Kamis, April 25, 2024

Idul Fitri dan Titik-titik Toleransi dalam Rimba Dikotomi

Adi Perwira Purba
Adi Perwira Purba
Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ITB
Ribuan umat Muslim mengikuti salat Idul Fitri 1438 H di Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (25/6). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Bagi seorang Muslim, tentu tidak ada yang lebih melegakan daripada merayakan kemenangan setelah mampu melewati tantangan dan godaan selama bulan puasa. Godaan yang tentu sifatnya sangat beragam, mulai dari rasa lapar dan haus, sampai kepada hal-hal berperilaku, mengalahkan rasa marah, dendam, perkataan yang tidak baik serta menghindari menyakiti perasaan orang lain.

Yang lebih menyenangkan lagi adalah perasaan yang lega karena telah bermaaf-maafan dengan orang-orang terdekat yang mungkin saja seringkali bergesekan dalam kehidupan sehari-hari. Di hari yang fitri ini, para Muslim siap untuk menjalani kehidupan yang baru dan bersih untuk seterusnya–sebersih di hari-hari Ramadhan.

Namun, ada hal-hal indah di hari-hari Idul Fitri yang tidak hanya terasa kepada umat Muslim, tetapi kepada semua masyarakat Indonesia. Seperti tahun-tahun sebelumnya, muncul titik-titik toleransi di berbagai daerah dalam perayaan Idul Fitri ini. Gereja-gereja, misalnya, mengundurkan jadwal misa paginya untuk ikut menjaga ketertiban serta kekhusyukan perayaan Idul Fitri yang lokasi masjidnya berada di sekitar gereja (http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-40336954).

Para pihak pengurus gereja juga memberikan kawasan parkirnya sebagai tempat parkir kendaraan para Muslim yang jumlahnya membeludak dibandingkan hari-hari biasa. Di Bali, para pecalang juga ikut menjaga keamanan ibadah salat Id serta keamanan rumah warga yang ditinggal mudik. Tentu hal ini bukanlah bentuk toleransi yang searah, karena pada saat perayaan Natal tiba, giliran Banser Nahdlatul Ulama (NU) yang menyumbangkan tenaganya dalam melakukan pengamanan di sekitar gereja.

Tetapi walaupun bentuk-bentuk toleransi ini merupakan hal-hal yang berulang tiap tahun, pelaksanaannya saat ini menjadi begitu penting dan krusial. Jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, saat ini akar-akar dikotomi sedang menjalar ke seluruh tanah negeri ini. Mulai dari pesta Pilkada Jakarta (lalu usulan rekonsiliasi), bangsa ini segera saja terbelah menjadi dua kubu, antara pendukung Ahok dan penentangnya, atau bisa dibilang antara pemimpin Muslim dan non-Muslim.

Kemudian akar dikotomi ini merambat lebih jauh dan lebih dalam lagi, mulai menyoal masalah mayoritas dan minoritas, pendukung pemerintahan Jokowi dan anti pemerintah sampai kepada pertentangan antara pendukung tegaknya sistem khilafah dengan orang-orang yang tetap setia dengan dengan Pancasila dan NKRI.

Dikotomi ini lebih lanjut bukan lagi dilihat sebagai perbedaan ideologi atau sudut pandang saja, tetapi lebih jauh dari itu menjadi sebuah klasifikasi antara siapa yang menjadi kawan dan siapa yang menjadi lawan.

Dalam relung hati kita masing-masing, mungkin pernah muncul suatu pertanyaan yang meminta jawaban akan faktor penyabab dikotomi tersebut. Tentu ada banyak teori yang bisa kita kemukakan dan mempunyai tingkat kebenaran yang beragam juga. Tetapi jika kita mau sedikit terbuka dan jujur, pernyataan John Stewart dalam debatnya dengan Bill O’Reilly berikut mungkin bisa menjadi salah satu jawaban. John menyatakan bahwa manusia dalam menghadapi suatu persoalan seringkali bersifat amplify the problem and simplify the solution.

Suatu persoalan yang skalanya kecil dan remeh tidak seharusnya dibesar-besarkan dan kemudian melompat kepada sebuah kesimpulan dan penyelesaian yang reaktif impulsif. Dikotomi pendapat antara orang-orang yang beranggapan bahwa presiden kita adalah bagian dari PKI dan ideologi komunis, contohnya, tidak perlu dibahas terus-menerus dan dibesar-besarkan.

Selain tidak masuk akal karena PKI sudah lama bubar, juga tidak pernah terbukti kebenarannya, tidak melalui kebijakan-kebijakan beliau, afiliasi politiknya atau melalui pernyataan-pernyataan langsungnya. Solusi dari tuduhan tersebut juga tidak seharusnya reaktif dan bersifat tunggal dengan mengatakan bahwa pemerintah harus segera turun dari kedudukannya.

Contoh lain bisa kita lihat pada dikotomi pendapat antara pendukung berdirinya sistem khilafah dengan penentangnya. Sebagian besar dari mereka yang mendukung, beralasan bahwa sistem demokrasi telah gagal memajukan dan menyejahterakan bangsa Indonesia, karena itu harus segera diganti dengan sistem khilafah.

Menyatakan demokrasi Indonesia telah gagal dan tidak layak lagi digunakan tentu adalah sebuah amplify berlebihan terhadap suatu masalah. Perlu kita sadari bersama, bahwa umur demokrasi Indonesia masih sangat muda. Walau mungkin secara de jure bentuk demokrasi ini telah berlaku sejak Indonesia merdeka, secara de facto, demokrasi yang benar-benar menempatkan masyarakat sebagai kedaulatan tertinggi di dalamnya, baru terjadi setelah era reformasi, 19 tahun lalu.

Dibandingkan dengan negara-negara demokrasi lain seperti Amerika, yang ratusan tahun lebih dulu mencicipi proses perkembangan demokrasi, jelas Indonesia masih butuh banyak waktu untuk mencapai kondisi demokrasi idealnya.

Kesimpulan serta solusi yang ditawarkan juga tidak seharusnya langsung disimplify dengan penggantian demokrasi menjadi khilafah. Karena, sama dengan demokrasi, tentu sistem kekhilafahan juga mempunyai kekurangan dengan potensi gagal yang sama besar dengan demokrasi. Jika memang kondisi demokrasi kita saat ini dianggap belum baik, seharusnya yang kita lakukan adalah memberikan progres yang konstruktif terhadapnya, sehingga suatu saat bisa mencapai kondisi idealnya.

Maka, dalam sungai dikotomi yang mengalir deras tersebut, harapan kita kini hanya bergantung pada rasa toleransi, toleransi yang mengesampingkan perbedaan dengan mencari titik temu atau titik tengah. Pancasila adalah bagian dari toleransi yang mencari titik temu tersebut. Pancasila menjamin bangsa ini untuk berketuhanan dan di saat yang sama memberikan kebebasan bagi rakyatnya untuk memilih agamanya sendiri.

Perihal perbedaan dan keberagaman juga seharusnya mulai dilihat sebagai keunikan dan kelebihan. Tidak perlu selalu dipertentangkan tetapi mestinya turut disyukuri, sebaimana pesan yang disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab dalam isi khutbah Idul Fitri di Masjid Istiqlal, Jakarta.

“Karena kita semua ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita semua satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air dan kita semua telah sepakat ber-Bhineka Tunggal Ika, dan menyadari bahwa Islam, bahkan agama-agama lainnya, tidak melarang kita berkelompok dan berbeda. Yang dilarang-Nya adalah berkelompok dan berselisih. Maksudnya: “Janganlah menjadi serupa dengan orang-orang yang berkelompok-kelompok dan berselisih dalam tujuan, setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan. Mereka itulah yang mendapatkan siksa yang pedih.” Demikian Allah berfirman dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 105.

Selanjutnya karena manusia diciptakan Allah dari tanah, maka tidak heran jika nasionalisme, patriotisme, cinta tanah air, merupakan fithrah yakni naluri manusia. Tanah air adalah ibu pertiwi yang sangat mencintai kita sehingga mempersembahkan segala buat kita, kita pun secara naluriah mencintainya. Itulah fithrah, naluri manusiawi.

Karena itulah, hubbu al-wathan minal iman, cinta tanah air adalah manifestasi dan dampak keimanan. Tidak heran jika Allah menyandingkan iman dengan tanah air (Q.S Al-Hasyr ayat 9).

Baca juga:

Pancasila di Tengah Gelombang Radikalisme Agama

Pancasila Yes, Syariat Islam No!

Adi Perwira Purba
Adi Perwira Purba
Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ITB
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.