Rabu, Mei 8, 2024

Kisruh Ustadz Opick dan Dian: Menziarahi Kembali Poligini Nabi

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
Dian dan Opick [Foto: tribunnews.com]

Nama Dian Rositaningrum tiba-tiba viral di media sosial seiring kegusarannya terhadap Opick, ustadz-seleb pasangannya. Dian tidak terima Opick menikah lagi secara diam-diam padahal mereka masih berstatus suami-istri. Luapan kemarahan ibu lima anak ini secara spesifik menyasar kredibilitas Opick yang selama ini dikenal serius membangun citranya sebagai sosok relijius.

Tidak ada satu pun orang yang menyangsikan Dian sangat terluka oleh pilihan suaminya. Jika tawaran surga kerap diiming-imingkan laki melalui kesediaan dipoligini, benarkah Tuhan akan egois mencampakkan Dian yang menolak disakiti?

Diskursus poligini dalam Islam tak pernah lekang dibincangkan. Isu ini selalu menghangat, terutama di komunitas Muslim, ketika perempuan mulai bangkit melawan kesewenang-wenangan patriarkhal.

Hampir semua laki-laki Muslim percaya poligini merupakan “hak melekat” dari Tuhan yang “dibenarkan” setidaknya oleh dua justifikasi:  teks al-Qur’an dan praktik yang dicontohkan Nabi Muhammad (hadits). Namun, benarkah kita–umat Islam–telah melihat dua hal tersebut dengan bijak dan teliti?

Al-Qur’an dan Poligini

Untuk memudahkan kita memahami posisi al-Qur’an terkait poligini, izinkan saya sedikit membuat ilustrasi. Ada seorang anak perempuan yatim piatu hidup dengan warisan yang cukup dari mendiang orangtuanya. Kini, ia hidup di bawah perwalian paman atau saudara laki-laki di atasnya–baik dari garis ibu atau ayah.

Alih-alih melindungi, wali tersebut malah justru berniat mencaplok harta milik si yatim itu. Salah satu modusnya adalah dengan cara mengawini anak yatim tersebut dan tidak memberikannya maskawin yang layak.

Perkawinan ini secara otomatis menyebabkan si wali–yang kini telah berubah statusnya menjadi suami–bisa leluasa menggunakan harta anak yatim itu (istrinya). Dan parahnya, praktik culas seperti ini jamak terjadi.

Jika Anda diminta menyelamatkan gadis yatim tersebut dari cengkeraman-jahat-seksual-berbalut-keserakahan-kapital, apa yang akan Anda sampaikan kepada si wali? Salah satunya, barangkali, “Udahlah bro, masak lu tega sih ngembat perempuan yang harusnya lu lindungi. Pilih yang lain lah. Lu bisa kok nikahi dua, tiga atau empat perempuan. Tapi kalau elu tidak bisa berbuat adil maka satu saja,”

Jika demikian yang akan Anda ucapkan, maka begitulah konteks turunnya ayat poligini dalam Surah al-Nisa ayat 3–menurut Sayyidah Aisyah, istri Nabi, ketika ditanya Urwah bint Zubayr, keponakannya, sebagaimana direkam Shahih al-Bukhari #5064.

“O my nephew! This is about the orphan girl who lives with her guardian and shares his property. Her wealth and beauty may tempt him to marry her without giving her an adequate dowry which might have been given by another suitor. So, such guardians were forbidden to marry such orphan girls unless they treated them justly and gave them the most suitable dowry; otherwise they were ordered to marry woman besides them.”

Aishah juga menandaskan ayat tersebut berkaitan dengan ayat 127 di surah yang sama di mana Allah meminta agar anak yatim dipelihara secara adil.

Istri-istri yang Dilucuti

Cerita lain yang penting diketahui berkaitan ayat poligini (QS. 4:3) adalah seputar sosok Ghilan al-Tsaqafi. Sebagaimana direkam Jami’ al-Tirmidzi dalam Kitab al-Nikah, laki-laki ini dikabarkan pernah datang ke Nabi dan menyatakan keinginannya masuk Islam. Oleh Nabi, Ghilan diminta menceraikan 6 istrinya agar tersisa 4 saja.

Dari kisah yang juga bisa kita temukan dalam Tafsir Ibnu Kathir ini, kita bisa melihat dengan  benderang kata kuncinya adalah “mengurangi” pasangan, bukan “menambahkan”. Dan menariknya, jika kita relasikan dengan kata fawahidata (… maka bermonogamilah)–dalam ayat yang sama–maka semakin jelas pula posisi keberpihakan konsep perkawinan Islam, yakni monogami.

Namun demikian, harus diakui al-Qur’an nampak masih membuka peluang dirinya dibaca sebagai pendukung poligini. Ketidaktegasan ini, saya memaknainya, sebagai strategi transformasi nilai secara gradual. Evolusi, bukan revolusi.

Opsi transformasi perlahan ini mirip seperti pilihan berhenti merokok. Tidak semua perokok mampu berhenti seketika dari kebiasaan menghisap 3-4 pak sehari. Banyak dari mereka yang membutuhkan waktu sebulan–bahkan lebih–dengan cara menguranginya secara bertahap.

Bagi sebagian laki-laki elite Arab pra-Islam, perempuan ibarat piala. Semakin banyak dikoleksi akan semakin mempengaruhi status sosial mereka. Anda bisa bayangkan betapa problematiknya  situasi yang dihadapi Nabi; di satu sisi ingin Islam diterima, di sisi lain ada nilai pembebasan perempuan yang tengah diperjuangkan namun berkelindan kuat dengan tradisi lokal.

Maka, pilihan berdakwah secara bertahap merupakan jalan kompromi. Pentahapan seperti ini juga terlihat saat al-Qur’an meminta umat Islam menjauhi minuman keras (khamr) maupun terkait politik perbudakan.

Jika keadilan dipercayai sebagai pondasi Islam, maka saya menduga kuat poligini berpeluang besar menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan. Barangkali itu sebabnya Nabi tidak mengizinkan Fatimah, putri satu-satunya, berencana dimadu suaminya sebagaimana terekam dalam Shahih al-Bukhari #3729.

“`Ali demanded the hand of the daughter of Abu Jahl. Fatima heard of this and went to Allah’s Messenger ( ﷺ ) saying, “Your people think that you do not become angry for the sake of your daughters as `Ali is now going to marry the daughter of Abu Jahl. “On that Allah’s Messenger ( ﷺ) got up and after his recitation of Tashah-hud. I heard him saying, “Then after! I married one of my daughters to Abu Al-`As bin Al- Rabi` (the husband of Zainab, the daughter of the Prophet (ﷺ ) ) before Islam and he proved truthful in whatever he said to me. No doubt, Fatima is a part of me, I hate to see her being troubled. By Allah, the daughter of Allah’s Messenger ( ﷺ ) and the daughter of Allah’s Enemy cannot be the wives of one man.” So `Ali gave up that engagement.”

Para Perempuan di Sekeliling Nabi

Kalau memang poligini ditutup sedemikian rupa oleh al-Qur’an, kenapa Nabi melakukannya? Kenapa begitu banyak perempuan digambarkan di sekeliling Nabi? Kenapa ia tidak bersetia saja dengan satu istri hingga akhir hayat?

Harus diakui ini pertanyaan yang butuh keberanian menafsir dengan menggunakan kejujuran dan keterbukaan cara pandang.

Pertama, Nabi menghabiskan lebih banyak waktu hidupnya dalam perkawinan monogami. Saya hampir tidak menemukan infomasi terjadinya keributan domestik saat itu. Yang ada justru gambaran idealitas keluarga yang keduanya saling dukung-mendukung. Nabi begitu mencintai perempuan ini sehingga tidak lagi merasa perlu menduakannya. Shahih Muslim mencatat pengakuan Aisyah dalam hadits nomor 2436.

” ‘A’isha reported that Allah’s Apostle ( ﷺ) did not marry any other woman till her (Khadija’s) death.”

Kuatnya kecintaan Nabi terhadap Khadijah bahkan membuat Aisyah merasa cemburu, sebagaimana diakuinya sendiri yang tercatat di Shahih Muslim #2435b.

” ‘A’isha reported: Never did I feel jealous of the wives of Allah’s Apostle ( ﷺ) but in case of Khadija, although I did no, (have the privilege to) see her. She further added that whenever Allah’s Messenger ( ﷺ) slaughtered a sheep, he said: Send it to the companions of Khadija I annoyed him one day and said: (It is) Khadija only who always prevails upon your mind. Thereupon Allah’s Messenger (ﷺ ) said: Her love had been nurtured in my heart by Allah Himself.

Kedua pascawafatnya Khadijah, para historikus dan sarjana Islam–misalnya Ibn Ishaq/Ibn Hisham, Jarit al-Tabari, Bukhari, Muslim, Imam Malik, Ibn Saad, dan Ibn Qayyim–mencatat begitu banyak nama perempuan dalam kehidupan Nabi. Jumlahnya mencapai puluhan.  Dan terkait motif poligini tersebut, terdapat berbagai hipotesis yang dipercayai oleh umat Islam; dari klaim menolong para janda hingga motif politik.

Peliknya Poligini

Saya berprasangka baik, Nabi dan para istri hidup bahagia berpoligini dalam kurun waktu 12 tahun (620-632 M). Meski demikian, sumber-sumber klasik Islam memotret biduk rumah tangga mereka tidaklah berjalan mulus. Nampak ada potret rivalitas dan kekecewaan di antara para istri yang bahkan hampir berujung perceraian.

Rivalitas paling kentara di antara istri Nabi terjadi antara Aishah binti Abu Bakar dan Zaynab binti Jahsy. Keduanya diketahui saling membanggakan diri sesuai dengan keutamaan yang mereka yakini bersifat ilahiah. Aisyah merasa dipilih Allah melalui Jibril sebagaimana tercatat dalam Sahih al-Bukhari #5078.

“Narrated ‘Aisha: Allah’s Apostle said (to me), “You have been shown to me twice IN (MY) DREAMS . A man was carrying you in a silken cloth and said to me, ‘ This is your wife .’ I uncovered it; and behold, it was you. I said to myself, ‘ If this dream is from Allah, He will cause it to come true.’”

Perasaan psikologis yang sama juga menghinggapi Sayyidah Zaynab binti Jahsy, istri lain Nabi. Perempuan cantik ini merasa perkawinannya jauh lebih unggul dibanding istri Nabi mana pun karena mendapat intervensi langsung dari Allah, sebagaimana pengakuan Anas bin Malik dalam Sahih al-Bukhari #7420.

“Narrated Anas: Zaid bin Haritha came to the Prophet ( ﷺ) complaining about his wife. The Prophet ( ﷺ) kept on saying (to him), “Be afraid of Allah and keep your wife.” Aisha said, “If Allah’s Messenger ( ﷺ) were to conceal anything (of the Qur’an he would have concealed this Verse.” Zainab used to boast before the wives of the Prophet ( ﷺ) and used to say, “You were given in marriage by your families, while I was married (to the Prophet) by Allah from over seven Heavens.” And Thabit recited, “The Verse:– ‘But (O Muhammad) you did hide in your heart that which Allah was about to make manifest, you did fear the people,’ (QS. 33:37) was revealed in connection with Zainab and Zaid bin Haritha.”

Lebih jauh, tajamnya rivalitas Aisha-Zaynab kabarnya juga memicu terbelahnya para istri Nabi terbelah menjadi dua faksi; kubu Aishah berhadapan dengan kubu Zaynab. Diduga kuat, mereka terbelah karena ada yang merasa diperlakukan kurang adil sebagaimana terekam dalam Sahih al-Bukhari #2581.

“Narrated `Urwa from `Aisha:
The wives of Allah’s Messenger ( ﷺ) were in two groups. One group consisted of `Aisha, Hafsa, Safiyya and Sauda; and the other group consisted of Um Salama and the other wives of Allah’s Messenger ( ﷺ). The Muslims knew that Allah’s Messenger (ﷺ ) loved `Aisha, so if any of them had a gift and wished to give to Allah’s Messenger ( ﷺ), he would delay it, till Allah’s Messenger ( ﷺ) had come to `Aisha’s home and then he would send his gift to Allah’s Messenger ( ﷺ) in her home.

The group of Um Salama discussed the matter together and decided that Um Salama should request Allah’s Messenger ( ﷺ) to tell the people to send their gifts to him in whatever wife’s house he was. Um Salama told Allah’s Messenger ( ﷺ) of what they had said, but he did not reply. Then they (those wives) asked Um Salama about it. She said, “He did not say anything to me.” They asked her to talk to him again. She talked to him again when she met him on her day, but he gave no reply. When they asked her, she replied that he had given no reply. They said to her, “Talk to him till he gives you a reply.” When it was her turn, she talked to him again.

He then said to her, “Do not hurt me regarding Aisha, as the Divine Inspirations do not come to me on any of the beds except that of Aisha.” On that Um Salama said, “I repent to Allah for hurting you.” Then the group of Um Salama called Fatima, the daughter of Allah’s Messenger ( ﷺ ) and sent her to Allah’s Messenger ( ﷺ) to say to him, “Your wives request to treat them and the daughter of Abu Bakr on equal terms.” Then Fatima conveyed the message to him. The Prophet ( ﷺ) said, “O my daughter! Don’t you love whom I love?” She replied in the affirmative and returned and told them of the situation. They requested her to go to him again but she refused.

They then sent Zainab bint Jahsh who went to him and used harsh words saying, “Your wives request you to treat them and the daughter of Ibn Abu Quhafa on equal terms.” On that she raised her voice and abused `Aisha to her face so much so that Allah’s Messenger ( ﷺ) looked at `Aisha to see whether she would retort. `Aisha started replying to Zainab till she silenced her. The Prophet ( ﷺ) then looked at `Aisha and said, “She is really the daughter of Abu Bakr.””

Sayyidah Aisyah bisa dibilang merupakan perempuan yang ekspresif dan tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan perasaannya. Kecemburuannya tidak hanya ditujukan kepada Zaynab semata. Lebih jauh, putri Abu Bakar ini juga kabarnya cukup terluka saat mendengar Nabi mendapatkan anak dari Maria, sebagaimana ditulis Bint al-Shati’ dalam bukunya, The Wives of the Prophet (2006).

“…. Soon the good news spread through Madina that the Prophet of God was expecting a child from the Egyptian Maria. There is no need for us to explain to the reader here the painful impact of this news upon the wives of the Prophet. Why should this stranger bear a child whilst she had been but a year in Madina, when some of them had been in the house of the Prophet for many years without bearing a child? Why should God favour her with this great blessing while the Mothers of the Faithful, among them the daughters of Abu Bakr and ‘Umar, bint Zad al-Rakab and the grand daughter of Abu Talib, were denied this favour?

They were consumed with jealousy, not knowing what to do or say, and a whisper spread accusing Maria of the same thing which was charged against ‘A’isha . But ‘A’isha was justified by Heaven. Would then Maria aspire to justification by Heaven too? God did not forsake her in her predicament, but gave her a decisive proof against the false accusations… One day he carried the child in his arms to ‘A’isha and asked her tenderly to see what signs of the father appeared in this infant. She was about to cry, but held back her tears, saying, “I see no similarity between you and him.” Instantly he perceived her torment and left with the boy, feeling pity for her….”

Perahu Hampir Patah

Kabarnya, Nabi juga pernah mengalami kesulitan menghadapi aliansi Sayyidah Aishah dan Sayyidah Hafsah binti Umar yang tidak terima Nabi terlalu lama berada di rumah Sayyidah Zaynab binti Jahsy. Situasi pelik ini dikenal dengan nama Peristiwa Maghafir  yang kabarnya menjadi sebab turunnya QS. 66:1-4, dan terekam dalam Sahih al-Bukhari #2567, Sunan al-Nasai, dan Sunan Abi Dawud.

Narrated `Ubaid bin `Umar:
I heard `Aisha saying, “The Prophet ( ﷺ) used to stay for a long while with Zanab bint Jahsh and drink honey at her house. So Hafsa and I decided that if the Prophet (ﷺ ) came to anyone of us, she should say him, “I detect the smell of Maghafir (a nasty smelling gum) in you. Have you eaten Maghafir?’ ” So the Prophet (ﷺ ) visited one of them and she said to him similarly.

The Prophet ( ﷺ) said, “Never mind, I have taken some honey at the house of Zainab bint Jahsh, but I shall never drink of it anymore.” So there was revealed: ‘O Prophet ! Why do you ban (for you) that which Allah has made lawful for you . . . If you two (wives of Prophet) turn in repentance to Allah,’ (66.1-4) addressing Aisha and Hafsa. ‘When the Prophet (ﷺ ) disclosed a matter in confidence to some of his wives.’ (66.3) namely his saying: But I have taken some honey.”

Dalam beberapa literatur Peristiwa Maghafir ini mendorong Aisha dan Hafsa menuntut penghidupan yang layak (wordly life). Dalam situasi ini, Nabi kabarnya memilih hidup sendiri (i’la) di Mashraba selama sebulan. Tak pelak hal ini memantik rumor di kalangan sahabat terkait perceraian dengan istri-istrinya. Cerita ini terekam dalam hadits panjang Sahih Muslim #1479

Dua Peran Ambivalen

Kita bisa berbeda pandangan menyangkut poligini sesuai kepentingan masing-masing. Namun saya ragu apakah kita masih bersilang pendapat menyangkut “rasa sakit” yang menusuk hati pasangan kita kalau cintanya diduakan?

Cara menjawab hal ini sebenarnya mudah. Jika kita, laki-laki, begitu terhina dan marah karena istri kita merajut cinta dengan laki-laki lain, kenapa kita begitu bodoh menganggap perempuan tidak merasakan hal sama jika perlakukan demikian?

Bagi sebagian Muslim, termasuk saya, Nabi merupakan sosok ideal dalam menjelaskan posisi poligini. Junjungan kita secara menakjubkan melakoni dua peran yang kerap dianggap ambivalen–namun sesungguhnya saling melengkapi. Pertama, Nabi bermonogami hampir tanpa konflik dengan Sayyidah Khadijah. Kedua, untuk meneguhkan hal tersebut, Nabi juga sekaligus berperan sebagai martir–syuhada–bagi pilihan poligininya.

“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. 4:129).

Akhirnya, ribuan tahun telah berlalu. Nabi telah membuktikan diri demi umatnya atas kebenaran yang Allah firmankan dalam ayat di atas. Sayangnya, pelajaran ini tak mampu dilihat Opick sehingga ia harus terjerembab di hadapan publik. Jika sudah seperti ini, kerumitan poligini manalagi yang ingin kita dustakan? Wallahu a’lam.

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.