KAHLIL GIBRAN belum lahir ketika Ismail dibaringkan di atas pelipisnya dan Ibrahim AS tak pernah benar-benar siap meski telah berserah penuh kepada Allah. Bergetar hebat hatinya. Anak yang dinantikannya hingga penghujung usia 80 tahun, hari itu hendak dikurbankan Ibrahim atas nama Allah.
Ismail baru beranjak remaja ketika itu dan Ibrahim niscaya telah melampaui masa satu abad hidup. Ibrahim dikaruniai Ishaq, anaknya yang kedua, pada suatu waktu menjelang berumur 100 tahun. Sesudah lama dipisahkan oleh jarak dan kenyataan hidup, Ibrahim lantas dihadapkan pada kepahitan berikutnya: perintah sembelih.
Ya, menyembelih anak sulungnya sendiri: Ismail. Jika Ibrahim hidup di hari ini, cepat ia akan ditangkap polisi. Ya, atas tuduhan percobaan pembunuhan. Oleh karena itu, shadaqallahul ‘adziim, Maha Benar Allah dengan segala firmanNya, juga tatkala Dia menetapkan Muhammad SAW sebagai nabi terakhir.
Nah, dalam al-Qur’an, umat Muhammad memang dinyatakan sebagai umat terbaik, namun bukan umat terakhir. Generasi mendatang terus berdatangan. Yang mutakhir, misalnya, kita menyebut mereka sebagai generasi milenial. Lalu, bagaimana kisah bapak dan anak hari ini? Masihkah selaras dengan puisi Gibran?
Penyair asal Lebanon yang menulis buku kumpulan puisi berjudul Sang Nabi ini menulis, “Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka anak-anak kehidupan yang merindukan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui dirimu, namun bukan dari dirimu. Meski bersamamu, mereka bukan milikmu.”
Betapa keras tamparan Gibran. Tanpa perlu dimaknai secara benar-benar mendalam, kita telah merasakan anak-anak kita bukanlah anak-anak kita. Ya, tak usah ditutup-tutupi pula: mereka sibuk dengan kehidupannya sendiri–ketika kita pun sibuk dengan kehidupan kita sendiri. Keluarga kita keluarga sibuk.
Entah masih adakah kerinduan di antara orangtua dan anak. Mungkin, swafoto keluarga dimaksudkan untuk membayar kerinduan itu. Sebab, ya, kita sama-sama tahu: susah sekali mengumpulkan seluruh anggota keluarga. Dan, ehm, susah pula mengalihkan pandangan anak-anak kita dari gawai nirkabel dan segala keasyikan di dalamnya.
Tak perlu menyoal anak-anak, kita sendiri pun semakin hari kok terasa semakin sulit melepaskan diri dari dunia maya untuk kembali menginjakkan kaki ke dunia nyata. Bisa jadi, membaca kisah Ibrahim dan Ismail, kita merasa itu terjadi di dunia maya. Dalam dongeng.
Maka, saya tak kaget ketika masih saja ada yang nyinyir berkata: mengapa ada aksi pembunuhan hewan kurban secara besar-besaran? Mengapa membunuh? Meski kambing dan sapi itu binatang, mengapa mereka harus dibunuh demi ritual ibadah? Sudah banyak jawaban mengenai metodologi penyembelihan hewan kurban sesuai Sunnah Rasulullah SAW, yang sama sekali tidak tepat jika disebut pembunuhan massal terhadap binatang. Saya memilih menjawabnya dengan pertanyaan: bagaimana busur dan anak panah dari kayu dibikin bila tanpa menebang pohon? Adakah yang tahu?
Gibran, dalam puisinya yang abadi itu, mengumpamakan orangtua sebagai busur dan anak sebagai anak panah, dengan Tuhan sebagai Sang Pemanah. Saya yakin, busur dan anak panah dalam bayangan penyair yang wafat pada usia 48 tahun itu terbuat dari kayu. Dan, untuk membuatnya, bukankah perlu menebang pohon? Ah, terlalu ke mana-mana pokok bahasan tentang Ibrahim, Ismail, kurban, dan Gibran ini. Tapi, yang sesungguhnya hendak saya katakan adalah Allah tidak perlu merusak apa pun ketika mencipta, namun tidak demikian halnya manusia. Allah dengan kun, seketika fayakun. Kita?
Dalam tema kurban, sebetulnya tak perlu kita bahkan berprasangka betapa Ibrahim tega menghunus pisau ke leher anaknya sendiri, Ismail, atas nama Allah. Dari sisi mana pun, terbukti Ismail tak pernah jadi korban penyembelihan, bukan? Ada hal-hal lain yang perlu kita baca. Salah satu di antaranya ialah betapa sangat cepat, atau bahkan lebih cepat dari cepat, Allah telah menyelamatkan Ismail dan menempatkan seekor kambing di ujung persimpangan waktu. Agama juga berada di situ, di hal-hal di luar nalar yang hanya bisa didekati dengan iman. Ya, dengan akal, manusia mulia. Dengan hati, manusia luhur.
Jika pun hendak membicarakan Allah di dalam dimensi waktu, maka Sang Maha Awal dan Maha Akhir ini berada di dalam dimensi seketika. Kun fayakun. Jadi, maka jadilah. Bisa tanpa proses sama sekali jika memang itu yang Dia Kehendaki. Berbeda dengan manusia di dalam dimensi ketika, yang selalu memerlukan proses. Bahkan, manusia selama-lamanya di zona proses itu karena Allah yang menentukan hasil. Perlu menebang pohon untuk membuat hal-hal dari kayu. Karena harus merusak jika hendak membuat sesuatu, manusia perlu ilmu untuk mawas diri dan menjaga kesemestaan dari kepunahan.
Dalam QS. al-Qamar: 50 Allah berfirman, “Dan perintah Kami hanya satu perkataan, (yang terjadi) seperti kejapan mata.” Yang lebih termasyhur, yaitu QS. Yasin: 82, juga difirmankan, “Sesungguhnya keadaanNya apabila Dia menghendaki sesuatu, hanya berkata: jadilah!, maka terjadilah sesuatu itu.”
Dalam berkehendak, segala sesuatu bagi Allah adalah niscaya. Sama sekali tak ada yang mustahil, apalagi jika kita bahas ini dalam konteks jaiz atau kemutlakanNya atas segala sesuatu yang Dia Kehendaki. Juga ketika Dia memerintahkan Ibrahim mengurbankan Ismail dan menamatkan drama itu dengan seekor hewan kurban.
Kita bisa mendapatkan kisah yang utuh tentang betapa Ibrahim memohon-mohon kepada Allah untuk dianugerahi seorang anak di dalam QS. ash-Shaaffaat: 99. Di ayat-ayat berikutnya hingga ayat 111, jelas dipaparkan tentang mimpi Ibrahim, dialog bapak dan anak yang hanif itu, ketaatan Ismail dan keimanannya pada Allah, serta balasan dari Allah pada keduanya: detik-detik menegangkan ketika seekor hewan sembelihan muncul dari Ketetapan Allah. “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan pada orang-orang yang berbuat baik,” tersurat dalam ayat suci itu. Ibrahim lulus uji iman.
Siapa yang hendak mendebat keilmuan Ibrahim? Bapak Tauhid ini bahkan telah memulai riwayat berakidah sejak dari tak mau menyembah patung seperti orang-orang di zamannya, termasuk bapaknya sendiri yang adalah pematung. Ibrahim pun menelusuri pencariannya terhadap Tuhan dari silih bergantinya matahari dan rembulan; siang dan malam.
Ia bahkan mengalami dibakar hidup-hidup, yang kemudian diselamatkan oleh Allah yang mendinginkan api baginya. Ia sosok yang genap, bukan seorang bapak yang tega berbuat ganjil: meminta anaknya bersedia disembelih atas nama Allah.
Alih-alih mendalami soal-soal akal dan hati, kita mungkin tidak benar-benar bisa membedakan pikiran dan perasaan. Akan kian sulit jika selain akal dan hati, masuk pula tema bahasan birahi, sebagaimana yang di dalam kajian tasawuf dikenal tiga kelompok besar pengenalan diri manusia. Pertama, kepala yang bersemayam akal di dalamnya dibahas dalam kajian Bait al-Makmur.
Kedua, dada yang bersemayam hati di dalamnya dibahas dalam kajian Bait al-Muharram. Ketiga, alat genetikal yang bersemayam birahi di dalamnya dibahas dalam kajian Bait al-Quddus. Di tiap bait terdapat ujiannya sendiri.
Tak perlu sampai menakar ketegaran hati Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail. Tak perlu pula membandingkan dengan ketegaran Ibrahim, Sarah, dan Ishaq. Pun tak perlu saling berdebat dan berbantah mengenai siapa sesungguhnya yang akan Ibrahim kurbankan atas nama Allah: Ismail atau Ishaq? Yang pasti, hikayat qurban ini tak lekang oleh waktu, sebagaimana Gibran menulis “Sang Pemanah telah membidik arah keabadian”.
Mengakhiri tulisan ini, izinkan saya memulai mawas diri: tauhid tanpa akidah bisa sesat dan ilmu tanpa iman bisa menyesatkan. Akal tanpa hati tak pernah bisa menjelma budi pekerti.