Di pelosok lembah Mina yang sepi, Nabi Ibrahim telah bertekad untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail. Itu merupakan simbol totalitas penghambaan, juga kepatuhan Ibrahim atas Allah. Betapa tidak, pertama, secara emosional, bagi Ibrahim, Ismail lebih dari sekadar seorang putra. Ia seorang putra yang puluhan tahun diidamkan dan selalu dimohonkan dalam doa, sebagaimana doanya diabadikan dalam QS. Al-Shaffat: 100. Dan Ibrahim baru mendapatkannya saat umurnya telah hampir menginjak seabad.
Kedua, secara religius-spiritual, Ismail menjadi harapan terbesarnya bagi keberlangsungan risalah “millat Ibrahim”. Karena itu, sebagaimana diabadikan dalam QS. al-Baqarah 127-129, Ibrahim bersama Ismail berdoa agar diutus utusan Allah dari keturunannya. Di mana kemudian dalam hadis, Nabi Muhammad menegaskan bahwa: “Aku adalah (hasil dari) doa kakekku, Ibrahim.”
Ketiga, perintah penyembelihan itu disampai oleh Allah melalui mimpi pada seorang Ibrahim yang, seperti kita baca dalam perjuangannya, menjelaskan tauhid pada kaumnya di QS. al-An’am: 74-78 begitu rasional. Seolah itu adalah episode di mana Allah ingin rasionalitasnya tunduk bersimpuh di pelataran-Nya, sebagaimana juga episode serupa pada Nabi Musa yang sangat rasional itu yang diperintah tunduk pada perintah-perintah Nabi Khidir yang tak rasional.
Di samping itu, dalam hampir seabad kehidupannya, Nabi Ibrahim menjalaninya dengan berbagai tantangan dan perjuangan: dari penindasan Namrud sampai perlawanan pada berhala.
Singkatnya, bagi Nabi Ibrahim, ia telah menjalani perjalanan panjang dan berat di sebuah padang pasir, dan Ismail bagaikan air yang ditemukannya di ujung jalan. Baginya, Ismail adalah sesuatu yang sungguh membahagiakan (menghibur hatinya) dan menjadi tumpuan harapannya.
Oleh karena itu, saat Ibrahim bermimpi bahwa Allah memintanya menyembelih putranya, Ismail yang sebelumnya menjadi imbalan yang membahagiakan itu, sontak seolah berubah menjadi ujian yang begitu berat. Lebih berat ketimbang perjuangan yang telah dialaminya selama hampir seabad sebelumnya. Beliau kuat dan sukses dengan “jihad kecil” melawan Namrud, tapi beliau masih harus ber-“jihad besar” melawan dirinya sendiri yang diminta Ismail dari pelukannya.
Syahdan, saat Ismail benar-benar akan disembelih, Allah menggantikannya dengan domba. Mengapa Allah menggantinya? Apa sebenarnya yang dikehendaki-Nya atas Ibrahim dan umat manusia setelahnya? Apa rahasia dari semua simbol itu?
Pertama, itu tampaknya adalah cara Allah untuk mengakhiri tradisi persembahan nyawa dan darah manusia pada Tuhan ala kaum Masokhis yang berkembang sebelum masa Ibrahim. Allah ingin menghapus tradisi keberagamaan dan kebertuhanan yang salah kaprah itu. Dia seolah hendak menegaskan bahwa Dia tak pernah haus darah. Dia pun juga seolah hendak menegaskan pada kita saat ini bahwa tak boleh lagi ada kekerasan–apalagi hingga mengorbankan nyawa manusia– atas nama-Nya. Maha Besar Dia dari semua itu.
Apalagi jika sampai ke-Maha Besar-an Allah justru dijadikan slogan dan teriakan untuk bertindak anarkis atas nama agama. Itu bukan kehendak-Nya, itu adalah kehendak egoisme dan sifat kebinatangan dari manusia itu sendiri. Maka, Dia memerintahkan agar kita “menyembelih” egoisme dan sifat kebinatangan yang mungkin ada dalam diri kita itu.
Kedua, Dia mau menegaskan bahwa sebenarnya setiap kita adalah layaknya Ibrahim. Masing-masing kita memiliki “Ismail”-nya sendiri-sendiri. “Ismail” itu tak mesti berbentuk anak, namun bisa juga istri, cucu, orangtua, teman, saudara, dan lain-lain. Bahkan, “Ismail” tak mesti manusia. Ia bisa saja berbentuk harta, jabatan, status sosial, dan lain-lain. Maka, jangan biarkan “Ismail-Ismail” kita itu menumbuhkan egoisme dalam diri, membutakan mata hati dan membuat keruh pikiran kita, sehingga kita menjadi hamba-Nya yang membangkang.
Siapa “Ismail” kita?
Tak ada yang saling tahu. Hanya diri masing-masing yang paling tahu. Jangan bertanya pada yang lain. Bercermin dan bertanyalah pada diri sendiri: “Siapa “Ismail”-ku?” Yang jelas, rumusnya adalah bahwa “Ismail” adalah segala sesuatu yang melemahkan iman, membutakan hati, membuat keruh pikiran, memicu hawa nafsu, menumbuhkan ego, membuat sombong atau iri, menjadikan diri merasa paling benar sembari menuduh yang lain salah dan kafir, dan segala sesuatu yang menjauhkan diri dari kebaikan, sekaligus menyeretnya ke jurang kegelapan. Itulah “Ismail” kita.
“Sembelih” ia! Sebab, sesungguhnya, di mata Allah, dia adalah binatang yang ada dalam diri.
Tentu, maksud “sembelih” di sini, objeknya adalah diri sendiri, dalam konteks perasaan-perasaan berbasis nafsu yang membuat kita berhijab dengan Allah lantaran kecintaan berlebih pada keluarga, harta, jabatan, dan lain-lain. Termasuk pula, berhaji atau berkurban justru untuk meneguhkan ego diri akan harta, jabatan, dan lain-lain.
Itulah “jihad besar” kita, sebagaimana Ibrahim dulu. Selamat Hari Raya Idul Adha!