Sosok wanita dengan perawakan kecil bergegas berjalan menghampiri kerumunan pedagang-pedagang kagetan di sisi jalan tidak jauh dari terowongan King Fadh Kota Makkah. Pedagang yang di Tanah Air dikenal dengan Sogo Jongkok karena pembeli harus berjongkok melihat barang dagangan yang terhampar di atas sehelai kain di atas trotoar jalan yang pagi itu sudah ramai sejak matahari masih malu-malu memunculkan wajah cantiknya.
“Aku mau beli lauk makan, anak muda yang jadi langgananku tidak jualan kemarin, tiap pagi aku beli sama dia, dia sudah kenal aku. Aku beli sambal udang, ikan laut yang digoreng,” kata wanita dengan logat Melayunya yang khas, Selasa (19/07/2022).
Wanita yang ditemui pagi itu bernama Mursalam (59), berasal dari Ujung Batu, Rokan Hulu, Riau namun terlahir di Sumatera Barat. Gaya bicaranya yang ramai menunjukkan profesi sehari-harinya sebagai pedagang kain keliling, tubuhnya kecil tapi terlihat lincah dan bersemangat.
Dia bersyukur seluruh rangkaian ibadah hajinya berjalan lancar, sejak masa Arafah, Muzdalifah, dan Mina, dilalui dengan kemudahan-kemudahan yang ia rasakan. “Alhamdulillah, selama di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, aku sehat-sehat, juga saat thawaf Ifadah,” terang wanita yang masih tegar di usianya.
Usai membeli kebutuhannya, wanita dengan kulit gelap tersebut bercerita tentang kehidupannya. Sejak ditinggal wafat suaminya di usia muda, Mursalam harus berperan sebagai orang tua tunggal bagi ketiga anaknya. Tidak dimilikinya keterampilan khusus, ia memutuskan untuk berjualan kain atau pakaian seperti gamis, kerudung, baju muslimah, sebagian batik, atau seragam sekolah saat momen tahun ajaran baru.
Ia menjual dagangannya keliling dari satu pasar ke pasar lainnya yang berada Kawasan Kabupaten Rokan Hulu. Setiap hari pasaran, bersama kelompok pedagang keliling lainnya, Mursalam menggelar dagangannya di atas tanah dengan alas kain depan pasar, ia kulakan atau belanja dagangannya di Pekanbaru.
Sebelum menetap di Rohul sejak 20 tahun lalu, Mursalam berjualan di Medan dan Padang. Ia pernah mengalami masa-masa sulit saat hampir bangkrut. Kondisi tersebut membuatnya terpukul dan patah semangat, dagangannya sulit terjual.
“Liku-liku hidupku, aku jualan di tiga kota, jualan di Medan di sana bangkrut, lalu di Sumbar jualanku sempat naik lalu jatuh, dan akhirnya pindah ke Riau. Keberkahanku jualan kain ini di Riau,” ujar Mursalam terbata-bata mengingat masa sulitnya.
Karena tidak punya kios, ia menjajakan jualannya dengan berkeliling di pasar-pasar, menggelar dagangannya di atas tanah di tengah hiruk pikuk pasar. “Ketika jualanku naik, Allah pernah beri aku ujian, maka aku pun jatuh. Aku yakin, Allah tidak pernah meninggalkanku sendirian, dengan tabah dan sabar, ujian tersebut aku tetap jalani,” paparnya berkaca-kaca.
Ketika memutuskan pindah ke Riau, wanita tegar itu berkisah, salah seorang rekannya menilai barang dagangan yang ia miliki akan sulit laku karena modelnya sudah tertinggal. “Barang daganganku hanya tinggal ini, sisa dari saat aku jatuh. Pada saat tahun baru, ada pembeli yang membeli seluruh barang dagangan yang sebelumnya “dihina” temanku. Memang aku akui, barangku kurang bagus, tapi yang Kuasa tunjukkan orang yang membelinya, pembelinya orang Nias, pada tahun baru, itu jualanku diborong habis,” kisahnya
Berniat haji menurutnya sudah ada sejak muda, niat tersebut mulai ia wujudkan sejak memutuskan pindah dari Sumbar ke Riau. Ia pun bernazar kurban selain haji saat pindah ke Riau. “Ya Allah, Ya Tuhanku kalau aku pindah nanti, aku akan kurban dan nabung naik haji. Alhamdulillah terkabul,” kata dia.
Ia jalankan tekadnya berhaji dengan sepenuh hati, setelah menikahkan anak pertamanya, mulai ia daftar haji dengan menyisihkan keuntungannya berdagang. Menurutnya, untuk nabung haji, selain berjualan kain, ia jajakan sayuran kangkung, cabe, daun singkong yang ditanam di kebun kecil miliknya di pasar.
“Tahun 2011, saat puasa, aku menangis berdoa, ya Allah bila terkumpul uang setahun ini aku langsung daftar haji , alhamdulillah doaku dikabulkan, tahun 2011 aku daftar haji,” kata Mursalam bahagia.
Dikatakannya, keuntungannya yang ia peroleh tidak seluruhnya dibelikan barang jualan lagi, tapi ia tabung untuk haji. Kadang ia hanya untung 2.000 bahkan pernah 2 juta karena ada yang borong jualannya, ada yang pesan seragam seolah, keuntungannya ia sisihkan untuk naik haji, begitu seterusnya.
“Allah sayang sama aku, hingga akhirnya bisa daftar haji, aku menangis saat mohon pada Allah, dan Allah kabulkan aku daftar haji. Anakku heran ibunya bisa mengumpulkan uang sebanyak 25 juta untuk daftar haji, aku yakinkan pada anakku, ini sepenuhnya karena kehendak Allah. Aku bersyukur, segala lelah capek Alllah ganti,” tuturnya.
Ia mengaku puas saat melihat rumah Allah tegak berdiri di hadapannya, Kabah yang ia pernah ia lihat di mimpinya. “Puas rasanya selama hidup ini melihat Kabah, rasa lelah capek sudah tidak ingat lagi saat mencari uang untuk daftar haji, sempurna rasanya hidupku,” tuturnya. Dihadapan Kabah, ia berdoa keturunannya bisa ke Tanah Suci menyambung langkah yang pernah ia rintis menjadi tamu Allah
“Saat di Arafah, aku mohon ampun untuk orangtuaku agar ditempatkan di taman surga, aku tidak mungkin melupakan jasa mereka,” ujar Mursalam menangis mengenang orangtuanya yang telah tiada.
Berlinang air mata wanita tangguh itu sesunggukkan, lalu pamit menuju hotelnya dengan mata basah. Hirup pikuk dan suara-suara pedagang di depan Kantor Misi Haji Indonesia masih terdengar, menawarkan dagangannya pada jemaah haji yang mulai menyusut kembali ke hotelnya. (MCH-Kemenag)