Kamis, Oktober 3, 2024

Hindu, Ahimsa, dan Kekerasan Kitab Suci

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).

ahimsa1
[ilustrasi]
Konten kekerasan dalam Kitab Suci bukan hanya problem tiga agama yang dikenal dengan “agama-agama Ibrahim” (Yahudi, Kristen dan Islam), yang lahir dari daerah Mediterranean. Agama-agama yang lahir dari India, seperti Hindu, Budha, Sikh dan Jain, juga menghadapi masalah serupa. Kitab Suci agama Hindu, misalnya, banyak menggambarkan episode keterlibatan Dewa-Dewa dalam kekerasan.

 

Bahkan, Bhagavad Gita, salah satu Kitab Suci Hindu yang kerap dikaitkan dengan ajaran nir-kekerasan, juga digunakan untuk menjustifikasi tindak kekerasan. Jika Anda berziarah ke taman makam Mahatma Gandhi di Delhi, India, Anda akan mendengar ayat-ayat Bhagavad Gita dilantunkan oleh tour guides. Ayat-ayat yang memberi instruksi tentang bagaimana mencapai kedamaian jiwa dan pengendalian diri itu digunakan oleh Gandhi sebagai dasar argumen bagi perjuangan nir-kekerasan, yang dikenal dengan ahimsa.

Namun demikian, pada 1992 ayat-ayat Bhagavad Gita juga dikumandangkan oleh para demonstran yang memprotes sebuah masjid yang beberapa abad lalu dibangun di atas Pura Rama, di sebelah utara kota Ayodhya. Seperti dicatat oleh Anantanand Rambachan (2003), setelah membacakan ayat-ayat Bhagavad Gita, para demonstran itu berteriak, “Jika Gandhi masuk penjara, maka kami juga.” Satu minggu kemudian, protes kembali pecah dan barikade polisi berhasil diterobos, sehingga mengakitkan penghancuran masjid. Tragedi itu serentak memicu kericuhan di seantera negara India.

Bagaimana mungkin teks Hindu dipahami dan digunakan untuk dua hal yang tertolak belakang? Betul, Bhagavad Gita memang kerap diasosiasikan dengan ajaran nir-kekerasan. Dari kitab itu Gandhi mempraktikkan ahimsa. Tapi, pernah terjadi di zaman penjajahan di mana seorang aktivis ditangkap oleh penguasa Inggris karena ditemukan membawa dua kitab Bhagavad Gita. Yang sesungguhnya ditakuti oleh penjajah Inggris, kendati Gita dikaitkan dengan ajaran nir-kekerasan, bahwa setting Kitab Suci tersebut ialah peperangan.

Dari Rigveda ke Bhagavad Gita

Orang-orang Hindu tidak hanya mengakui kesucian satu kitab. Salah satu karakteristik dari agama Hindu ialah keragaman yang inheren di dalamnya. Seperti umum diketahui, nama “Hindu” sebagai sebutan sebuah agama yang mencakup keragaman keyakinan di India itu baru muncul pada abad ke-18, dan dipopulerkan oleh penjajah Inggris. Tentu saja, istilah “Hindu” sudah dikenal sebelumnya.

Menarik dicatat, istilah tersebut tidak berasal dari bahasa Sansekerta, melainkan Persia kuno. Yakni, Sind yang merujuk pada sungai Indus atau Sindhu. Sebuah teori menyebutkan, yang mempopulerkan kata “Hind” bagi tanah India adalah penguasa Muslim, dan kemudian dilanjutkan oleh penjajah Inggris. Istilah agama Hindu itu dipopulerkan oleh Inggris untuk membedakan kepercayaan orang-orang India dari Islam dan Kristen.

Demikian juga dengan Kitab Suci agama Hindu. Setidaknya, kaum Hindu mengimani tiga Kitab Suci, yakni Veda, Upanishads, dan Bhagavad Gita, yang diterima secara luas. Dari ketiganya itu, Veda dianggap paling awal. Dalam Rigveda, misalnya, terdapat kitab Purusa Sukta yang menggambarkan asal kejadian manusia, yang seringkali dikomparasikan dengan kitab kejadian dalam Kitab Suci agama Yahudi dan Kristen. Dari mulut Purusa lahir kaum brahman (pemimpin agama), dari tangannya muncul ksatriya (raja-pejuang), dari pahanya tercipta waisya (kaum pedagang) dan dari kakinya adalah sudra (kasta terbawah).

Gandhi1Tugas dan tanggung jawab setiap kelompok itu dijelaskan dalam Bhagavad Gita. Ksatriya, misalnya, bertugas menjaga keutuhan masyarakat. Mereka diwajibkan membela tatanan sosial dan ritual dengan menggunakan kekerasan, bila perlu. Gambaran ksatriya sebagai pejuang dalam berbagai pertempuran cukup dominan dalam literatur Hindu, yang dipersiapkan untuk berperang demi mempertahankan dharma. Maka, tidak mengherankan jika kaum Hindu militan sekarang mengidealisasikan ksatriya.

Pujian-pujian tentang ke-satria-an dapat ditemukan dalam Ramayana dan Mahabharata, dua kitab yang sangat populer dalam tradisi Hindu. Perang Mahabhrata yang diceritakan dalam Bhagavad Gita mengajarkan bahwa kekerasan dapat dibenarkan sebagai cara menyelesaikan masalah, jika metode lain tak berhasil.

Perlu dicatat, Bhagavad Gita diyakini muncul dari sebuah medan perang. Karena itu, peperangan bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Bahkan, bagi ksatriya, terlibat dalam pertempuran merupakan tugas keagamaan. Barangkali itu sebabnya penjajah Inggris menjebloskan seorang aktivis yang membawa kitab itu ke dalam penjara. Dalam Bhagavad Gita, perang Mahabhrata disebut “dharma yuddha”. Yakni, perang yang dilakukan demi membela keadilan dan kebenaran, serta untuk menciptakan keamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Tidak sulit untuk membandingkan konsep dharma yuddha ini dengan jihad (Islam) atau just war (Kristen).

Ahimsa dan Militansi Hindu

Penjelasan di atas tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa ahimsa tidak punya tempat dalam Kitab Suci agama Hindu. Walaupun para ksatriya bertanggung jawab atas keamanan dan keselataman masyarakat, bila perlu, menggunakan kekerasan, tapi gambaran masyarakat yang tenteram dikaitkan dengan ksatriya yang mempraktikkan ahimsa dalam hidupnya sendiri.

Kisah Ramayana yang melibatkan Rama, Sinta dan Hanuman memperlihatkan semangat penolakan atas kekerasan. Ketika Rawana takluk, Hanuman bermaksud membalaskan dendam Sinta, permaisuri Rama, dengan membunuh perempuan yang telah menahannya. Tapi, Sinta buru-buru melarang Hanuman dengan bertanya, “Adakah manusia di dunia yang tidak pernah berbuat salah?” Ia menjawab sendiri, “Jiwa yang mulia harus menyayangi semua – baik yang berbuat dosa ataupun saleh.”

Memang, sejumlah sarjana menyangsikan bahwa sikap Sinta itu membuka jalan mulus bagi praktik ahimsa. Pertama, “Jiwa yang mulia menyayangi semua” tidak berarti bahwa kekerasan sama sekali tidak dibolehkan. Konteks pernyataan Sinta itu ialah ketika lawan sudah tak berkutik, bukan terkait penggunaan kekerasan untuk melawan agresi, misalnya.

Kedua, kenyataannya, peperangan demi peperangan tampak diizinkan dan bahkan didorong dalam Kitab Suci agama Hindu.

Kita tak perlu terlibat dalam perdebatan itu. Terlepas dari keragaman pandangan tentang kekerasan, agama Hindu mengajarkan kedamaian sebagai tujuan akhir kehidupan. Kitab-Kitab Suci Hindu bersepakat bahwa tujuan akhir kehidupan ialah moksya atau mukti, dua istilah yang bisa diterjemahkan sebagai “pembebasan” atau “pencerahan”. Bila seorang sudah terbebas dari beban kehidupan sosial dan sepenuhnya mengabdikan diri pada pencapaian moksya, maka seharusnya ia menjalankan misi nir-kekerasan.

Pertanyaan yang tersisa: Bagaimana dengan kaum Hindu militan? Tentu saja, sumber-sumber dan conton-sontoh dalam Kitab Suci mereka memberikan inspirasi, tetapi ideologi militansi lebih dibentuk oleh konteks-konteks modern.

Identitas keagamaan dan komunalisme yang kian eksklusif, sampai batas tertentu, muncul sebagai respons terhadap kolonialisme. Memang benar, gerakan-gerakan militan seperti Arya Samaj merintis reformasi Hindu dengan merujuk pada Veda. Tapi, gerakan Arya Samaj sendiri muncul dalam konteks kolonialisme. Militansi Hindu umumnya tidak bersifat skripturalis dan tidak menekankan tujuan pembebasan sebagaimana disebutkan dalam Kitab Suci.

Salah satu penyebabnya adalah karena mereka mengimani beberapa Kitab Suci, bukan satu. Sebagaimana disebutkan di awal, nama “Hindu” sendiri bersifat inklusif karena mencakup beragam tradisi lokal di India, termasuk dalam hal doktrin dan ibadah. Karena itu, keliru menyebut militansi Hindu sebagai fundamentalisme, karena agama Hindu tidak mengenal hal-hal “fundamental” yang biasa menjadi ciri khas agama tertentu.

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.