Sastra dan agama adalah dua entitas yang berbeda, tetapi sangat dekat dalam olahan rasanya. Agama membela rasa dengan spirit transendensi, sedangkan sastra mengolah rasa dengan spirit estetis-maknawi. Keduanya mempunyai ruang lingkup yang berbeda, tetapi sering sekali bertemu dalam sebuah perjamuan. Agama mengajarkan ajarannya kepada manusia, sedangkan sastra memberikan perangkat bantuan terwujudnya transformasi ajaran kepada publik. Bisa lewat puisi, cerpen, novel, atau dengan pertunjukan teater dan kesenian.
Para penyebar agama (Islam) di Indonesia memanfaatkan pantun, syair, gurindam, prosa, dan prosa lirik dalam berdakwah. Para Wali Songo adalah kreator ulung bersastra, bahkan juga kreator berkesenian yang digunakan untuk mendakwahkan ajaran agama. Tradisi semacam sekaten merupakan bentuk kreasi Wali Songo yang menyusupkan ajaran agama dalam tradisi kesenian budaya lokal. Dan ia terbukti sangat efektif dalam upaya penyebaran Islam di Jawa.
Begitu besarnya peran kesusastraan dalam lingkup keberagamaan di Indonesia, tidak salah kemudian kalau dewasa ini umat beragama saling menebar konflik dan teror. Dalam kondisi demikian, dunia kesusastraan dipanggil kembali untuk memberikan kontribusi dalam perdamaian umat beragama. Di saat umat beragama dengan sesuka hati menetaskan darah saudara sendiri, di tengah kecamuk perang yang penuh angkara murka, dan dehumanisasi kehidupan yang menyeruak luar biasa, publik sungguh amat rindu dunia sastra yang setidaknya bisa memberikan gambaran dan kritik konstruktif nalar keberagamaan yang sedang terjadi di Indonesia.
Dengan puisi, cerpen, novel, atau pertunjukan kesenian, publik akan mudah menerima, karena kritik yang disampaikan sangat implisit, dengan kekuatan rasa yang mendalam, sehingga menghasilkan permenungan yang menyentuh.
Salah satu krisis fundamental yang mendera umat beragama adalah terjebaknya dalam simbolisasi ajaran. Dengan modal simbol yang religius, masyarakat bukan digunakan untuk meningkatkan kadar keimanan, tetapi sering dimanfaatkan untuk melegitimasi kekerasan dan kejahatan. Misal paling mudah adalah gelar haji. Gelar haji adalah simbol agama yang didapatkan seorang Muslim ketika menunaikan ibadah haji di Mekkah. Ironisnya, tak sedikit dari mereka yang sepulang dari haji dan bergelar haji bukan semakin saleh, tapi justru kualitas dan kuantitas kejahatannya kian meningkat.
Korupsi semakin subur dan masyarakat semakin tercekik. Untuk menggambarkan ini, menarik yang diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam cerpennya, “Dendam”. Cerpen ini pada intinya menceritakan dilema psikologis “Aku”, seorang prajurit yang baru bergabung dengan salah satu kompi tentara Indonesia di masa revolusi fisik, sekitar November 1945. Di satu pihak, “Aku” ingin sekali membela tanah air dan mengikuti panggilan revolusi, tetapi di pihak lain nuraninya sangat menolak kekejaman dan kebusukan yang ditimbulkan perang.
Puncak dilemanya terjadi ketika dia melihat teman-teman satu kompinya menyiksa seorang haji yang telah menjadi sekutu penjajah. Digambarkan haji itu memakai, “…sorban kuning tebal… kemeja putih yang disilangi sarung berkotak-kotak ungu dan merah dan kuning….”. Kendati demikian, para prajurit tetap mengenali wajahnya. “Anjing Inggris. Ketangkap juga, lu, keparat! Gua gak bisa lupa sama tampang lu. Gue kenal lu!” begitu para prajurit memergokinya sambil kemudian mengumpat dengan kata-kata binatang.
Haji itu pun mengaku. Tetapi aneh, ketika disiksa, haji tetap tidak mati. Bahkan luka pun tidak. Akhirnya ada yang membaca mantra “kembali ke tanah” sambil menusukkan samurai harakiri Jepang ke tubuhnya, haji itu terkulai dengan usus dan isi perut yang terbuang-buang.
Jelas sekali kritik Pram atas haji yang menggunakan simbol agama (pak haji yang memakai sorban) untuk menutupi kejahatannya. Dalam kerangka yang sama, AA Navis dalam cerpen klasiknya, “Robohnya Surau Kami”, juga mengkritik sosok haji yang setiap hari berzikir tetapi lupa dengan lingkungan sekelilingnya.
Ketika protes di hadapan Tuhan karena dimasukkan ke neraka, haji itu menuturkan ihwal ibadah dan zikirnya yang tak pernah putus. Tuhan tetap memasukkan neraka, sambil menjawab, “… kesalahan engkau karena engkau mementingkan diri sendiri. Kau takut neraka, karena itu kau taat sembahyang… inilah kesalahanmu terbesar, engkau terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tetapi engkau tidak memperdulikan mereka sedikit pun…”.
Kritik atas simbolisasi agama yang tercatat dalam dua cerpen tersebut sangat jelas. Cerpen “Dendam”nya Pram mengkritik habis kaum beragama yang menggunakan simbol agama sebagai tabir kajahatannya. Setebal apa pun sorban yang digunakan, kejahatannya akan tetap tersingkap, kalau memang sulit dalam proses pengadilannya, carikan ‘mantra’, biasanya masyarakat akan mengucilkannya.
Sulitnya menyingkap kedok kejahatan ini telah membuat agama sebagai ladang kejahatan. Agama justru menjadi topeng ampuh yang sulit dideteksi. Makanya, menurut Pram, berikan massa saja untuk menghakiminya. Sementara AA Navis mengkritik mereka yang bangga dengan ibadahnya, tetapi ternyata lalai dengan tugas sosialnya sebagai khalifah di muka bumi. Alih-alih ingin menjadi khalifah Tuhan, ternyata para haji terjebak menjadi khalifah setan. Mereka egois, menikmati kesenangan, dan ketenteraman di tengah penderitaan dan kesengsaraan warga sekitarnya.
Kritik kedua sastrawan yang telah almarhum tersebut sangat tepat untuk mengkritik simbolisasi agama yang dibanggakan manusia. Dengan jubah, seoban, dan baju taqwa, mereka seringkali lalai bahwa mereka sebenarnya “manusia” yang dituntut kemanusiaannya; membela sesama, menyayangi sesama, dan menerbakan kedamaian bagi yang lain.
Tugas-tugas ini sering dilalailkan, sehingga mereka sebenarnya membunuh agamanya sendiri. Kritik-kritik sastra atas ketimpangan keberagamaan ini penting direnungkan kembali agar sastra dapat berperan dalam menciptakan perdamaian di muka bumi yang sedang terancam.
Spirit-spirit sastra yang menampilkan kerukunan dan dialog antar agama pasti akan memperkaya khazanah kesusatraan yang menopang perdamaian. Barangkali Orhan Pamuk, novelis Turki yang pernah mendapatkan Nobel Sastra Dunia, merupakan salah satu contoh sastrawan yang menyajikan perseteruan kemudian merekomendasikan dialog dua peradaban besar yang selama ini terus mengobarkan konflik.
Baca juga:
Agama dan Korupsi: Dari Patung Yesus hingga Haji dan Umroh