Sebuah buletin baru “Buletin Dakwah Kaffah” terbit pada 18 Dzulqa’dah 1438 H/11 Agustus 2017. Judul “Islam Kaffah” mengingatkan kita kembali slogan Hizbut Tahrir Indonesia dan berbagai ormas dan juga penceramah di mana-mana. Tulisan di bawah ini membahas kedangkalan pemaknaan Islam Kaffah sebagian orang, khususnya yang diuraikan buletin ini.
Dalam edisi ini, Islam Kaffah diartikan Islam yang syamil (meliputi segala sesuatu) dan kamil (sempurna). Sebagai agama yang syamil, Islam menjelaskan semua hal dan mengatur segala perkara: akidah, ibadah, akhlak, makanan, pakaian, muamalah, uqubat (sanksi hukum), dll. Tak ada satu perkara pun yang luput dari pengaturan Islam. Lalu ayat-ayat dikutip (an-Nahl: 89, al-Maidah: 3).
Frase “Islam Kaffah” diambil dari Surat al-Baqarah: 208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam (al-silm) secara keseluruhan (kafah), dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.”
Kaffah di sini diartikan: secara keseluruhan, atau semua umat Islam. Maka, tulisan buletin melanjutkan, “tak sepatutnya kaum Muslim mempraktekkan aturan-aturan lain yang bersumber dari Barat….”. “Dengan demikian haram bagi kaum Muslim untuk mengingkari atau mencampakkan sebagian syariah Islam dari realitas kehidupan dengan mengikuti prinsip sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan) sebagaimana yang dipraktikkan oleh negara saat ini.”
Dicontohkan, Abdullah bin Salam, orang Yahudi yang masuk Islam, dilarang mengikuti sebagian ajaran taurat, seperti puasa di hari Sabtu, dan keharaman makan daging.
Disebutkan, sistem negara dan sistem politik tidak dicantumkan secara tekstual dalam al-Qur’an. Poin ini hampir semua Muslim setuju. Poin berikutnya, bahwa as-Sunnah dan ijma’ sahabat sepakat tentang sistem negara dan politik, tidak ada persetujuan di dalamnya.
Jika al-Qur’an dan Sunnah Nabi dijadikan rujukan utama tentang sistem negara dan sistem politik, maka para pejuang sistem Negara Islam membayangkan kehidupan pada masa Nabi dan para sahabat itu.
Jika setiap praktik kehidupan zaman Nabi dan sahabat yang direkam al-Qur’an dan banyak hadis itu diwajibkan apa adanya secara formal dan harfiah, maka, misalnya, praktik perbudakan masih bisa diterapkan di sini dan sekarang. Bagaimana menyikapi ayat “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki (al-Mukminun: 5-6, juga al-Ma’arif: 29-30)?
Bukan perbudakannya, tapi semangat al-Qur’an-lah dan Sunnah yang membebaskan budak-budak dan menjadikan pembebasan budak sebagai kebajikan, itulah norma yang universal yang relevan dan diwujudkan di sini dan sekarang.
Jika Islam Kaffah semata-mata dalam hal bentuk, maka pembagian warisan, poligami, hukum qishash, jihad dalam arti qital atau perang dalam beberapa ayat, transaksi ekonomi dengan mata uang dinar, dan berbagai rincian lain dalam al-Qur’an dan kebanyakannya dalam kitab-kitab hadis dan fiqih itu (baca misalnya Kitab Fiqh Al-Sunnah karya As-Sayyid Sabiq, jilid 2, bab al-jinayat, al-jihad, al-jizyah, al-ghana’im), maka itu semua wajib diterapkan, dan tanpa pilih-pilih.
Jika “Islam Kaffah” mengikuti ijma’ sahabat, maka ijma’ sahabat yang manakah yang harus diterapkan di sini dan di zaman kita sekarang dan ijma’ mana yang sudah tidak relevan lagi? Bagaimana dengan beberapa kaum Syiah yang tidak menerima banyak sahabat dan hanya menerima hadis dari jalur-jalur mereka sendiri? Apakah Islam Kaffah tidak memasukkan golongan-golongan selain golongan yang mereka anggap Ahlus Sunnah?
Jika kita membaca kumpulan hadis Bukhari dan Muslim, misalnya, kita akan dapati betapa sulitnya kita, sebagai Muslim di Indonesia, Saudi, Iran, atau di Amerika saat ini, menjalankan semua isi hadis-hadis itu dalam bentuk praktiknya persis seperti dulu. Banyak sekali rincian yang tidak lagi relevan, dan kita, tidak sadar atau sadar, menjadikan hadis-hadis ini sebagai hapalan atau rujukan pengetahuan dan bacaan tanpa tahu atau mau atau bisa menjalankannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Rincian-rincian yang termuat dalam kitab-kitab hadis–apakah yang Sunni atau yang Syiah atau yang tidak terkait langsung dengan mazhab teologis tertentu–tidak semuanya bisa diterapkan, dan memang tidak semuanya dianjurkan, apalagi diwajibkan, untuk diterapkan secara tekstual, literal, atau harfiah.
Kenyataan bahwa al-Qur’an tidak memuat secara tegas dan eksplisit tentang sistem negara seharusnya membuat mereka berpikir bahwa sistem politik bukan sistem yang universal; bukan sistem yang wajib diwujudkan setiap waktu dan tempat; bukan sistem yang menyangkut masalah fundamental (aqidah dan ibadah) jika kita ikut kategorisasi Islam arus utama itu.
Sarjana dan mujtahid Islam perlu mempelajari ayat-ayat al-Quran, Sunnah, dan juga ayat-ayat sosial, sejarah, dan alam semesta. Perlu diakui, banyak umat non-Muslim lebih maju dalam membaca ayat-ayat sosial, sejarah, dan alam semesta itu. Ulama dan umat Islam harus berpikir dan berijtihad menemukan mana yang universal dan mana yang partikular, mana nilai-nilai dalam rincian-rincian doktrin dan praktik di tempat asing dan di waktu dulu itu.
Kenyataan lain, pejuang Islam Kaffah yang meliputi sistem ekonomi, politik, sosial, dan semua aspek kehidupan, ternyata tidak benar-benar hidup dalam sistem yang terpisah dari sistem global dan wilayah di mana mereka hidup dan berkiprah sepanjang tahun mereka.
Islam Kaffah tidak perlu diartikan sebagai mencukur kumis dan memelihara jenggot, memakai hijab ala istri-istri Nabi, menyikat gigi dengan siwak, memakan kurma, dan sisi-sisi lain itu, yang bisa diterapkan dan bisa juga tidak diterapkan.
Islam Kaffah yang lebih tepat menurut pemahaman al-Qur’an adalah Islam yang terpadu dalam keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Islam yang tidak hanya mengutamakan aspek spiritual tapi juga aspek material, Islam yang mengutamakan ilmu pengetahuan (az-Zumar: 9; yang tidak membeda-bedakan asal usul ilmu pengetahuan dan teknologi, dari timurkah, atau dari baratkah, dari selatan atau dari utarakah), Islam yang memadukan masa lalu, masa sekarang dan masa depan, Islam yang mengakui dan menghargai tempat di mana umat Islam berpijak.
Islam Kaffah adalah Islam yang memperjuangkan nilai-nilai yang menyeluruh seperti keadilan, kemanusiaan, dan keragaman umat manusia dan alam semesta. Islam Kaffah adalah Islam yang mengutamakan keyakinan dan akhlak atau perilaku yang mengasihi sesama Muslim dan semua umat manusia, tumbuhan, hewan, dan alam semesta.
Islam Kaffah bukan berarti tidak kritis terhadap sistem-sistem yang berlaku di zaman sekarang seperti demokrasi, kapitalisme, neo-imperialisme, sosialisme, Pancasila, UUD 1945, dan sebagainya. Gagasan dan sistem ini pun tidak tunggal dan tidak tetap. Umat Islam, pada gagasan dan kenyataan mereka saat ini, memahami dan menjalankan sisi-sisi tertentu saja dari demokrasi, kapitalisme, dan sosialisme, sebagaimana juga sisi-sisi dari syariah Islam, sadar atau tidak, eksplisit atau tidak.
Islam Kaffah seharusnya berarti Islam yang mensetarakan setiap insan, terlepas dari orientasi jender mereka, setiap mereka menanamkan dan menjalankan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Mengenai “barat” sebagai lawan, barat bukanlah entitas yang tunggal. Kristen tidak tunggal. Yahudi tidak serupa. Kapitalisme tidak tunggal. Sosialisme tidak tunggal. Keberagamaan Islam pun tidak satu. Umat Islam pun, meskipun disebut umat Islam, tidaklah tunggal. Islam Kaffah bukan berarti menolak belajar dari berbagai sumber ilmu dan teknologi. Islam Kaffah bukan berarti tidak mau berdialog, saling belajar, saling memperkaya, dan bahkan bekerja sama.
Yang juga disayangkan, Islam sebagai sikap hidup yang inklusif menjadi terpinggirkan oleh sebagian gerakan Islam Kaffah ketika ia diwujudkan dengan menolak pemahaman Islam lainnya yang dituduh “tidak kaffah” karena mereka menerima demokrasi atau republik.
Gerakan Islam Kaffah pun menjadi salah satu golongan saja di kalangan umat Islam, sedangkan umat-umat Islam lainnya dianggap sebagai “yang lain”. Gerakan Islam Kaffah menjadi gerakan mengkafir-kafirkan dan menyesat-nyesatkan golongan-golongan atau individu-individu Muslim lain yang berbeda pemahamannya atau berbeda strategi perjuangannya.
Pejuang Islam Kaffah tidak bisa meninggalkan perintah ayat al-Qur’an yang terang benderang “lita’arafu” (Q.S. al-Hujurat: 13), untuk saling kenal mengenal antara suku dan bangsa. Pendukung slogan Islam Kaffah juga tidak bisa melupakan perintah untuk fastabiqul khairat (berkompetisi dalam kebaikan-kebaikan, al-Baqarah: 148). Kebaikan (khairat dan ma’ruf) itu tidak tunggal, bukan milik orang Islam saja, tapi kebajikan itu majemuk, beragam, dan ada di mana dan dari mana saja.
Singkatnya, Islam Kaffah yang lebih tepat adalah pemaknaan dan perwujudan Islam yang menyeluruh dalam nilai-nilai dan prinsip-prinsip, seperti keadilan (an-Nahl: 90; an-Nisa: 58), perdamaian (al-Anfal: 61), keamanan (al-Nur: 55), kesejahteraan (an-Nisa: 9), bukan semata-mata dalam bentuk lahiriah, formal, atau aspek-aspek instrumental yang bisa berubah sesuai perkembangan waktu dan tempat.
Pada kenyataannya, setiap Muslim, setiap manusia, selalu memilih mana yang cocok dan membuang mana yang tidak cocok. Selalu mencampur banyak hal dari berbagai sumber, terlepas dari klaim-klaim identitas yang seolah-olah hanya memakai sistem dan produk dari umat seagama kita saja, seolah-olah kita tidak pernah dan tidak menggunakan gagasan dan sistem lain dalam kehidupan nyata kita.
Menggunakan penanggalan 11 Agustus 2017 dalam buletin ini menunjukkan bahwa Islam Kaffah mereka pun harus menggunakan sistem penanggalan Masehi (Yesus Kristus) yang sudah lama mengglobal. Salah satu bentuk konkrit kebudayaan yang hibrid, yang sering kita tidak mau mengakui dan menghargainya.
Baca juga:
Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir