Umat muslim Indonesia mengenal tahlilan sebagai tradisi keagamaan melalui pembacaan serangkaian doa-doa atau pujian ketika peristiwa kematian seseorang. Tahlilan tentu saja tradisi yang baik, karena diwariskan oleh para wali dengan tujuan menjaga persaudaraan dan kebersamaan antarsesama umat.
Tahlil—sebagaimana disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)—yaitu membaca kalimat tauhid, “Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah” dengan serangkaian bacaan lainnya yang disusun sedemikian rupa tanpa menghadirkan simbol apa pun, kecuali bendera kuning yang umumnya terpajang sebagai pertanda kematian.
Jamaah tahlilan begitu semangat dan meyakinkan, mendoakan keluarga atau kerabatnya yang sedang tertimpa musibah, secara berkelompok dan bersama-sama, berdzikir dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan satu tujuan: hanya mengharapkan ampunan dari Tuhan atas segala dosa-dosa yang telah diperbuat.
Bagi saya, tradisi tahlilan dalam masyarakat muslim Indonesia punya keunikan tersendiri. Karena, selain sebagai penjagaan atas tradisi para wali penyebar agama Islam, juga membentuk semangat kebersamaan, untuk saling memperkuat, tepo seliro, saling membantu antarsesama yang hampir-hampir terkikis belakangan ini. Sikap individualisme, ekslusivisme, atau fanatisme, dihancurkan melalui tradisi tahlilan ini, sehingga setiap orang disadarkan akan nilai-nilai kebersamaan dan persatuan, jauh dari kesan kecurigaan ataupun permusuhan.
Jamaah tahlilan tentu tak seluruhnya memahami dan mengerti apa makna di balik setiap bacaan yang dilafalkan, tetapi mereka memiliki semangat kebersamaan yang jauh lebih besar dalam mendorong penguatan simpul-simpul solidaritas keagamaan.
Jamaah tahlilan tentu berada di bawah panji “Laa ilaaha Illallah Muhammadurrasulullah”, dalam pengertian yang sebenarnya, sebab mereka melantangkan kalimat tauhid dengan penuh keyakinan dan harapan kepada Tuhan, tanpa ada pretensi politik sedikit pun.
Ketulusan hati para jamaahnya tak bisa diukur hanya oleh sebuah “berkat” (makanan dalam besek) yang biasanya didapat selepas acara tahlilan. Namun kejujuran mereka dalam setiap pengakuan atas dosa-dosa yang mereka perbuat, sanggup menutupi dari dorongan nafsu duniawi yang sedemikian besar.
Doa yang dipanjatkan kemudian seusai tahlilan menunjukkan makna luar biasa, di mana mereka mendoakan para “ulama yang bekerja” (wal ulamail amiliin), “para penulis yang ikhlas” (wal mushonnifin al-mukhlashin), seraya mendukung para mujahid yang senantiasa berjuang di jalan Allah (wal mujaahidiina fi sabiilillah).
Panji tahlil yang mereka kibarkan memang bermakna simbolik: menjaga solidaritas kebersamaan dan persatuan, menunjukkan sikap kepasrahan kepada Tuhan yang hadir dalam setiap hati mereka yang paling dalam dan tentu saja ini yang seringkali saya rasakan. Berkumpulnya jamaah tahlilan jauh dari kesan kecurigaan, politisasi, lebih-lebih rasa permusuhan atau kebencian.
Wajah-wajah sumringah, cerah, nan indah sudah tentu berbalut serasi dengan sikap keikhlasan mereka yang tanpa pamrih, semata-mata berdoa dan berharap agar beban musibah dan kesulitan cenderung berkurang. Bahkan dalam kegiatan tahlilan yang lebih besar, seperti “haul” (peringatan kematian tahunan seorang tokoh agama), misalnya, peserta yang hadir bisa mencapai ribuan bahkan jutaan, tergantung siapa sosok kharismatis di balik kegiatan haul tersebut.
Lalu, belakangan muncul fenomena bendera “tahlil” yang dipertontonkan segelintir orang, dikibarkan, dan diarak berkeliling jalanan. Kadang bendera ini dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang sangat kental akan nuansa politis: berdemonstrasi, meneguhkan keyakinannya bahwa itu panji kenabian, dan tidak tergambar sama sekali wajah-wajah sumringah mereka. Yang ada teriakan-teriakan menakutkan, bukan berdoa dengan ketulusan sebagaimana cerminan para jamaah tahlilan.
Sulit untuk tidak mengatakan terdapat nuansa yang bertolak belakang, antara mereka yang mengusung bendera tahlil dan jamaah tahlilan; satu merepresentasikan kekosongan makna, sedangkan yang lainnya jelas membawa nilai-nilai dan makna bagi kedamaian dan kebersamaan.
Yang justru semakin menggelikan, keyakinan mereka yang menganggap bendera sebagai simbol atas perjuangan kenabian, bahkan perjuangan agama. Berbagai dalil keagamaan mereka ungkap, sebagai “klaim kebenaran” atas apa yang mereka lakukan. Padahal, menelusuri jejak historis kenabian melalui berbagai karya ulama hadits yang mu’tabarah, bendera hanya dipergunakan untuk kondisi khusus saat peperangan untuk membedakan pasukan muslim dengan pasukan musuh.
Tulisan yang terukir pada bendera memang lafal tahlil, yaitu “laa ilaaha illallah muhammadur rasulullah” yang menurut pakar ilmu hadits, Ibnu Hajar al-Asqallani, keberadaan riwayat hadits soal ini, dianggap “wahin” (sangat lemah) atau mungkin bisa jatuh dalam kategori “kebohongan”. Lalu, kenapa kelompok ini masih tetap meyakininya? Anda saya kira dapat menilainya sendiri.
Perdebatan ihwal soal bendera tahlil yang semakin ramai di media sosial tidak saja mempertontonkan sebuah “kebodohan”, tetapi juga sudah mengarah pada sebuah perilaku menyimpang. Sebab, yang dilakukan bukan lagi kajian ilmiah, tetapi saling ejek, saling hina, bahkan saling mengumbar kebencian dengan menyasar wilayah fisik seseorang.
Mereka seolah lupa bahwa tahlil adalah kalimat tauhid yang sangat sakral, bukan sekadar tulisan yang ditulis dalam secarik kain kotak berwarna hitam, putih atau kuning, tetapi tahlil merupakan ungkapan ketulusan, keyakinan bahkan kepasrahan yang sedemikian dalam bagi seorang Muslim ketika melafalkannya.
Jamaah tahlil sudah menunjukkan, betapa tahlil bukan sekadar sesuatu yang tertulis, tetapi meneladani makna tersirat di dalamnya akan pentingnya nilai-nilai Islam yang penuh kebajikan dan kedamaian.
Saya kira, tak perlu mengkaji ulang soal preferensi dalil-dalil soal kedudukan hadits mengenai bendera, karena yang meriwayatkan haditsnya sendiri jelas menyatakan terdapat banyak perbedaan, termasuk warna dan bentuk bendera sendiri—ada liwa’ dan royyah. Apalagi bendera tak ada hubungannya sama sekali dengan substansi perjuangan agama Islam, karena hanya dipakai sebatas simbol dalam setiap peperangan.
Islam, bagi saya, jelas mengajarkan nilai-nilai yang subtantif-aplikatif, bukan kepercayaan yang buta terhadap simbol atau tanda. Memang, terdapat sejarah mengenai betapa pentingnya simbol dan tanda, sebagaimana yang ditulis dalam mushaf Al-Quran. Namun, simbol dan tanda—berupa titik dan harakat—bertujuan untuk menyamakan bacaan disebabkan dialek Al-Quran yang berbahasa Arab. Di luar itu, keyakinan pada simbol hanya menjadikan manusia kering dari makna-makna substantif ajaran Islam.
Bendera pada akhirnya hanyalah simbol resmi atas perwujudan sebuah komunitas negara-bangsa yang membedakan dengan bangsa lainnya. Bendera Merah-Putih adalah perwujudan “kesamaan dan persatuan” atas keragaman berbagai suku, tradisi, dan agama di Republik Indonesia yang sudah disepakati para pendiri bangsa sebagai pengikat solidaritas sosial.
Para jamaah tahlilan tak pernah mempersoalkan bendera. Yang penting, apa yang mereka jalankan memiliki ikatan historis-keagamaan, yang diyakini berasal dari Nabi Muhammad, para wali, hingga para ulama yang hingga saat ini bekerja. Perwujudan jamaah tahlil jelas menangkap nilai substantif bendera secara artifisial: kebersamaan, persatuan, solidaritas, jauh dari unsur politis, kedengkian, permusuhan dan kebencian.
Kolom terkait:
Tuhan Tidak Menghendaki Olok-olok
Menghadirkan Wajah Islam Yang Santun