Dalam buku The Place of Tolerance in Islam (2002), Khaled Abou El Fadl menulis, “the meaning of the text is often as moral as its reader. If the reader is intolerant, hateful, or oppressive, so will be the interpretation of the text.” Guru besar hukum Islam di University of California Los Angeles (UCLA) itu benar bahwa al-Qur’an—bahkan teks apa pun—berbicara melalui pembacanya. Jika pembaca tidak bertanggung jawab dan penuh kebencian, maka hasil bacaan dan tafsirnya pun akan menjustifikasi dan mendorong intoleransi.
Namun, pembacaan yang bertanggung jawab harus dimulai dengan pengakuan bahwa ada problem dalam teks-teks keagamaan itu sendiri. Inilah “gajah dalam ruangan” yang acapkali dihindari oleh sarjana-sarjana modern. Kita seringkali menghindar bicara soal kekerasan dalam Kitab Suci dan menganggapnya sebagai persoalan interpretasi semata. Padahal, kekerasan berada di jantung Kitab Suci, bukan sekadar problem interpretasi.
Itulah argumen pertama yang hendak dielaborasi dalam tulisan ini, sebagaimana telah didiskusikan dalam tulisan terdahulu terkait Kitab Suci agama Yahudi dan Kristen. Argumen kedua, tafsir ayat-ayat kekerasan dalam al-Qur’an cenderung menambah masalah karena umumnya ditulis pada “imperial moment”, suatu masa di mana Muslim tampil sebagai penguasa politik yang dominan. Dan pengaruh dominasi politik Islam yang bersifat memaksa itu mudah ditemukan dalam karya-karya tafsir.
Kekerasan Al-Qur’an
Ayat-ayat yang menggambarkan tradisi “kekerasan Tuhan” mendominasi al-Qur’an, sebagaimana juga Alkitab. Walaupun setiap surat dimulai dengan frasa “Dengan nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang”, tetapi hampir setiap surat menyuguhkan gambaran Tuhan yang mengancam manusia dengan siksaan yang pedih. Jauh dari kesan “maha pengasih dan maha penyayang”.
Sebagaimana Alkitab, Kitab Suci kaum Muslim juga menjadikan kekerasan sebagai bentuk hukuman bagi siapa pun yang melanggar ketentuan Tuhan, termasuk kaum Muslim sendiri yang menyimpang dari “keimanan yang benar”. Sebagian kekerasan al-Qur’an itu berbentuk ancaman hukuman kelak di Hari Akhir. Misalnya, mereka yang berbuat dosa dan tidak bertobat diancam akan dilemparkan ke api neraka dengan berbagai gambaran siksaan yang sadis.
Sebagian kekerasan lain diperintahkan untuk dilaksanakan dalam kehidupan dunia ini. Bentuk kekerasan duniawi yang diperintahkan al-Qur’an cukup beragam, dari seratus kali cambuk bagi orang yang berzina hingga potong tangan bagi pencuri dan qisas bagi yang terlibat pembunuhan. Al-Qur’an juga mengabsahkan bentuk-bentuk kekerasan lain seperti penyaliban dan pengasingan bagi mereka yang melakukan kerusakan di muka bumi.
Bagaimana posisi etis al-Qur’an terkait perlakuan terhadap orang-orang kafir? Sulit menjawab pertanyaan ini secara presisi karena Kitab Suci kaum Muslim memperlihatkan sikap ambivalen. Setidaknya, kita bisa identifikasi tiga sikap al-Qur’an yang berbeda.
Pertama, sejumlah ayat dalam al-Qur’an mengedepankan sikap non-konfrontatif dalam arti memberikan ruang kebebasan bagi mereka yang tidak mengimani ajaran al-Qur’an. Biasanya, ayat-ayat non-konfrontatif ini dikaitkan dengan situasi di mana Islam masih dalam posisi lemah sehingga kebedaraan mereka diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan.
Kedua, ayat-ayat yang membenarkan kekerasan bahkan perang sebagai pembelaan diri, baik secara individual maupun kolektif. Jika kaum Muslim dizalimi, diusir dari tanah airnya, atau diperangi, maka mereka diizinkan untuk melawan dan berperang demi mempertahankan eksistensi mereka.
Ketiga, bagian dari al-Qur’an yang bersifat agresif. Dalam banyak ayat disebutkan, keterlibatan dalam peperangan yang dibenarkan atau jihad merupakan kewajiban keagamaan bagi kaum Muslim. Perintah untuk berperang dan tidak mundur dari pertempuran dapat dijumpai di banyak tempat dalam al-Qur’an, sembari dibumbui dengan janji-janji bahwa Tuhan ada di sisi mereka dan akan mengantarkan pada kemenangan.
Ayat-ayat kekerasan dalam al-Qur’an di atas mudah dibaca terlepas dari konteksnya karena, berbeda dari Alkitab, Kitab Suci kaum Muslim tidak bersifat kronologis atau tematis. Elemen kekerasan ditemukan terpencar-pencar dalam keseluruhan teks al-Qur’an tanpa adanya indikasi tentang waktu atau situasi yang menjadi latar belakang munculnya ayat-ayat tersebut.
Paska kodifikasi dan kanonisasi al-Qur’an, para ulama mencoba menelusuri konteks historis teks al-Qur’an untuk memahami sikap al-Qur’an yang tampak kontradiktif. Dari hasil penelusuran itu lahirlah sebuah genre tafsir khusus, yang disebut “asbab al-nuzul” (sebab-sebab turunnya wahyu) untuk mengetahui kronologi al-Qur’an. Penggunaan kronologi memang membantu memahami kontradiksi dalam al-Qur’an. Beragam sikap terhadap “yang lain” itu muncul dalam situasi yang berbeda sehingga perlu dipahami tidak terlepas dari konteksnya.
“Imperial Moment”
Persoalannya, pembacaan al-Qur’an secara kronologis tidak menyuguhkan gambaran tentang al-Qur’an sebagai kitab toleransi. Justru, sebaliknya, dengan menggunakan argumen kronologis, sebagian ulama berpendapat bahwa ayat-ayat yang berlaku sekarang ialah al-Qur’an yang bersifat agresif, yang memerintahkan kekerasan dan perang tanpa syarat.
Dalam pembacaan kronologis, ayat-ayat agresif diyakini turun kepada Nabi Muhammad pada periode terakhir dari risalah kenabiannya. Karena itu, ayat-ayat tersebut dianggap telah menghapuskan wahyu sebelumnya yang tampak mengedepankan hubungan damai atau, setidaknya, memberikan persyaratan khusus bagi penggunaan kekerasan. Yakni, pembelaan diri (self-defense).
Penelurusan asbab al-nuzul sebagai dasar penggunaan teori abrogasi (naskh) mengungkap tahapan-tahapan perkembangan Islam itu sendiri yang muncul, berkembang, dan akhirnya tampil sebagai agama dominan. Kita bisa lihat pergeseran bahasa al-Qur’an dari yang semula persuasif menjadi konfrontatif. Pada tahapan terakhir itulah ditemukan ayat-ayat koersif.
Persoalannya menjadi lebih rumit karena tafsir terhadap ayat-ayat koersif diproduksi pada masa ketika Islam menjadi agama kekuasaan dan seringkali dilibatkan dalam kontestasi politik. Maka, ayat-ayat agresif yang muncul ketika Nabi Muhammad menjadi pemimpin dominan di Madinah bukan didekati secara humanistik untuk kehidupan antar-manusia secara setara. Sebaliknya, ayat-ayat itu diberi muatan yang lebih eksklusif untuk menegaskan rivalitas antar kelompok-kelompok keagamaan.
Bahkan, ayat-ayat yang tampak menolak kekerasan dan mengedepankan sikap inklusif sekalipun dipahami bermakna sebaliknya. Salah satu ayat yang sering dikutip Muslim pluralis ialah surat al-Baqarah (2): 62, yang diulang dalam al-Ma’idah (5): 69. Ayat ini menyebutkan, siapa pun di antara kaum beriman, Yahudi, Kristen, dan Sabian yang (1) beriman pada Allah dan Hari Akhir, dan (2) melakukan amal saleh, akan dijamin keselamatannya. Kesan toleransi dalam ayat ini sangat jelas, bahkan keimanan kepada kenabian Muhammad tidak menjadi syarat keselamatan.
Tapi, kenyataannya, ayat ini pun telah dimaknai sebaliknya. Para ulama terdahulu menemukan berbagai cara untuk mengubah makna ayat tersebut. Ada yang mengatakan, ayat itu telah diabrogasi. Ada yang berpendapat, ayat itu hanya berlaku bagi mereka yang hidup sebelum kedatangan Islam. Bahkan, ada yang membatasi makna ayat itu bagi orang Yahudi, Kristen, dan Sabian yang beriman Islam.
Tentu saja semua alternatif tafsir di atas tidak masuk akal. Yang perlu disadari, tafsir-tafsir tersebut dihasilkan pada “imperial moment” yang mengedepankan watak eksklusivitas Islam sebagai agama penguasa. Karena itu, yang harus dilakukan sekarang ialah mengembalikan watak polivalen teks al-Qur’an dan menekankan (pinjam kata-kata Abou El Fadl) “the Qur’anic message of tolerance and openness to the other.”