SURGA tak pernah selesai dijadikan tema perbincangan. Jika segala sesuatu tersedia di surga, saya hanya punya satu pertanyaan: kelak, apakah saya juga di surga? Jika ya, nah, berarti benar segala sesuatu tersedia di surga. Jika tidak, duh, na’udzu billahi min dzalik, apakah itu artinya saya bukan tergolong segala sesuatu? Lalu, siapa saya sesungguhnya? Di manakah saya seharusnya kelak, jika bukan di surga? Apakah dari surga saya berasal dan ke surga pula saya akan kembali?
Saya hanya berpegang kepada satu ayat yang sering saya dengar dikumandangkan dari toa masjid ketika ada seorang warga meninggal dunia: innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Nukilan ayat 156 dari al-Qur’an Surat Baqarah itu menegaskan bahwa, “Sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan kembali kepadaNya.” Ayat ini memang acapkali dibaca ketika kita ditimpa musibah. Tapi, entah mengapa, saya merasa kembali kepada Allah bukan musibah, namun kenikmatan tertinggi.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda bahwa kenikmatan melihat Wajah Allah Ta’ala adalah kenikmatan yang paling mulia dan agung, yang melebihi segala kenikmatan di surga. Penuturan Kanjeng Nabi Terakhir ini mempertegas Q.S. al-Qiyamah: 22-23, yaitu, “Wajah orang-orang beriman pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan-nya mereka melihat.” Namun, pertanyaannya, apakah salah jika kita menginginkan masuk surga? Apakah tidak boleh punya keinginan itu?
Tentu tidak salah. Setidaknya, menurut saya. Yang jelas-jelas salah adalah ingin masuk neraka. Atau, yang dekat dengan salah adalah mengkapling-kapling surga seolah-olah lebih berhak daripada orang lain, lantas menunjuk-nunjuk orang lain sebagai calon penghuni neraka. Ah, tapi nanti dulu. Saya justru teringat dengan cerita seorang sufi yang dikisahkah oleh KH Mustofa Bisri. Mustasyar PBNU yang akrab disapa Gus Mus ini berkata, “Ada seorang sufi yang ingin masuk neraka.”
Sufi itu, lanjut Gus Mus, memohon, “Ya Allah, masukkanlah aku ke nerakaMu, lalu gelembungkanlah tubuhku sebesar-besarnya hingga memenuhi neraka agar tak ada lagi yang selain aku yang masuk ke dalamnya.” Malam itu, ketika sowan ke kediaman Beliau di Leteh, Rembang, Jawa Tengah, saya merinding mendengar ini. Bagaimana bisa ada yang berdoa seperti itu? Menurut Gus Mus, itulah ungkapan cinta dan rindu yang sedemikian tinggi seorang hamba kepada Tuhannya.
“Jika seseorang mencintai Allah, maka mustahil ia tidak mencintai makhluk-makhlukNya,” petuah Gus Mus. Dan, saking cintanya kepada makhluk-makhluk itu, sang sufi sampai tidak rela, tidak pula tega, jika ciptaan-ciptaanNya terpapar panas api neraka. Masya Allah, laa haula walaa quwwata illa billah. Tapi, tengoklah kiri-kanan kita hari-hari ini. Betapa orang-orang sibuk berebut surga sampai tega menyikut saudara-saudaranya sendiri. Bahkan yang berbeda dituding kafir.
Kita sama-sama belum pernah ke surga. Bahkan, mati pun belum. Kita sama-sama tidak tahu amal ibadah siapakah yang diterima oleh Allah–dan amal siapa yang ditolak, na’udzu billahi min dzalik. Saya pribadi memiliki keyakinan betapa segala bekal yang kita bawa akan kurang dan seketika habis untuk mendapat kehidupan satu hari saja di akhirat. Sebab, bukankah sehari di akhirat senilai seribu tahun di dunia, seperti disebutkan dalam Q.S. al-Hajj: 47? Padahal, berapa umur kita?
Kita hanya bisa berharap kepada rahmat Allah untuk selamat fiddin waddunya wal akhirah, dalam kehidupan agama, dunia, dan akhirat. Kita hanya mampu memohon syafaat Nabi Muhammad SAW, seraya meronta, “Asshalaatu wassalaamu ‘alaika ya Sayyidi ya Rasulullah, khudzbiyadii qallat hiilatii adriknii.” Duhai junjunganku dan utusan Allah, raihlah tanganku, yang ringkih ini, tariklah tanganku yang lemah menggapai-gapai di antara seluruh umat manusia yang mengiba syafaat darimu..
Saya merasa benar-benar tidak memiliki bekal menuju akhirat, apalagi mengklaim jatah surga. Namun, setahu saya yang faqir dan dhaif ini, mana ada orang yang benar-benar beriman yang berani untuk membangga-banggakan amal ibadahnya? Mereka tersungkur ketakutan dalam sujud basah airmata kala beristighfar memohon ampunan Allah dari kesalahan dan dosa. Sebab, kata Rasulullah SAW, senoktah saja rasa sombong cukup mengantar ke neraka. Na’udzu billahi min dzalik.
Jangankan untuk menyalah-nyalahkan orang lain, bahkan membenar-benarkan diri sendiri saja tak disarankan. Mawas diri adalah pangkal dari ikhtiar mengenal diri sendiri, dan mengenal diri sendiri adalah pangkal dari mengenal Allah. Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu. Alih-alih saling menyalahkan, lebih baik saling membenarkan. Agama itu nasihat, kata Nabi Muhammad SAW. Maka, seperti perintah Allah, sebaiknya kita berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran.
Seburuk-buruk seseorang, sekali lagi saya mengutip pesan Gus Mus, ia punya sisi baik. Dan, sebaik-baik seseorang, ia pun punya sisi buruk. Alangkah indah jika kita saling memperbaiki, dan bukan justru saling memperburuk. Kita sama-sama menunggu waktu hingga datangnya ajal. Dan, ketika waktu itu tiba, semoga kita bukan termasuk orang yang menyesal karena telah merugi di dunia ini. Semoga hasrat terhadap surga tak memalingkan kita dari ketulusan menyembah Allah.
Allah berfirman dalam Q.S. al-Ankabut: 5, bahwa, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah, sesungguhnya waktu yang dijanjikan Allah itu niscaya datang.” Membayangkan perjumpaan dengan Dia Yang Maha Indah, sungguh tak tebersit lagi kenikmatan yang lebih tinggi daripada itu.
Senikmat-nikmatnya nikmat surgawi lebih nikmat Nikmat Ilahi. Merasakan kehadiranNya di setiap hela napas, detak jantung, arus darah, ayun kaki, gerak tubuh, ialah nikmat tiada tara.
Baca juga:
Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?