Senin, Mei 6, 2024

Islam dalam Sepotong Khutbah di PBB

Imam Shamsi Ali
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
Imam Shamsi Ali

Saya barangkali bisa memberikan titel pada diri saya sebagai veteran khatib Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saat ini saya adalah khatib terlama di ibadah Jumatan yang dilakukan setiap pekan di kantor pusat PBB, New York.

Ada empat khatib yang bergiliran setiap Jumatnya. Jika di bulan itu ada Jumat kelima, pengurus akan mengundang khatib tamu. Jamaahnya berkisar 400-an orang, yang meliputi para diplomat negara-negara Islam, pegawai kantor PBB, maupun tamu-tamu yang datang bersidang di PBB. Saya telah menjadi khatib di kantor organisasi dunia sejak tahun 1998 silam, dengan jadwal Jumat keempat setiap bulannya.

Jumat pekan lalu (28 Juli), sekembali dari Indonesia, saya kembali mendapat giliran khutbah. Sesungguhnya ragam tema di kepala saya yang ingin saya sampaikan. Tapi pada akhirnya saya melepaskan diri dari belenggu tema-temaan, dan menyampaikan khutbah saya secara lepas tanpa tema tertentu. Tentu tujuannya agar saya bisa menyampaikan isu-isu yang ragam.

Hal pertama yang sampaikan adalah mengingatkan kembali betapa “syukur” itu menjadi kata kunci dalam kesuksesan manusia. Kesuksesan sesungguhnya tidak ditentukan oleh bentuknya. Tapi bagaimana sikap yang mengikutinya. Sukses dalam bisnis hanya akan sukses ketika kesuksesan itu diikuti oleh kesyukuran. Keberhasilan seseorang dalam bisnis tanpa syukur akan melahirkan “ketidakpuasan” yang tiada ujung.

Dalam mensyukuri hidup ini minimal ada dua tingkatan nikmat yang perlu disadari. Pertama, nikmat Allah karena kita terpilih menjadi makhlukNya yang bernama manusia. Makhluk Allah yang paling sempurna (ahsan taqwiim) dan dengan bentukan terindah (ahsana shuwarakum).

Kedua, dipilihnya kita sebagai hamba-hambaNya yang beriman. Kata “iman” sejatinya dalam perspektif Islam adalah “hidup” itu sendiri. Dan, karenanya, manusia tanpa iman adalah manusia yang hidup dalam kepura-puraan. Karena hidup ditentukan oleh karya dan kreasi manusia. Sementara karya dan kreasi manusia itu akan ditentukan oleh imannya. Dengan demikian, hidup yang sejati adalah hidup yang terbangun di atas iman.

Isu Al-Quds

Hal kedua yang saya ingatkan adalah isu Palestina dan secara khusus keadaan mutakhir di Yerusalem. Saya tidak lagi tertarik menyampaikan pentingnya Al-Aqsa dan Masjid Al- Aqsa dalam pandangan Islam. Saya kira semua hadirin pun tahu hal itu.

Justru yang saya tekankan pada kesempatan itu adalah bagaimana kewajiban setiap orang itu menjadi lebih berat ketika di hadapan mata kita terjadi pelanggaran yang nyata. Karenanya, saya menekankan siapa pun kita dan dalam kapasitas apa pun berkewajiban melakukan sesuatu bagi kemerdekaan kemerdekaan Palestina dan pembebasan Masjid Al-Aqsa.

Kewajiban ini memiliki tiga tingkatan. Pertama, tanggung jawab kemanusiaan karena setiap manusia secara fundamental memiliki hak untuk merdeka. Kemerdekaan adalah hak asasi manusia yang paling mendasar.

Kedua, tanggung jawab persaudaraan (mas-uliyah akhawiyah). Bahwa umat ini adalah bersaudara dan bagaikan satu tubuh. Kezaliman yang terjadi di sebuah tempat atau negeri adalah kezaliman yang terjadi kepada kita semua.

Ketiga, tanggung jawab akhirat (mas-uliyah ukhrawiyah). Bahwa mau atau tidak, sadar atau tidak, semua yang punya posisi dan kapasitas untuk memperjuangkan kemerdekaan ini tapi tidak sungguh-sungguh, bahkan sekadar menjadikannya alat kepentingannnya, akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Dengan pertimbangan di atas tidak seorang pun bisa berpangkutangan dan merasa lepas tanggung jawab. Kalaupun tidak merasa terikat secara iman, karena mungkin saja merasa iman adalah urusan pribadi (karena pandangan sekuler), maka tanggung jawab itu tetap ada sebagai manusia. Dan apalagi ketika berbicara akhirat, akankah ada yang terlepas dari tanggung jawab ini?

Self Development

Hal ketiga yang saya sampaikan adalah bahwa hal terbaik untuk mendapatkan hak-hak keumatan kita adalah dengan kembali kepada diri kita sendiri (be our selves). Sudah terlalu lama umat ini bertumpu pada orang lain. Mengharap belas kasih dari orang lain. Jika sakit mengharap kesembuhan dari orang lain. Jika miskin mengharap donasi orang lain.

Sikap seperti ini pula yang melahirkan sikap mudah “mengkambinghitamkan” orang lain. Seolah semua masalah yang ada pada umat ini karena memang rancangan orang lain. Anak kita sakit gara-gara “mereka”. Anak kita tidak kunjung sembuh gara-gara obat mereka tidak becus. Intinya: umat ini begitu cepat menyalahkan orang lain di saat menghadapi masalah.

Haruskah demikian? Jawabannya tidak demikian.

Justru yang harus dilakukan oleh umat ini adalah sebagai berikut: Kesatu, harus ada keberanian untuk melakukan “self criticism” (mengoreksi diri sendiri). Jangan pernah merasa bahwa dengan mengaku umat Islam kita menjadi sempurna.

Islam itu sempurna. Tuntunan ajaran Muhammad SAW itu indah dan sempurna. Tapi kita adalah manusia-manusia yang punya batas dalam mengikuti kesempurnaan itu. Dan karenanya sudah pasti kita memilki berbagai kekurangan. Intinya: umat harus berani melakukan introspeksi dan mengoreksi diri sendiri.

Perhatikan, misalnya, Al-Quran mengatakan: “orang berikan itu bersaudara”. Bagaimana keadaan umatnya?

Al-Qur’an mengatakan: “berpegang teguhlah kamu semua ke tali agama Allah”. Bagaimana umatnya?

Al-Qur’an mengatakan: “berbuat adillah karena keadilan itu dekat kepada ketakwaan”. Bagaimana umatnya?

Maka, wahai umat Islam, bangkit dan sadari akan kesalahan-kesalahan kita sendiri. Jangan silau dengan kebaikan, bahkan jangan terlalu peduli dengan kekurangan orang lain. Judge your selves before being judged by others!

Kedua, harus ada keberanian untuk melakukan “self change” (mengubah diri sendiri). Umat ini tidak perlu menunggu orang lain untuk mengubahnya. Kita memiliki kapasitas untuk melakukan perubahan diri ke arah yang lebih baik. Sumber daya manusia yang luar biasa. Sumber daya alam yang luar biasa. Tapi yang terpenting kita memiliki petunjuk “samawi” untuk itu.

Keterbelakangan hampir dalam segala bidang seharusnya segera dibalik dengan energi “samawi” menjadi kemajuan dalam segala bidang. Bukankah al-Qur’an memacu umat ini untuk sukses? Kata-kata “la’allakum tuflihuun” (agar kamu sukses) berulang kali ditekankan dalam al-Qur’an.

Ketercabikan dalam kesatuan dan persatuan segera dibalik menjadi persatuan dan persaudaraan yang solid berdasarkan: “innamal mu’minuuna ikhwah”. Tidak ada acuan yang lebih indah dalam kesatuan dan kebersamaan dari ajaran agama ini.

Pertanyaannya, apakah umat ini mau berubah? “Sungguh Allah tidak mengubah nasib sebuah bangsa hingga bangsa itu mengubah nasibnya sendiri”.

Ketiga, harus ada keberanian untuk menembus dinding kesalehan pribadi (individual righteousness) ke kesalehan kolektif (collective righteousness).

Islam bukan sekadar agama individu, tapi juga agama yang datang menuntun manusia dalam hidup sosialnya. Karenanya, kesalehan kolektif mutlak terbangun beriringan dengan pembangunan kesalehan pribadi.

Kalau kesalehan pribadi itu memang bersifat pribadi, kesalehan kolektif itu tidak mengenal batas-batas kemanusiaan. Mungkin saya juga menyebutnya sebagai kesalehan universal.

Kesalehan pribadi bersifat: lakum diinukum wa liya diin (agamamu-agamamu. Agamaku agamaku). Tapi kesalehan kolektif adalah kesalehan kita bersama.

Kesalehan kolektif inilah sesungguhnya yang disebut dengan bahasa modern sebagai “peradaban”. Dan peradaban Islam itu adalah peradaban yang dirindukan oleh semua manusia. Karena semua manusia mau maju, damai, dan berkeadilan. Dan itu pulalah cita-cita tertinggi sekaligus kewajiban keumatan kita yang terbesar. Membangun peradaban alternatif yang didambakan oleh semua manusia.

Dan itulah makna: “dan tidaklah Kami utus kamu wahai Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”.

Hanya dengan ini pula umat akan kembali ke posisi sejatinya sebagai umat terbaik (khair ummah). Dengan situasi saat ini umat harusnya menjadi malu untuk mengakui titel itu. Wallahul musta’aan!

New York, 28 Juli 2017

Baca juga:

Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?

Sejarah Perbedaan Pendapat dalam Islam

Para Imam Mazhab di Tengah Perbedaan Pendapat

Imam Shamsi Ali
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.