan. Kebebasan agama (hurriyatul ‘aqidah) benar-benar diterapkan oleh pemerintahan Nabi. Semua kelompok keagamaan diberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Semuanya dijamin dan dilindungi konstitusi. Pasal 25, salah satu pasal dalam Piagam Madinah, misalnya, menyebutkan sebagai berikut:
Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga (Piagam Madinah Pasal 25).
Tentang prinsip persamaan banyak sekali contoh yang dapat diteladani. Misalnya, tak ada perbedaan perlakuan atau diskriminasi antara orang Arab dan non-Arab. Semuanya sama di depan hukum (equality before the law). Tegas-tegas disabdakan Nabi, tidak ada keutamaan orang Arab atas a’jami’ (non-Arab), kecuali karena takwanya. Terkait hukum pidana, seperti yang masyhur diketahui bahwa Nabi menandaskan, demi Allah seandainya anakku Fatimah mencuri, aku akan potong tangannya.
Demikian pula tentang persaudaraan, Nabi benar-benar telah berhasil membangun ikatan persaudaraan. Persaudaraan antara sesama kaum Muslim seperti antara kaum Anshar dan Muhajirin terjalin sedemikian kuat. Bahkan persaudaraan dengan kaum Yahudi dan Nasrani pun juga termanifestasikan dengan baik. Inilah yang disebut ukhuwwah basyariah yang banyak diadopsi tokoh-tokoh Islam kemudian.
Dengan demikian, Nabi Muhammad menjadikan konstitusi sebagai landasan atau patokan untuk memberikan ganjaran atau hukuman kepada warga Madinah. Faktor like dan dislike sama sekali tidak diberikan tempat. Maka, kalau ada kaum Muslim yang melanggar konstitusi, misalnya, menghalang-halangi atau membubarkan peribadatan kaum Nasrani, Nabi pasti akan menghukumnya karena tindakan tersebut jelas-jelas melanggar konstitusi.
Ketiga prinsip yang telah secara gemilang dipraktikkan di Madinah tersebut ratusan tahun kemudian tumbuh dan berkembang di Eropa. Di Prancis, misalnya, seiring dengan momentum Revolusi Perancis 1789 muncul tiga kredo yang sama persis: liberté (kebebasan), egalité (persamaan), dan fraternité (persaudaraan). Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa baru pada abad ke-20 atau 1948 mengeluarkan the declaration of human rights.
Bukan Romantisme Historis
Apa yang telah dipraktikkan Nabi Muhammad di Madinah, yang kemudian menyebar ke negara-negara modern Eropa, tidak dapat dimungkiri merupakan prestasi gemilang. Tidak ada sumber sejarah yang membantahnya, baik dari kalangan sarjana non-Islam terlebih-lebih dari kalangan Islam sendiri.
Namun demikian, hanya berbangga dan mengagungkan kegemilangan masa lalu adalah hal yang muspra. Bisa-bisa kita terjebak pada sikap romantisme historis belaka, tanpa berusaha untuk membumikannya dalam konteks kekinian. Kita hanya silau pada masa lalu tetapi buta pada masa kini.
Indonesia sebenarnya merupakan tempat yang ideal untuk mewujudnyatakan warisan Nabi. Indonesia, dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, memiliki Pancasila (dulu pernah memiliki Piagam Jakarta) yang bisa berfungsi seperti Piagam Madinah di zaman Nabi. Karena itu, komitmen atas kemajemukan di negeri ini semestinya kuat sekuat komitmen Nabi di Madinah.
Kita harus menjadikan Pancasila sebagai landasan atau tolok ukur atas perilaku warga. Ketika ada sekelompok penganut agama berusaha menghalang-halangi atau membubarkan kegiatan peribadatan kelompok agama lainnya seperti terjadi di Sabuga, Bandung, beberapa waktu lalu, kita, terutama pemerintah, harus tegas melarangnya.
Demikian pula ketika ada sekelompok orang yang memaksakan kehendaknya atas nama agama seperti menurunpaksakan baliho mahasisiwi berjilbab yang dipasang Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) di Yogyakarta. Adalah kewajiban negara untuk melindungi semua warga negara tanpa terkecuali sebagaimana Nabi melindungi semua warga Madinah. Karenanya, pemerintah tidak perlu ragu untuk menindak tegas pelanggaran tersebut.
Inilah kira-kira nilai-nilai penting yang telah diwariskan Nabi Muhammad kepada umatnya dan sangat relevan serta urgen untuk diwujudnyatakan dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di republik ini. Maka, peringatan maulid Nabi seyogianya tidak membuat kita terperangkap dalam romantisme historis, tetapi justru menjadikan kita lebih melek terhadap pelbagai pelanggaran atas kemajemukan di negeri ini.