Signifikansi hijrah Nabi Muhammad dan pengikutnya dari Mekkah menuju Madinah telah banyak dibahas dalam berbagai forum, terutama menjelang tanggal 1 Muharram. Peristiwa hijrah menandai keberhasilan dakwah Nabi menyebarkan agama Islam dan membangun komunitas (negara) Muslim pertama di Madinah. Tak berlebihan jika kaum Muslim menyepakati hijrah Nabi sebagai awal kalender Islam, tahun Hijriyah.
Tulisan ini tidak bermaksud mengulang-ulang apa yang sudah menjadi pengetahuan umum. Saya ingin mendiskusikan pandangan yang tidak umum, tidak konvensional, dan tidak ortodoks yang diajukan oleh sarjana revisionis.
Istilah “revisionis” diambil dari kata “revisi” dan memang dimaksudkan untuk merevisi pandangan yang sudah diterima luas. Kesarjanaan revisionis bisa dimaknai sebagai perspektif yang non-konvensional dan non-ortodoks yang mempersoalkan narasi awal kemunculan Islam dan biografi Nabi yang digambarkan dalam sumber-sumber Muslim.
Ada tiga alasan kenapa sumber-sumber Muslim dipertanyakan. Pertama, kitab-kitab sejarah Islam ditulis belakangan dan tidak memenuhi standar kritik historis; kedua, mengandung banyak kontradiksi; dan, ketiga, lebih merefleksikan apa yang terjadi belakangan ketika kitab-kitab tersebut ditulis.
Crone dan Hijrah
Sikap paling radikal terhadap sumber-sumber Muslim dikembangkan oleh Patricia Crone dan Michael Cook dalam karya mereka, Hagarism: The Making of the Islamic World (1977). Dua sarjana revisionis yang sama-sama tinggal di Princeton, AS, itu bereksperimen bagaimana potret kemunculan Islam bila kita mengabaikan sama sekali tradisi Muslim dan, sebaliknya, menggunakan sumber-sumber yang ditulis non-Muslim. Mereka menyadari sumber-sumber non-Muslim juga bermasalah, tapi, minimal, ditulis lebih awal dan dekat dengan peristiwa yang direkamnya.
Maka, mereka mencoba merekonstruksi sejarah Islam dari sumber-sumber non-Muslim dan hasilnya cukup mengejutkan: Islam tidak lahir di Mekkah dan Madinah. Dan hijrah juga bukan terjadi dari Mekkah menuju Madinah sebagaimana digambarkan sumber-sumber Muslim.
Jika Anda merasa pusing dengan kesimpulan mereka, jangan lanjutkan baca tulisan ini. Crone dan Cook sendiri memberikan peringatan di pengantar bukunya. “This is a book,” tulis mereka, “written by infidels for infidels.”
Ringkasnya, hijrah itu dilakukan oleh sekelompok Yahudi messiah (mengimani kedatangan al-Masih) yang bermaksud menguasai Yerusalem. Baru belakangan pada abad ke-7 mereka mulai menanggalkan semangat messiah itu dan mengimani kitab suci tertentu, mengaku punya Nabi dan kota suci sendiri. Kenyataan bahwa al-Qur’an mengakui Yesus (Isa) sebagai al-Masih tapi menolak ajaran Trinitas dapat dilacak dari watak awal keyakinan mereka: Yahudi messiah.
Sumber-sumber non-Muslim tidak menyebut para muhajirun (orang yang berhijrah) dengan nama “Muslim”. Dalam papyrus berbahasa Yunani tahun 642, hanya sepuluh tahun setelah Nabi wafat, mereka yang berhijrah disebut “Magaritai”, sementara dalam sumber Suriah-Aramaik dikenal dengan “Mahgre” atau “Mahgraye”. Istilah-istilah tersebut bermakna sama dengan “Muhajirun”.
Poin penting lain dalam sumber-sumber non-Muslim tersebut ialah “mahgraye” merupakan istilah yang disematkan kepada keturunan Ibrahim dari Hajar. Artinya, keturunan Ismail yang terlibat dalam eksodus ke Palestina. Dari berbagai deskripsi tersebut, Crone dan Cook sampai pada kesimpulan berikut:
The Mahgraye may thus be seen as Hagarene participants in a hijra to the Promised Land [Jerusalem], and in this pun lies the earliest identity of the faith which was in the fullness of time to become Islam.
Dalam artikelnya, The First-Century Concept of Higra (1994), Crone menelisik pergeseran makna semantik hijrah dalam sumber-sumber Muslim sendiri. Namun, sebelum mendiskusikan argumen sejarawan di Institute for Advanced Study di Princeton lebih lanjut, ada baiknya disebutkan pandangan sarjana-sarjana lain yang menjadi interlocutor-nya.
Hijrah dari Mekkah ke Madinah?
Sejarawan Barat dari abad ke-19 seperti Julius Wellhausen hingga abad ke-20 seperti Wilfred Madelung dan abad ke-21 seperti Uri Rubin cenderung menerima gambaran hijrah sebagaimana disebutkan dalam tradisi Islam. Fred Donner dari Universitas Chicago mencap para sejarawan Barat tersebut sebagai “failed to behave as historians” (gagal bersikap sebagai sejarawan) karena tidak mempersoalkan sumber-sumber mereka.
Barangkali ustadz saya di Chicago itu berlebihan. Sebab, problem validitas sumber-sumber Muslim sudah dipersoalkan oleh banyak sarjana kritis, dan mencapai puncaknya dalam kesarjanaan John Wansbrough di Inggris. Sarjana terakhir ini kerap disebut “nabinya” kaum revisionis.
Hanya saja, Wansbrough cs. cuma bisa mengeluh bahwa sumber-sumber Muslim tidak cukup reliabel secara historis, bahkan tidak lulus tes sejarah yang paling dasar sekalipun karena ditulis relatif belakangan. Adalah Patricia Crone yang berani mengambil risiko mencampakkan sumber-sumber Muslim tersebut dalam upayanya merekonstruksi sejarah Islam.
Crone bahkan mempersoalkan cara baca sarjana-sarjana Barat, seperti Wellhausen, Madelung, dan lainnya yang tidak jeli melihat adanya perubahan makna semantik hijrah. Makna klasik hijrah, seperti dipahami oleh sarjana-sarjana tersebut, ialah migrasi dari Mekkah menuju Madinah, dan hanya belakangan hijrah dipahami sebagai migrasi dari Madinah ke kota-kota lain yang ditaklukkan pasca wafatnya Nabi.
Sebanyak 56 riwayat tentang hijrah diteliti oleh sejawaran Islam awal yang wafat 11 Juli 2015 itu. Crone menjungkir-balikkan kesimpulan sarjana-sarjana sebelumnya. Awalnya hijrah dipahami sebagai migrasi ke suatu wilayah tertentu (hijrah terbuka), dan baru kemudian dikhususkan pada perpindahan ke Madinah (hijrah tertutup/khusus).
Pendapat ini didasarkan pada riwayat-riwayat tentang hijrah yang dianalisis secara kronologis. Riwayat yang awal cenderung menyiratkan hijrah terbuka. Riwayat pertama yang didaftar oleh Crone ialah hadist Nabi yang dicatat oleh Ahmad bin Hanbal: “Kalian akan berhijrah ke Suriah dan akan menaklukkannya.” Juga perbincangan Abu Dzarr bersama Nabi yang menggambarkan Suriah sebagai “ardh al-hijrah” (tanah hijrah).
Kelemahan argumen Crone terletak pada pilihan riwayat-riwayat yang dilakukan secara selektif. Sebab, sangat mudah mengajukan riwayat-riwayat lain yang mendukung hijrah tertutup/khusus ke Madinah sebagai makna klasik hijrah.
Di situlah letak persoalannya. Riwayat-riwayat tentang hijrah dalam sumber-sumber Muslim tampak inkonsisten sehingga sulit untuk merekonstruksi secara presisi “konsep hijrah pada abad pertama Islam”. Namun demikian, argumen Crone sebenarnya sejalan dengan ide hijrah dalam al-Qur’an. Kitab Suci kaum Muslim tidak pernah mengkhususkan hijrah dari Mekkah menuju Madinah, bahkan nama kota “Yatsrib” atau “Madinah” saja tidak muncul dalam al-Qur’an.
Lebih menarik lagi ialah kenyataan bahwa al-Qur’an kerap mengaitkan hijrah dengan peperangan. Dalam surat al-Baqarah, misalnya, disebutkan “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah” (Qs.2:218; 8:72, 74-75; 16:110; 22:58). Sejumlah sahabat Nabi juga memaknai hijrah sebagai perpindahan ke kota-kota garnisun. Usman bin Affan, misalnya, berkata “min ahl al-madinah mimman aqama wa-lam yakun yuhajir ila al-iraq” (sebagian orang Madinah menetap dan tidak berhijrah ke Irak).
Jika hijrah dikaitkan dengan kota-kota garnisun, apakah tidak mungkin hijrah awal sebenarnya dilakukan ke Yerusalem, salah satu kota garnisun, sebagaimana digagas sejarawan revisionis Patricia Crone? Di zaman Nabi, minimal bagi orang-orang Mekkah, Yatsrib yang di kemudian hari disebut “Madinah” (Madinah al-nabi) bukanlah kota garnisun.