Apa yang kemudian dikenal sebagai “Kalender Islam” tak ditandai dari kelahiran Muhammad, melainkan hijrahnya dari Mekkah ke Madinah sebagai seorang nabi. Sebuah pertanda dini bahwa Islam dipondasikan pada ajaran, bukan kultus sosok. Persis sebagaimana ditegaskan al-Qur’an, misalnya dalam QS. Ali Imran: 144 dan QS. an-Nisa’: 80.
Adapun ketika kemudian Maulid Muhammad kita peringati sebagai salah satu momentum dalam Islam, itu lantaran Muhammad adalah teladan sempurna dari ajaran Islam, sebagaimana diabadikan dalam QS. al-Ahzab: 21 dan QS. al-Qalam: 4, yang kemudian membawa kita–melalui keteladanan, bukan hanya ucapan–pada Islam tersebut. Sehingga, pada akhirnya kita dapati integralitas antara Islam dan Muhammad, seperti ditegaskan dalam QS. an-Najm: 3.
Maka, dalam Islam, hijrah merupakan salah satu momentum terpenting yang mengandung gagasan dan nilai komperhensif serta integral: membentang dari kesalehan ritual hingga kesalehan sosial. Di dalamnya termuat nilai-nilai terdalam pada dimensi ibadah-spiritualitas, antropologis-kultural, filosofis-saintis, hingga sosio-politik.
Secara mendasar, hijrah adalah sebuah gerak dari kegelapan menuju keterangbenderangan (QS. ath-Thalaq: 11). Pada dimensi spiritual, seperti diajarkan dalam tasawuf dan disimbolisasi dalam peristiwa mi’raj Nabi, ia adalah gerak dari hamba menuju Tuhannya (tajalli). Ibadah salah satu aspek di dalamnya, berserta riyadhah (latihan) batin yang berorientasi pada pembersihan (takhalli) dan penghiasan (tahalli) diri.
Secara kultural, dalam konteks Muslim Indonesia, hijrah adalah gerak akulturatif Islam menuju corak yang berkeindonesiaan. Sedangkan pada dimensi filosofis-saintis, ia adalah gerak dari keterbelakangan menuju kemajuan peradaban berbasis rasionalitas. Adapun secara sosio-politik, ia adalah gerak membumikan nilai-nilai Islam agar kesempurnaan Islam–misalnya perdamaian, kemanusiaan, hingga yang sederhana seperti kebersihan, kedisiplinan, dan lain-lain–dirasakan seluruh umat manusia tanpa sekat agama atau apa pun juga.
Semua dimensi itu integral: saleh secara ritual saja tanpa saleh sosial itu bermasalah (bahkan dikutuk dalam al-Qur’an), maju secara peradaban namun terbelakang dalam spiritualitas adalah “gersang”, dan seterusnya. Dimensi-dimensi itu juga tak harus dalam skala masyarakat, namun sejak personal: seorang Muslim harus berhijrah dalam seluruh aspek tersebut secara integral.
Sayangnya, di Indonesia kini, hijrah menjadi terminologi yang tereduksi begitu keras hingga menjadi jargon yang sampai kerap masuk ke infotainment-infotainment untuk menjelaskan perubahan penampilan public figure yang menjadi religius dalam pengertian ritual atau benar-benar tampilan (fashion) saja, yang ditandai dengan jenggot dan busana khas Arab.
Dan, terkait dengan reduksi makna hijrah dalam konteks Indonesia, fenomena hijrah artis joget Caesar adalah contoh yang menarik untuk diangkat sebagai refleksi kritis.
Hijrah yang telah tereduksi secara makna menyebabkan seorang Caesar mengalami ambiguitas antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial, dunia dan akhirat, dan seterusnya. Islam tak dirasa sebagai tuntunan lembut yang memudahkan, sebagaimana menjadi karakter dasarnya seperti ditegaskan QS. al-Baqarah: 185 dan QS. Ali Imran: 159. Melainkan tuntutan keras yang menyulitkan. Paradoks dengan doktrin dan teladan hijrah dari Wali Songo yang persuasif, moderat, dan kultural.
Salah satu problem mendasarnya adalah absennya kesadaran akan “proses” dalam mendakwahkan jalan hijrah. Sehingga hijrah menjadi banal dan tak berjejak dalam kesadaran terdalam pelakunya. Seorang diajak begitu saja, cepat, dan serta merta dituntut secara total (kaffah).
Di sinilah signifikansi kesadaran akan proses dalam hijrah, sehingga ajakan akan hijrah melalui sebuah pendekatan yang berbasis pada renungan, secara perlahan, dan bertahap. Dengan begitu, seseorang akan berhijrah secara kaffah dan konsisten. Salah satu contohnya adalah larangan mengkonsumsi minuman keras dalam al-Qur’an atau teladan hijrah Nabi yang penuh perencanaan dan strategi. Begitu juga seorang sufi dalam mendidik muridnya yang setahap demi setahap (maqom) sesuai keadaan (hal) muridnya.
Selain itu, yang terpenting dalam hijrah adalah aspek kesucian niat untuk Allah. Oleh karena itu, meskipun Sayyidina Abu Bakar pernah sebelumnya mengajak Nabi berhijrah, Nabi menolaknya dan baru melakukan hijrah ketika diperintahkan Allah. Reduksi hijrah juga terjadi lantaran aspek ini sering terciderai, bahkan terabaikan.
Dalam konteks global, lebih jauh lagi, terjadi pemutarbalikkan makna hijrah menjadi “propaganda” seperti digunakan Islamic State (IS) untuk keperluan rekrutmen. Padahal, kenyataannya kita dapati dalam sejarah justru hijrah pertama umat Islam sebelum ke Madinah–berdasar perintah Nabi– adalah ke Habasya untuk minta perlindungan pada Raja Najasyi yang dikenal adil dan bijak, meski ia seorang Kristen.
Perlu kiranya juga ditegaskan bahwa, meski dalam periode Madinah-lah Nabi memang baru mulai berperang, itu aksidental dan situasional, bukan bagian dari visi dan substansi hijrah dalam Islam sebagaimana pernah disampaikan Ustaz Quraish Shihab dalam salah satu ceramahnya. Maka, sejarah mencatat bahwa di tahun pertama Hijriah inilah substansi dan visi hijrah, khususnya dalam konteks sosio-politik, Nabi langsung menginisiasi “Piagam Madinah” yang merupakan suatu konsensus semua warga Madinah dari beragam agama dan suku untuk perdamaian, keadilan, dan egalitarian.
Dan hukum, juga perang sebagai jalan akhir, berlaku bagi pelanggar konsensus tersebut. Termasuk, jika pelanggarnya adalah putri Nabi sendiri, Sayyidah Fatimah. Nabi katakan, “jika Fatimah mencuri, aku yang akan memotong tangannya.”
Kolom terkait:
Hijrah dalam Perspektif Revisionis