Ketika wacana “Islam Nusantara” ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu, banyak kalangan yang nyinyir dengan menuduh “Islam Nusantara” sebagai ekspresi antipati terhadap Arab. Benci terhadap orang Arab, budaya Arab, pokoknya segala sesuatu yang berbau Arab. “Islam Nusantara” juga dianggap mengkotak-kotakkan Islam, bahkan dicurigai sebagai strategi baru dari Barat, Zionis, Jaringan Islam Liberal (JIL), dll, untuk menghancurkan Islam dari dalam. Islam ya Islam. Titik.
Tuduhan terhadap Islam Nusantara tersebut umumnya datang dari kaum Islamis yang meyakini bahwa Islam adalah ajaran yang kaffah, menyeluruh, mengatur baik kehidupan privat maupun publik. Semua sudah ada ketentuannya dalam al-Qur’an. Juga sudah ada rincian teknisnya dalam hadis. Di mata mereka, Muslim harus tunduk sepenuhnya pada nash, teks Al-Quran dan Sunnah secara literal dan harfiah, karena nash adalah sesuatu yang ta’abbudi (harus ditaati begitu saja) sebab berasal dari Allah dan Rasul.
Bagi mereka, nash bersifat permanen, tunggal, dan mengatasi sejarah, ruang, dan waktu. Bagi mereka, tidak mungkin ada banyak Islam, meskipun umat Islam hidup dalam beragam konteks. Lebih jauh, latar belakang dunia Arab yang merupakan konteks tempat Nabi hidup dianggap sama abadi dan universalnya dengan Islam. Akibatnya, kemurnian Islam disamakan dengan ekspresi Arab dalam Islam. Unsur-unsur budaya non-Arab yang mewarnai Islam akan mudah dituding sebagai penyimpangan.
Bahwa Islam adalah ajaran yang kaffah, meliputi segala aspek kehidupan, saya sepakat. Persoalannya, apakah watak komprehensif Islam tersebut niscaya berarti ketundukan harfiah terhadap nash dan peng-copy-an terhadap latar belakang dunia Arab yang merupakan konteks di mana Nabi Muhammad hidup? Apakah Islam kaffah identik dengan Arabisasi?
Ataukah ke-kaffah-an Islam justru tampil dalam ekspresinya yang beragam, sesuai dengan konteks historisnya yang beragam pula?
Di sini kita berhadapan dengan situasi yang oleh Ibn Rusyd dalam pengantar kitabnya, Bidayatul Mujtahid, dirumuskan sebagai ketegangan antara al-nushush al-mutanahiyah dan al-waqa’i ghair al mutanahiyah (Nash atau teks syariah yang terbatas, selesai di satu sisi, dan lahirnya ragam peristiwa/kenyataan baru yang bersifat tak terbatas, tak habis-habis) di sisi lain. Dan kemunculan al-waqa’i’ ghair al-mutanahiyah tersebut terjadi karena adanya konteks ruang dan waktu yang baru yang berbeda zaman Nabi.
Misalnya konteks Indonesia di era sekarang. Umat Islam Indonesia hidup pada suatu masa yang terpaut ribuan tahun lamanya dari era Nabi, dan berada di suatu wilayah yang bukan hanya ratusan ribu kilometer jauhnya dari tanah Arab, tempat asal Nabi, melainkan juga mempunyai karakteristik budaya, sejarah, dan tradisi yang berbeda sama sekali dari Arab.
Realitas keindonesiaan abad ke-21 adalah konteks baru yang membuka peluang bagi lahirnya persoalan-persoalan baru terkait hukum Islam, yang bisa jadi tidak bisa ditemukan rujukannya secara eksplisit dalam sumber-sumber hukum Islam. Berhadapan dengan situasi semacam itu, bagaimana ke-kaffah-an Islam mesti dirumuskan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita menengok kembali gagasan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tentang pribumisasi Islam, yang nota bene merupakan manifesto bagi Islam Nusantara. Bagi Gus Dur, keragaman konteks historis Islam meniscayakan adanya kontekstualisasi Islam, bukan untuk mengubah doktrin Islam, tapi untuk membumikan ajarannya agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat Muslim itu sendiri. Karena itulah ia dengan tegak menolak pengidentikan Islam dengan Arab.
Dalam rumusan Gus Dur, “Bahaya dari proses Arabisasi atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan.”
Patut dicatat, pribumisasi Islam “tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam.” Selain itu, pribumisasi Islam tidak lantas menempatkan Islam dalam subordinasi budaya dan tradisi, tidak pula melakukan “Jawanisasi” atau sinkretisme. Tujuannya adalah bagaimana agar Islam “dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya,” dan bagaimana agar kebutuhan-kebutuhan lokal dipertimbangkan dalam merumuskan hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.
Dengan kata lain, pribumisasi Islam a la Gus Dur tidak bergerak dalam penciptaan hukum, melainkan dalam penerapannya. Dalam pandangan Gus Dur, pribumisasi Islam adalah dialektika antara nash dengan konteks yang berbeda dan berubah. Dan dialektika semacam ini terjadi sepanjang sejarah Islam. Gus Dur menulis:
“Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah ini membentuk sebuah sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cabangan sehingga sungai ini semakin membesar. Bergabungnya kali baru, berarti masuknya air baru yang menambah warna air yang telah ada. Bahkan pada tahap berikutnya, aliran sungai ini mungkin terkena ‘limbah industri’ yang sangat kotor. Tapi toh, tetap merupakan sungai yang sama dan air yang lama. Maksud dari perumpamaan ini adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah merubah Islam, melainkan hanya merubah manifestasi dari kehidupan agama Islam.”
Pribumisasi Islam dan Prinsip Maslahat
Bagaimana Gus Dur bisa sampai pada gagasan pribumisasi Islam? Ini tak lepas dari asumsi konseptual Gus Dur yang bertolak dari Ushul Fiqh dan Qaidah Fiqh, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindarkan kemafsadatan, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Menurut Imam al-Ghazali, yang dimaksud dengan “maslahat” adalah upaya menjaga dan memelihara lima prinsip pokok yang bersifat universal (al-Kulliyyat al-Khams): (1) Hifzh al-Din (perlindungan terhadap agama/keyakinan, (2) Hifzh al-Nafs (perlindungan terhadap hak hidup, (3) Hifzh al-‘Aql (perlindungan terhadap hak berpikir), (4) Hifzh al-Nasl (perlindungan terhadap hak-hak reproduksi, dan (5) Hifzh al-Mal (perlindungan terhadap hak-hak milik).
Lima prinsip pokok ini lazim disebut sebagai maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan syariah). Singkatnya, segala sesuatu yang merealisasikan terjaganya tujuan-tujuan syariah tersebut merupakan “masalahat.” Sebaliknya, apa pun yang merusak dan menegasikannya disebut “mafsadah.”
Karena tujuan syariah adalah terciptanya kemaslahatan dunia dan akhirat, ia niscaya berwatak komprehensif: aturannya bukan hanya mencakup ranah hubungan manusia dengan Allah melainkan juga ranah hubungan manusia dengan manusia. Namun perlu segera ditegaskan, terdapat perbedaan dalam hal bagaimana kaum muslim mencapai kemaslahatan pada dua domain tersebut. Imam Izzuddin bin Abd al-Salam berkata:
فيما تعرف به مصالح الدارين ومفاسدها
أما مصالح الآخرة وأسبابها، ومفاسدها وأسبابها، فلا تعرف إلا بالشرع، فإن خفي منها شيء طلب من أدلة الشرع، وهي : الكتاب، والسنة، والإجماع، والقياس المعتبر، والإستدلال الصحيح.
وأما مصالح الدنيا وأسبابها، ومفاسدها وأسبابها، فمعروفة بالضرورات والتجارب والعادات والظنون المعتبرات، فإن خفي شيء من ذلك طلب من أدلته.
Tentang apa yang diketahui mengenai kemaslahatan dan kemafsadatan dunia dan akhirat. Kemaslahatan akhirat dan sebab-sebabnya, dan kemafsadatan akhirat dan sebab-sebabnya, keduanya tak bisa diketahui kecuali melalui syariat. Apabila ada yang tersamar/tidak jelas, maka kita mesti mencari patokannya dalam dalili-dalil syara’: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas yang bisa dipertanggungjawabkan, dan proses istidlal secara valid. Adapun kemaslahatan dunia, dan sebab-sebabnya, juga kemafsadatan dunia dan sebab-sebabnya, maka itu semua bisa diketahui berdasarkan keadaan darurat/kemestian, pengalaman/praktik dalam dunia nyata, adat/ budaya, dan dugaan-dugaan yang bisa dipertanggungjawabkan. Apabila ada yang tersamar, maka dicari patokannya dari dalil-dalil tersebut.
Dari kutipan di atas kita bisa menyimpulkan, baik kemaslahatan akhirat maupun kemaslahatan dunia sama-sama terangkum dalam bingkai Syariah. Tapi pada saat yang sama, Syariah juga mengakui adanya perbedaan dalam cara pengaturan keduanya. Masalahat untuk urusan akhirat mempunyai mekanisme pengaturan yang tidak sama dengan mekanisme pengaturan maslahat untuk urusan dunia.
Menurut Izzuddin bin Abd al-Salam, kemaslahatan akhirat hanya bisa diketahui melalui dalil-dalil syar’i, yakni Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dn Qiyas. Sedangkan kemalashatan dunia bisa diketahui dengan bersandar pada “keadaan darurat/kemestian, pengalaman/praktik dalam dunia nyata, adat/ budaya, dan dugaan-dugaan yang bisa dipertanggungjawabkan.” Artinya, masalahat dunia sesungguhnya bisa dirumuskan dan dikelola oleh akal budi manusia sendiri, misalnya melalui local wisdom, adat istiadat, tradisi dan pengalaman praktis yang dilakukan sendiri oleh masyarakat.
Dengan kata lain, penerapan aturan hukum dalam Islam ditakar dari seberapa jauh hukum tersebut menciptakan maslahat, yakni realisasi lima prinsip universal yang menjadi tujuan syari’ah seperti sudah disebutkan di atas.
Dengan menjadikan maslahat sebagai standar acuan, maka penerapan hukum ta melulu tekstual, tapi juga kontekstual. Terbuka peluang bahwa keputusan hukum dalam satu tempat bisa saja berbeda dengan keputusan hukum tentang perkara yang sama di tempat lain. Dan bisa saja keputusan hukum di suatu masa bisa berbeda dengan keputusan hukum tentang kasus yang sama di zaman yang lain.
Di samping itu, kalkulus pertimbangan tentang ada tidaknya kemaslahatan dan kemafsadatan membawa implikasi bahwa setiap putusan hukum harus mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal masyarakat. Karena itulah, penerapan syariah yang berporos pada prinsip maslahat senantiasa mengakomodir budaya setempat, sejauh budaya tersebut tak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Ini dirumuskan dalam sejumlah kaidah fiqh.
Misalnya, al-‘adah muhakkamah (adat kebiasaan dijadikan panduan penetapan hukum). Juga kaidah “al-tsabit bi dalalah al-‘urf ka al-tsabit bi dalalah al-nash” (Apa yang ditetapkan dengan dalil berdasar adat sama absahnya dengan yang ditetapkan berdasarkan petunjuk nash).
Pada titik inilah letak signifikansi ide Gus Dur tentang “pribumisasi Islam” yang menekankan pentingnya menjadikan ‘urf (adat, budaya) dan kebutuhan lokal sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam. Budaya dan kebutuhan lokal masyarakat Indonesia, misalnya, harus menjadi pertimbangan utama bagi Muslim Indonesia, bukan budaya Arab. Perbedaan dalam soal adat dan budaya dengan adat dan budaya Arab zaman Nabi dan Sahabat tak dilihat sebagai penyimpangan atau bid’ah. Ini sejalan dengan penegasan Imam Syathibi dalam Al-I’tisham:
وأيضا إن عدّوا كل محدثات العادات بدعة، فليعدّوا جميع ما لم يكن فيهم من المآكل والمشارب والملابس والكلام والمسائل النازلة التي لا عهد بها في الزمان الأول بدعا، وهذا شنيع، فإن من العوائد ما تختلف بحسب الأزمان والأمكنة والإسم، فيكون كل من خالف العرب الذين أدركوا الصحابة واعتادوا مثل عوائدهم، غير متبعين لهم، هذا من المستنكر جدا.
Juga apabila mereka menganggap hal-hal yang baru dalam tradisi/ adat sebagai bid’ah, maka apa sajadalam soal makanan, minuman, pakaian, perbincangan dan masalah-masalah yang muncul yang tidak ada pada zaman awal Islam lantas semuanya dianggap sebagai bid’ah; dan ini adalah suatu pandangan yang sama sekali keliru. Karena tiap adat istiadat itu mengalami perbedaan berdasar waktu, tempat, dan nama.
Kalau semua itu dianggap bid’ah, maka siapa pun yang menyelisihi masyarakat Arab yang hidup pada masa Sahabat dan yang menjalankan tradisi mereka lantas dianggap sebagai orang yang tidak ittiba’ (tidak mengikuti) generasi awal Islam, tentu ini pandangan yang tak bisa diterima.
Hal lain yang perlu dicatat menyangkut pribumisasi Islam dan juga Islam Nusantara, keduanya bergerak dalam wilayah garapan al-mutaghayyirat (aturan-aturan yang bisa berubah dalam ajaran Islam). Ini untuk membedakannya dengan al-Tsawabit (aturan-aturan yang permanen dalam ajaran Islam).
Yang masuk dalam kategori tsawabit adalah wilayah aqidah dan ubudiyah (ritual). Prinsip tauhid, iman kepada Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, dan percaya pada hari pembalasan merupakan hal yang baku dan tidak berubah-ubah sepanjang masa dan di manapun. Sementara hukum-hukum yang bisa berubah (al-mutaghayyirat) terletak dalam wilayah relasi manusia dengan manusia, yang lazim disebut mu’amalat.
Bidang ini meliputi aturan-aturan mengenai hubungan manusia dalam keluarga, sosial, ekonomi, politik, dan pergaulan antar bangsa. Selain mu’amalat, hukum-hukum yang bisa berubah juga terdapat dalam wilayah al-awa’id (adat dan budaya).
Dengan kerangka berpikir di atas, bisa kita katakan bahwa dalam Islam, urusan aqidah dan ritual harus mengikuti secara persis aturan-aturan syariah, tanpa boleh ditambah, dikurangi, atau dimodifikasi. Aturan-aturan tersebut bersifat permanen, kapan pun dan di mana pun. Dalam ranah ini, taka da ruang gerak bagi pribumisasi Islam. Sedangkan dalam dalam ranah mu’amalah dan adat budaya, nash (teks syariah) tidak mengatur detail-detail masalah dan hukum-hukumnya, melainkan lebih menetapkan dasar-dasarnya (mabadi) saja.
Mu’amalat dan awa’id adalah dimensi hukum Islam yang paling luas, sekaligus dinamis dan berpotensi berubah seiring dengan berubahnya waktu, tempat, dan kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Dan pada ranah inilah pribumisasi Islam menjadi keniscayaan. Dirumuskan dengan cara lain, sementara urusan ritual menempatkan nash syariah sebagai titik berangkatnya, urusan budaya menjadikan syariah sebagai garis pembatasnya. Dalam ranah budaya, apa pun boleh sejauh tak melanggar syariah. Dalam soal-soal kehidupan dunia, semua boleh selama tak ada dalil yang melarangnya.
Demi Islam yang Mudah dan Jembar
Pribumisasi Islam ala Gus Dur bertolak dari asumsi bahwa menimbang budaya setempat dalam menerapkan hukum merupakan suatu kebutuhan masyarakat Islam sendiri dalam menjalankan agamanya. Mengapa demikian? Saya kira ini berkaitan dengan karakter agama itu sendiri yang mudah, ringan, dan jembar, dan bukannya menyusahkan, memberatkan, dan menyempitkan.
Bukankah Tuhan sendiri menegaskan bahwa agama diturunkan pada manusia demi mempermudah kehidupannya, bukan mempersulitnya? Bukankah agama hadir untuk meringankan, bukan memberatkan? Ini dirumuskan dengan baik oleh Imam Ibnu Abidin Asy-Syami (1783-1836), mufti agung Damaskus bermazhab Hanafi pada masa Turki Utsmani:
فكثير من الأحكام تختلف باختلاف الزمان، لتغير عرف أهله، ولحدوث ضرورة،بحيث لو بقي الحكم على ما كان عليه، للزم منه المشقة والضرر بالناس، ولخالف قواعد الشريعة المبنية على التخفيف والتيسير ودفع الضرر والفساد، لبقاء العالم على أتم النظام، وأحسن أحكام.
“Banyak aturan-aturan hukum Islam yang mengalami perubahan dengan berubahnya zaman, karena adanya perbedaan ‘urf (adat, tradisi) masyarakatnya, dan karena keadaan tak terelakkan (dlarurat). Kalau dalam situasi seperti itu hukum yang berlaku tetap sama seperti sebelumnya, maka itu akan menimbulkan hal yang memberatkan dan merugikan manusia, yang justru bertentangan dengan pilar-pilar syariah yang didasarkan pada prinsip mempermudah, meringankan, dan mencegah kemudaratan dan kerusakan, karena tetapnya tatanan semesta bergantung pada sempurnanya tatanan dan bagusnya hukum-hukumnya.”
Pernyataan Imam Ibnu ‘Abidin di atas adalah penegasan tentang mengapa kontekstualisasi hukum Islam justru merupakan hal yang niscaya dari perspektif hukum Islam sendiri. Karena kalau konteks zaman berubah tapi aturan-aturan agama yang mestinya fleksibel dibiarkan membeku dalam masa lalu, yang muncul justru “hal yang memberatkan dan merugikan manusia, yang justru bertentangan dengan pilar-pilar syariah yang didasarkan pada prinsip mempermudah, meringankan, dan mencegah kemudaratan dan kerusakan.”
Dalam arti inilah letak signifikansi makna “pribumisasi” dalam “pribumisasi Islam” dan ajektif “Nusantara” pada Islam Nusantara. Poin utamanya bukan kebencian terhadap Arab dan antipasti terhadap budaya Arab, melainkan kesadaran bahwa ber-islam secara kaffah tak lantas berarti mengganti tradisi sendiri dengan tradisi Arab, atau kembali ke sistem khilafah. Karena itu sama saja dengan mempermanenkan hal yang mestinya fleksibel, yang justru menampilkan keislaman yang sumpek dan menyusahkan, bukannya keislaman yang jembar dan memudahkan.
Tatanan sosial dan politik Abad Pertengahan seperti khilafah bisa jadi membawa maslahat pada masanya, tapi kalau diterapkan pada masa sekarang justru bisa mengakibatkan hal yang sebaliknya.
Walhasil, pribumisasi Islam adalah cara Muslim menerapkan ajaran Islam dengan kesadaran akan pentingnya konteks di mana ia hidup, karena dengan kesadaran itulah ia bisa merealisasikan tujuan syariah. Upaya memperhatikan konteks setempat dan semangat zaman adalah demi memastikan bahwa maslahat sebagai tujuan syariah betul-betul membumi.
Dilihat dengan cara demkian, pribumisasi islam dan Islam Nusantara sejatinya justru merupakan manifestasi dari Islam kaffah, yakni Islam yang komprehensif dan menyeluruh. Pada saat yang sama, Islam Nusantara juga membuktikan bahwa Islam adalah ajaran yang shalihun li kulli zaman wa makan (cocok untuk seluruh masa dan tempat).
Wallahu a’lam bi al-shawab.
*Tulisan ini merupakan revisi atas makalah diskusi “Gus Dur dan Pribumisasi Islam,” Forum Jumat Pertama Gusdurian, Aula Griya Gus Dur, Jakarta, 3 Maret 2017.