The Wahid Foundation dan Setara Institute menilai Front Pembela Islam (FPI) sebagai ormas yang kerap melakukan aksi kekerasan dan intoleransi. Ironisnya, FPI dalam melakukan aksi kekerasan kerap mengklaim “Islami” dan mengatasnamakan “bela Islam”. Benarkah FPI dapat dikatagorikan melaksanakan ajaran Islam? Bukankah Islam agama penuh kasih dan anti-kekerasan?
Sebagai ormas yang lahir di era reformasi, FPI kerapkali melakukan aksi kekerasan yang sangat meresahkan publik. Apa yang dilakukan FPI, seperti penyerangan, pengrusakan, dan aksi kekerasan lainnya, jelas jauh dari esensi ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Disadari atau tidak, tindakan FPI tanpa mereka sadari telah mencoreng wajah Islam sebagai agama rahmatanh lil ‘alamin.
Yang paling mutakhir, penghadangan kampanye Ahok-Djarot yang dilakukan oleh anggota FPI. Bahkan, ada oknum laskar FPI yang melakukan pengeroyokan yang menyebabkan salah satu pengurus anak ranting PDI Perjuangan mengalami luka parah dan harus dirawat di rumah sakit.
Bayangkan, Rizieq Shihab, pimpinan FPI saat ini dilaporkan oleh publik dengan sederet masalah: pelecehan atas Pancasila dan Bung Karno, penodaan terhadap keyakinan umat Kristiani, dan palu arit dalam lembaran uang.
Belum lagi, kita mendengar adanya pembakaran kantor Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) yang didugan dilakukan oleh FPI menyusul bentrok yang terjadi antara kubu dalam pemeriksaan terhadap Rizieq Shihab terkait kasus dugaan pelecehan terhadap Pancasila dan Bung Karno di kantor Kapolda Jawa Barat.
Banyak pihak memandang bahwa aksi kekerasan yang dilakukan FPI selama ini tidak lepas dari tumpulnya penegakan hukum terhadap ormas yang dikenal kerap melakukan kekerasan ini. Tidak ada sanksi yang tegas dan setimpal dengan apa yang dilakukan FPI. Kenapa FPI tidak diseret dengan pasal perihal larangan ujaran kebencian? Kenapa FPI tidak dihukum saat melakukan sejumlah aksi kekerasan?
Ihwal pelanggaran hukum yang dilakukan FPI, kita serahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum. Saya hanya ingin meneropong dari kaca mata etika Islam (akhlaq). Apakah tindakan kekerasan FPI dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar dapat dikatagorikan Islami? Apa sebenaranya esensi konsep amar ma’ruf nahi munkar dalam Islam? Apakah amar ma’ruf nahi munkar bisa digunakan secara serampangan untuk membenarkan aksi kekerasan?
Mari kita buka pesan Nabi Muhammad SAW untuk membingkai apa saja katagori yang paling sederhana untuk bisa disebut: Islam dan Islami. Di dalam sebuh hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda, “seorang Muslim adalah yang bisa menjaga lisan (untuk tidak berkata kasar/menebar kebencian) dan menjaga tangannya (untuk tidak melukai/menebar kekerasan)”.
Jadi, ukuran seseorang atau kelompok agar dapat disebut Islam dan Islami, yaitu jika menebarkan kedamaian dan menjauhkan diri dari aksi kekerasan, baik kekerasan lisan maupun kekerasan dalam bentuk tindakan.
Nah, kalau kita melihat ceramah dan orasi Rizieq Shihab yang penuh dengan kata-kata kasar dan kebencian, bahkan berupa ancaman pembunuhan, kita patut bertanya-tanya: Apakah pesan keagamaan semacam itu dapat dikatakan Islami? Bukankah Nabi Muhammad mengajak kita untuk menjaga lisan dari perkataan kotor dan penuh ancaman?
Belum lagi, secara terang-terangan kita melihat Rizieq diduga melecehkan Pancasila yang merupakan dasar negara dan pegangan bersama yang mempersatukan seluruh elemen bangsa. Tentu, kita bisa mengelus dada jika melihat tindak-tanduk dan sepak terjang FPI selama ini.
FPI kerap menggunakan filosofi amar ma’ruf nahi munkar. Konsep dasar FPI dibangun berdasarkan asusmi adanya kemunkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. Sebab itu, FPI mempunyai misi untuk menumpas kemaksiatan dan kemunkaran dengan menggunakan cara-cara kekerasan, seperti penyerangan, pengrusakan, bahkan kekerasan fisik. Apakah sikap tersebut dapat ditolerir dalam Islam?
Kalau kita melihat khazanah dan sejarah Islam, tindakan FPI tersebut tidak bisa secara serta-merta dapat dikatagorikan sejalan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Menurut Ibnu Taymiah, prinsip amar ma’ruf hendaknya dilaksanakan dengan cara-cara yang baik. Begitu pula, nahi munkar tidak bisa dilaksanakan dengan cara-cara yang munkar, apalagi menggunakan kekerasan (al-amr bil ma’rufi bi ma’rufin wa al-nahyu ‘an al-munkar bi ghayr munkar).
Di dalam sejarah Islam, yang menghalalkan kekerasan hanyalah kelompok Khawarij. Maka, tidak salah, apa yang dilakukan oleh FPI sebenarnya lebih mencerminkan tindakan Khawarij. Tidak salah juga jika dinyatakan bahwa FPI adalah Khawarij gaya baru (neo-khawarij).
Kalau mau jujur, konsep amar ma’ruf nahi munkar berasal dari dua diktum yang sangat menarik. Pertama, mengajak pada kebajikan (amar ma’ruf). Yang harus diutamakan mestinya dakwah-dakwah yang menyejukkan dan merangkul agar setiap umat dapat menebarkan kebajikan. Sebab, jika kebajikan sudah tersebar luas, maka kejahatan dengan sendirinya akan mulai tergeser dan tergusur. Jadi, prinsip amar ma’ruf inilah semestinya yang harus diutamakan sebelum melakukan upaya pencegahan kemunkaran (nahi munkar).
Kedua, mencegah kemunkaran (nahi munkar). Banyak yang salah paham dengan diktum, seolah-olah mencegah kemunkaran dapat dibenarkan dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Apalagi menganggap bahwa mencegah kemunkaran dengan menggunakan kekerasan akan dibalas dengan pahala surgawi. Sungguh, pandangan seperti itu tak bisa dibenarkan. Ini bukan akhlak Rasulullah SAW dan para ulama yang mewarisi peran kenabian.
Sebagaimana disampaikan Ibnu Taymiah di atas, bahwa mencegah kemunkaran hendaknya dilakukan dengan tidak menggunakan cara-cara yang munkar, apalagi menciptakan keresahan dan ketakutan.
Dalam sebuah negara yang berdasarkan pada konstitusi, tidak dibenarkan ada pihak-pihak yang berdalih menegakkan amar ma’ruf nahi munkar mengambilalih peran aparat penegak hukum. Kita percayakan kepada aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum seadil-adilnya, dan tugas umat adalah mengajak umat yang lain agar menebarkan kebajikan.
Negara ini tidak mengenal konsep polisi syariat (hisbah), seperti di Arab Saudi. Maka, tidak sepatutnya FPI menganggap dirinya sebagai polisi syariat. Jika FPI ingin menjadi polisi syariat sebaiknya eksis di Arab Saudi, bukan di negeri Pancasila ini. Pasti Arab Saudi akan senang jika FPI mau menjadi polisi syariat di sana.
Harapan kita kepada pemerintah dan aparat penegak hukum hendaknya mengambil tindakan tegas terhadap FPI. Jangan membiarkan mereka merajela. Kita perlu belajar dari Pakistan dan Afghanistan. Kedua negara ini merupakan negara yang selama ini dianggap membiarkan kelompok-kelompok ekstrem mengambil alih peran penegak hukum. Akibatnya, kedua negara tersebut jatuh ke tangan kelompok ekstremis. Keduanya pun kini menjadi “negara gagal”.
Kepada NU dan Muhammadiyah, sudah saatnya bangun dan bangkit menghentikan segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kedua ormas besar ini tidak bisa lagi menjadi silent majority. Setidaknya NU dan Muhammadiyah dapat melakukan teguran keras terhadap FPI, karena sejumlah aksinya dapat mencoreng citra Islam yang ramah dan toleran.
Umat Islam di negeri ini membutuhkan panduan dan arahan yang jelas dari NU dan Muhammadiyah. Agar Islam tidak dimonopoli oleh kelompok yang di permukaan ingin menegakkan hukum Tuhan, tapi sebenarnya ia menebarkan kebatilan. Itu harus dilakukan demi menyelamatkan wajah moderat Islam Indonesia.