Jumat, April 19, 2024

Indonesia dan Mitos Muslim Terbesar di Dunia

Ali Romdhoni
Ali Romdhoni
Pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China. Pengurus Cabang Istimewa NU Tiongkok.
Ribuan umat Islam melakukan zikir dan doa bersama saat Aksi Bela Islam III di kawasan silang Monas, Jakarta, Jumat (2/12). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

Saya merasa senang bila bertemu dengan teman-teman sesama mahasiswa dari negara-negara berpenduduk Muslim, seperti Mesir, Pakistan, India, Yaman, Sudan, Syria, Bangladesh, dan lainnya. Biasanya, selain sekadar bertegur sapa, kami membicarakan dinamika masyarakat di negara masing-masing.

Tidak ketinggalan, pembicaraan kami sampai kepada problem umat Islam di banyak negara akhir-akhir ini. Ketika sampai pada pembahasan ini, mereka mengakui bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia.

Mereka semakin terkaget-kaget ketika saya tegaskan lagi bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, namun memiliki jumlah umat Islam yang sangat besar. Jumlahnya sekitar 225,25 juta Muslim, atau 87,2 persen dari total penduduk Indonesia (258,32 juta jiwa). Maka, bertambah kagumlah mereka.

Dalam situasi seperti ini, saya sangat menikmati kekaguman mereka atas predikat yang disematkan kepada bangsa Indonesia, terlebih kepada kaum muslimnya. Namun, belum selesai saya merasakan kemenangan atas pengakuan anak-anak dari negara-negara Islam itu, tiba-tiba salah seorang dari mereka mengajukan pertanyaan kritis. “Apa prestasi Muslim Indonesia sebagai yang terbesar di dunia. Adakah kontribusi yang diberikan bagi problem masyarakat kontemporer saat ini,” tanya salah seorang dari mereka.

Saya tidak akan menceritakan kelanjutan diskusi kami, atau memberi tahu jawaban saya atas pertanyaan rekan tadi. Tetapi, dari sini saya menjadi berpikir agak keras. Benar sekali pertanyaan teman-teman saya tadi. Apa kontribusi umat Islam Indonesia, sebagai komunitas raksasa, di dalam ikut mewarnai dunia.

Jauh sebelum saya mengambil studi doktoral di China, saya juga pernah menghadapi pertanyaan serupa. Saat itu tahun 2015, saya terlibat diskusi kecil dengan Karel Steenbrink di sela-sela mengikuti forum International Conference di Manado, Indonesia.
Dalam kesan Professor Emeritus Intercultural Theology Universitas Utrecht di Netherland itu, Indonesia dan umat Islamnya memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki kaum Muslim di tempat lain.

Di Iran, misalnya, pasca revolusi pemerintah membatasi peran kaum perempuan. Di Pakistan, sering-sering terjadi bentrokan, bahkan pemerintahannya yang Islam diwarnai kudeta. Arab Spring terus bergolak. Arab Saudi, negara dengan sistem kerajaan, sampai sekarang belum memungkinkan bagi berlakunya sistem demokrasi.

Di mata Steenbrink, Indonesia berbeda karena memiliki “keramahan”, proses demokrasinya berlangsung dengan damai, ada kehidupan berbangsa yang toleran, dan moderat.

Masih menurut kesan Steenbrink, di dunia ini ada tiga besar kelompok Muslim yang memiliki kekhasan. Kelompok pertama dan paling tua adalah Arab, Turki, dan Iran. Kelompok kedua adalah India, Indonesia dan Afrika. Sisanya adalah Islam di Barat yang berkembang pesat pada akhir-akhir ini.

Tetapi pertanyaannya, kenapa selama ini Muslim Indonesia belum menjadi salah satu rujukan masyarakat dunia. Selain itu, kaum Muslim Indonesia sejauh ini belum berani mengambil “posisi” di tengah perdebatan isu internasional.

“Islam Indonesia tidak harus selalu meniru, meski muslimnya juga jangan sampai membenci kelompok Islam yang lain,” usul pria kelahiran Breda, Belanda, itu.
Sampai di sini kita bisa meraba diri kita, umat Islam di Indonesia, bahwa pekerjaan rumah kita masih cukup berat. Menjadi yang terbanyak saja, belum berarti juara.

Sampai di kilometer ini, belum semua urusan umat Islam selesai. Apa yang akan kita kerjakan setelah menjadi yang paling besar adalah tugas yang menanti kita semua, umat Islam Indonesia.

Selanjutnya, mari kita cermati perkembangan umat Islam di Indonesia. Jangankan memikirkan bagaimana supaya Islam Indonesia manfaatnya bisa dirasakan oleh dunia, kita justru asyik terlibat pertengkaran di dalam.

Fenomena Islam Indonesia pada lima tahun terakhir ini, misalnya, lebih gila lagi. Situasi nasional kita direpotkan dengan munculnya orang-orang dengan simbol keislaman. Mereka membawa “proyek” yang aneh, mengatakan kepada saudaranya sendiri sebagai “bukan Islam”. Gila, bukan?

Saya sengaja menghindari menyebut nama atau kelompok tertentu, meskipun saya tidak sependapat dengan mereka. Hal ini untuk menghidari kebencian. Karena, saat ini, caci-maki dan fitnah melalui media sosial terjadi begitu lazim.

Namun demikian, bisa dengan mudah difahami, bahwa yang saya maksud adalah orang-orang yang berpolitik praktis dengan menggunakan agama (Islam) sebagai bungkus luarnya. Barang dagangan mereka adalah tetek-bengek yang dilabeli Islam, atau syariah. Pasukan mereka antara lain adalah dai-dai dadakan yang tidak faham dengan sejarah Indonesia dan Islam yang tumbuh di dalamnya.

Pekerjaan mereka sehari-hari mengurusi hal-hal yang sebenarnya tidak penting. Misalnya, mengusik ritual ekspresi keislaman yang berlaku di masyarakat kita (mencium tangan orang alim, tahlilan, berziarah, mengucapkan salam kepada saudara yang berbeda agama, dan lain-lain).

Kelompok ini bahkan secara lebih brutal lagi ingin mengganti dasar negara Indonesia dari Pancasila! [NKRI] menjadi syariat Islam. Setiap hari, orang-orang seperti ini selalu membuat onar, melalui materi ceramah yang diunggah di media sosial. Akibatnya, bisa diduga, di tengah masyarakat terjadi saling ejek antara satu dengan lainnya.

Meladeni ulah mereka sangat menguras energi. Tetapi bila dibiarkan, mereka akan menebar fitnah dan kebencian yang semakin meluas. Apakah seperti ini kondisi internal masyarakat Muslim terbesar di dunia? Kapan kita berkontribusi bagi umat Islam di belahan dunia lain?

Indonesia memang punya forum Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) yang sudah beberapa kali digelar. Selain itu, ada juga konferensi internasional, baik yang inisiasi oleh intelektual Muslim maupun kaum agamawan. Namun sayang, forum-forum ini belum memberikan kontribusi berarti bagi Muslim dunia.

Rekomendasi yang dirumuskan dari KUII VI di Yogyakarta (2015), misalnya, dari tujuh point, hanya satu yang berorientasi memikirkan nasib Muslim minoritas yang di-diskriminasi. Itu pun hanya sebatas meminta kepada pemerintah negara-negara yang bersangkutan untuk memberikan perlindungan berdasarkan prinsip-prinsip HAM.

Adapun keenam lainnya masih berkutat pada persoalan tentang pentingnya persatuan di internal umat Islam Indonesia, etika berpolitik, kesejahteraan-ekonomi, dan perlunya menampilkan ciri keislaman dalam bergaul. Ini menunjukkan bahwa Muslim Indonesia, walaupun terbesar, sesungguhnya masih sangat ringkih.

Dalam kajian keislaman, Indonesia juga masih menjadi konsumen bagi universitas-universitas yang ada di Timur Tengah, maupun jurusan Islamic studies di Amerika dan Eropa. Menurut hemat saya, tidak adanya rasa percaya diri menjadi Muslim Indonesia juga menghambat bagi dikenalnya Islam Indonesia di dunia internasional.

Satu hari saya bertukar pengalaman dengan M. Tofis, mahasiswa Muslim di China berkebangsaan Bangladeh. Ketika saya tanya, negara Islam mana yang menjadi tujuan favorit bagi mahasiswa dari Bangladesh yang meminati kajian keislaman, jawabannya membuat saya terkesan.

”… Di negera saya (Bangladesh) ada banyak madrasah, ribuan masjid dan universitas yang menyediakan bagi kajian keislaman. Di sana ada kajian tfsir, hadis, dan lainnya. Mengapa harus keluar, kami belajar di negeri sendiri,” jawab pria berkulit sawo matang kecoklatan itu.

Saya mengerti, jawaban teman diskusi saya ini belum tentu mewakili suara mayoritas muslim Bangladesh. Tetapi jawabannya yang percaya diri, bangga dengan model kajian keislaman di negara sendiri, yang demikian sangat menginspirasi.

Bagaimana langkah kita untuk mengenalkan Islam Indonesia. Ada faktor sejarah yang menjadikan Islam Indonesia menjadi kelas kedua, bila disejajarkan dengan Islam di Timur Tengah. Kita sulit menggeser posisi mereka. Tetapi kita memiliki kelebihan yang tidak mereka miliki.

Indonesia memang berpenduduk Muslim terbesar, namun juga bersaudara dengan umat beragama lain. Di Indonesia, ada keragaman pengetahuan-budaya, sumberdaya alam dan kemauan untuk saling melindungi dan menghargai.

Kalau kita bisa membuktikan bahwa ajaran Islam sanggup mengelola segenap potensi yang dimiliki Indonesia, berarti Muslim Indonesia layak memimpin dunia. Maka, stop mengimpor wacana Islam dari luar. Hentikan mendatangkan dai-dai yang tidak mengerti Indonesia.

Pengakuan Muslim internasional kepada Muslim Indonesia sebagai yang terbesar di dunia akan sekaligus menunggu peran kita di pentas global. Di sini, isu-isu seperti minoritas versus pemerintah setempat, minoritas Syiah yang terusir, kemiskinan, dan sumbangsih nilai-nilai Islam untuk keadilan dan pemberantasan korupsi menjadi tanggung jawab kita sebagai Muslim raksasa.

Apakah Muslim Indonesia sebagai yang terbesar di dunia hanya mitos? Semua bergantung pada peran kita.

Ali Romdhoni
Ali Romdhoni
Pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China. Pengurus Cabang Istimewa NU Tiongkok.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.