Sabtu, April 20, 2024

Kenapa NU Menolak FPI?

Zuhairi Misrawi
Zuhairi Misrawi
Ketua Moderate Muslim Society, Alumnus Universitas al-Azhar, Kairo Mesir. Intelektual Muda Nahdlatul Ulama. Ketua Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia. Menulis sejumlah buku: Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (2008), Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Keindonesiaan dan Keumatan (2012), Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim (2010), Madinah: Kota Suci, Piagam Madihan, dan Teladan Muhammad (2011), Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (2013).

said-aqil-tempo
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj. [Foto: Tempo]
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Denpasar (Bali) dan Nusa Tenggara Barat secara resmi menolak kehadiran Front Pembela Islam (FPI) di kedua daerah masing-masing. Keduanya mempunyai alasan yang berbeda-beda. NU Denpasar menolak FPI karena dinilai bisa merusak kebhinnekaan dan harmoni. Sedangkan NU NTB tidak ingin masalah politik yang berkecamuk di Jakarta dibawa-bawa ke NTB, sehingga mengganggu situasi masyarakat yang aman, damai, dan kondusif.

 

Sikap NU ini sebenarnya bukan hal baru. Pada tahun 2014, KH Malik Madani, Katib ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dalam rapat gabungan antara Syuriah dan Tanfidziyah secara tegas menolak dakwah FPI karena dianggap bertentangan dengan metode dakwah Ahlussunnah wal-Jamaah, yang dikenal toleran, moderat, dan elegan (http://www.nu.or.id/post/read/51730/nu-tolak-tegas-gerakan-hti-dan-fpi). Pertanyaannya, kenapa NU menolak FPI?

Penjelasan di bawah ini teramat penting untuk menjawab kebingungan di tengah-tengah masyarakat, karena FPI selalu dikaitkan dengan NU atau beberapa pahamnya dianggap sejalan dengan tradisi NU, sehingga ada anggapan seolah-olah FPI bagian dari NU.

Maka, sikap NU Denpasar dan NU NTB tersebut sebenarnya memberikan garis demarkasi dan diferensiasi antara NU dan FPI. Bahkan, NU sebenarnya menolak FPI, karena sepak terjangnya dianggap bertentangan dakwah Ahlussunnah wal-Jamaah yang dipedomani NU, yang dikenal ramah, toleran, dan moderat.

Sebagai organisasi yang dinakhodai para ulama dan kiai, NU ingin memastikan bahwa Islam rahmatan lil ‘alamin dapat menjadi ruh yang memperkokoh bangsa dan memperkuat hubungan antara sesama (hablum minan nas). Sebab itu, untuk mencapai tujuan yang mulia mesti diperlukan strategi dakwah yang merangkul, bukan dakwah yang memukul.

Masih segar melekat dalam ingatan publik bagaimana FPI kerapkali melukai perasaan warga NU saat Rizieq Shihab menyebut Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dengan buta mata dan buta hati dalam sebuah wawancara yang disiarkan live di sebuah stasiun televisi swasta. Bagi kami, kader muda NU, ujaran Rizieq Shihab tersebut sangat melukai warga NU yang sangat menghormati Gus Dur.

Gus Dur adalah mantan Ketua Umum PBNU, Presiden RI ke-3, dan cucu pendiri NU, yang pengabdiannya kepada NU dan bangsa sangat besar. Bahkan, hingga sekarang ribuan orang setiap hari masih menziarahi kuburan Gus Dur.

Kita juga menonton Youtube di mana Rizieq Shihab secara terbuka menyebut kata-kata yang tidak pantas terhadap Ketua Umum PBNU KH Prof. Dr. Said Aqil Siradj. Berbeda pendapat adalah hal yang biasa, termasuk di dalam lingkungan NU, bahkan perbedaan pendapat menjadi salah satu khazanah NU. Tapi melontarkan kata-kata yang tidak pantas dan tidak etis terhadap Ketua Umum PBNU tentu merupakan salah satu tindakan yang secara moral tidak bisa diterima.

Selain hal yang bisa dilihat secara visual, sebenarnya ada hal-hal yang bersifat prinsipil yang menjadi landasan NU menolak FPI. Pertama, Islam adalah agama yang membawa rahmat dan kasih sayang kepada siapa pun. Karena itu, inti dari Islam adalah persaudaraan (al-ukhuwwah). Persaudaraan merupakan tiang Islam, negara, dan kemanusiaan.

NU-Bali
Warga Nahdliyin Denpasar menolak keberadaan FPI di Bali [Foto: Detik.com]
Untuk itu, ulama NU menggarisbawahi tiga model pesaudaraan: persaudaraan keislaman (al-ukhuwwah al-islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (al-ukhuwwah al-wathaniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (al-ukhuwwah al-basyariyyah).

 

Karenanya, jika ada pihak-pihak yang ingin menampilkan wajah Islam yang penuh amarah, apalagi menebarkan kebencian dan kekerasan, sebenarnya dapat mengganggu persaudaraan. NU bertahun-tahun menjadi “jimat bangsa” dengan membangun harmoni antara sesama warga negara, apa pun agama dan keyakinannya. Sebab, sebuah bangsa tidak akan berdiri tegak jika harmoni di antara warganya tidak terwujud.

Kedua, paham Ahlussunnah wal-Jamaah NU mempunyai karakteristik tersendiri. Menurut KH Achmad Siddiq dalam Khitthah Nahdliyyah, ada dua karakteristik Ahlussunnah wal-Jamaah NU, yaitu moderat, memilih jalan tengah (al-tawassuth), tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Selain itu, karakter yang menonjol adalah menebar rahmat kepada siapa pun (rahmatan lil ‘alamin).

Karena itu, dakwah-dakwah NU mengutamakan kearifan, nasihat yang santun, dan debat yang rasional-konstruktif. Jihad yang dilakukan oleh NU adalah jihad kebangsaan dalam rangka mewujudkan kemerdekaan dan jihad kemanusiaan dengan melakukan pendidikan dan pelayanan masyarakat melalui pesantren-pesantren dan ekonomi kerakyatan.

Ketiga, sebagai organisasi yang dipimpin oleh para ulama, NU sangat mengedepankan keteladanan dan akhlak mulia. Ulama adalah pewaris para Nabi, karenanya ia mewarisi akhlak mulia, yang ucapan-ucapannya harus menginspirasi, bukan memprovokasi. Menurut KH Achmad Siddiq, ciri-ciri ulama antara lain: takwa kepada Allah SWT; mewarisi ucapan, perbuatan, dan akhlak Nabi Muhammad SAW; tekun beribadah, asketis, berilmu luas, mengedepankan kemaslahatan umum, dan mengabdikan ilmunya untuk Allah SWT.

Keempat, NU akan selalu mematuhi pemimpin yang dipilih secara sah, tidak melakukan makar, meski tidak kehilangan sikap kritis. Sikap ini diambil dalam rangka memastikan negara dalam keadaan kondusif, tidak dalam keadaan turbulen, dan penuh gonjang-gonjing.

Kelima, NU akan menjadi menjaga Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam Muktamar NU 1984, NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Lalu, pada Musyawarah Alim Ulama 2006 di Surabaya, NU menegaskan kembali Pancasila sebagai dasar negara yang bersifat final.

Sikap NU yang demikian ini penting untuk diketahui publik, khususnya warga NU agar senantiasa menjadi kelompok mayoritas yang melindungi kelompok minoritas. Bukan hanya itu, NU dapat menjadi pelopor bagi kokohnya solidaritas kebangsaan.

Ibu Megawati Soekarnoputri menyampaikan pesan yang sangat baik dalam Hari Ulang Tahun PDI Perjuangan ke-44, agar kelompok mayoritas tidak boleh diam. NU sebagai salah satu ormas Muslim terbesar di negeri ini harus menyampaikan sikapnya agar Islam terus menjadi faktor yang memperkokoh kebangsaan.

Apa yang dilakukan NU Denpasar dan NU NTB adalah sikap yang tepat sebagai upaya untuk mengingatkan dalam kebajikan (tawashaw bil haqq) dan mengingatkan dalam kesabaran (tawashaw bi al-shabr).

Zuhairi Misrawi
Zuhairi Misrawi
Ketua Moderate Muslim Society, Alumnus Universitas al-Azhar, Kairo Mesir. Intelektual Muda Nahdlatul Ulama. Ketua Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia. Menulis sejumlah buku: Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (2008), Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Keindonesiaan dan Keumatan (2012), Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim (2010), Madinah: Kota Suci, Piagam Madihan, dan Teladan Muhammad (2011), Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (2013).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.