Sabtu, April 20, 2024

Fiksi Paling Suci (dari Hidup Kita)

Ren Muhammad
Ren Muhammad
Penulis, pendiri Khatulistiwa Muda, Direktur Eksekutif Candra Malik Institute.

Socrates pernah mengingatkan sahabatnya–dua ribuan tahun silam, agar jangan mengabaikan tiga prinsip dasar ketika berbicara. Pertama, mengandung kebenaran. Kedua, bernuansa kebaikan. Ketiga, berguna bagi diri sendiri.

Panduan itu setidaknya cukup bagi kita kala ingin menyampaikan sebuah pikiran kepada orang lain, sehingga yang mencuat ke permukaan adalah buah murni dari pikiran yang telah melewati proses perenungan panjang dan mendalam. Tidak asal jeplak, apalagi klangenan belaka.

Guru dari Plato itu membuktikan anjuran tersebut kala berdiskusi dengan para santrinya, atau ketika beradu argumen dengan kaum sofis (pemuja perbantahan) di Athena, terkait dewa-dewa sesembahan peradaban Yunani.

Modal besar yang dimiliki Socrates adalah Akal yang sehat. Nalar yang tajam. Pikiran yang jernih dan terang benderang. Membayangkan hidup Socrates di zamannya, persis benar dengan yang kita alami hari ini. Orang-orang beragama tenggelam dalam dogma dan doktrin semata. Sebatas, “katanya…” Bukan pembuktian.

Maka, tak perlu gumun jika sedikit saja dari orang beragama pada hari ini, yang pendekatan imannya mirip dengan para hanif semisal Ibrahim atau Muhammad Saw. Mereka tak lagi perlu membuktikan.

Wajar kiranya jika isi kepala umat beragama melulu soal surga-neraka, kafir, dan tersesat. Semua tinggal menjadi fiksi semu. Tak usah digali kebenarannya. Terima apa adanya. Cukup dibaca. Sebisa mungkin dihafalkan. Jangan digugat. Habis perkara. Ini soal keyakinan buta. Percuma bertukar pikiran.

Bertolak dari fenomena sedemikian, mafhum bila kemudian agama jadi guyonan saja. Semacam kelakar. Sekadar canda tawa. Ajang gagah-gagahan. Pamer dalil dan ujungnya: kehampaan. Pesan-pesan Suci (The Sacred Text) gagal dimaknai sebagai sebuah premis berpikir, sebagai aksioma.

Peran besar para nabi-rasul yang membawa Kitab Suci sepanjang hayat mereka mentah di meja kebanalan. Maka, kita bisa memaklumi jika kitab suci kemudian mengalami degradasi dan disejajarkan dengan Babad Tanah Jawi.

Keyakinan seperti itu artinya sama dengan menodai akal paling sehat. Apabila diucapkan oleh seorang yang tak terdidik secara akademis, mungkin kita masih bisa menerimanya. Cerita menjadi berbeda manakala yang mengatakan hal itu adalah seorang yang mengaku “filosof.” Al-Qur’an yang menjadi kitab suci umat Islam, misalnya, tidak sama sekali mengandung imajinasi yang terbit dari fiksi. Allah telah menjadikan kitab ini sebagai pamungkas dari tiga kitab sebelumnya: Zabur, Taurat (Torah), dan Injil.

Babad Tanah Jawi hanya menyimpan misteri kebenaran terkait sejarah. Maklum bila kini yang tersisa adalah unsur fiktifnya saja. Fakta yang ada, terkubur dalam teks. Jelas berbeda dengan Al-Qur’an yang setidaknya telah melintasi satu milenium lebih kehidupan manusia. Baik mereka yang ateisme dan agnostik, pun yang theis dan gnostik, semua mendapat porsi berpikir yang sama rata ketika mau merenung.

Pasalnya adalah, Al-Qur’an mengandung mutiara indah kebenaran yang terbuka lebar untuk diuji coba dengan akal. Fakultas paling puncak yang dimiliki manusia inilah yang lantas melahirkan sebuah kesadaran berkeimanan dan berkeyakinan, bahwa tuhan adalah Sumber Utama segala di alam raya.

Fiction dalam bahasa Arab diartikan khiyālun. Kata tersebut dalam bahasa Indonesia dimaknai tidak faktual, tidak nyata. Fictive dalam bahasa Arab diartikan dengan takhīliyun atau khayāliyun, yang bermakna tidak nyata sebagai kata sifat.

Dalam kalangan bangsa Arab kiwari, karya fiksi menujuk pada karangan Naguib Mahfouz, Nawal el-Sadawi. Pada masa Dinasti Abbasiyah, kita kenal sebuah novel filsafat karya Ibn Ṭufayl, Ḥayy ibnu Yaqẓan. Nah, apakah dalam Al-Qur’an ada unsur fiksi?

Merriam-Webster menerjemahkan fiction dengan, “something invented by the imagination or feigned; specifically: an invented story”, sesuatu yang diciptakan oleh imajinasi atau berpura-pura; khususnya: cerita yang diciptakan.

Sebaliknya, Al-Qur’an tidak menciptakan cerita. Malah sebaliknya, mengabarkan sebuah kisah berharga bagi umat manusia–agar menjadi pelajaran bagi mereka yang berpikir dan tentu, berakal.

Ditilik dari sudut pandang Wahyu, Al-Qur’an adalah kitab yang nyata. Berkelindan dalam kehidupan manusia. Menggugat dan menantang siapa pun yang meragukannya–meski hanya satu ayat. Artinya, kitab ini telah paripurna sebagai petunjuk utama manusia. Nyaris tak bisa dibantah. Sebab, premisnya adekuat.

Bahkan Albert Einstein, si jenius abad-ke-20 itu, bertekuk lutut dan mengatakan bahwa, “Tuhan tidak sedang bermain dadu,” lantas menelurkan gagasan besar fisika dengan Relativitas Khusus dan Relativitas Umum.

Bilamana tetap ingin memberi label pada kitab suci, jauh lebih tepat menyebutnya metafiksi. Sebelum fiksi itu ada selaku konsep atau istilah. Namun, diskusi kita takkan melebar sampai ke sana. Kita masih punya soal pada apakah sejatinya yang bisa diyakini dari kitab suci? Fiksi sematakah?

Mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi, sama dengan menarasikan agama sebagai kebenaran yang didustakan atau dusta yang dijadikan kebenaran.

Dampak lain dari pemakzulan kitab suci sebagai fiksi adalah, sejarah panjang agama dan para nabi-rasul pengajurnya, harus didekati berdasar sebuah karya manusiawi. Bukan Ilahiah. Alhasil, agama pun hanya menjadi isapan jempol. Teronggok jadi artefak sejarah. Melapuk. Luntur dimensi spiritualitasnya.

Jika fiksi disematkan pada kita suci–dengan alasan bisa memantik imajinasi, agama takkan melahirkan kebijaksanaan nan bestari.

Andai neraka-surga atau hidup setelah mati yang dijadikan tolok ukur bukan faktual dan belum terjadi, maka sedetik ke depan pun masih fiksi. Toh, belum terjadi dan bisa juga takkan terjadi. Keduanya bukan ranah kita, dan hanya menjadi urusan waktu.

Mengatasi itu semua, umat beragama mempercayai kitab suci bukan lantaran unsur fiksi yang ada di dalamnya, melainkan khazanah spirit langit yang terkandung dan terejawantah di bumi. Apa yang tak dimengerti manusia tentang segala di luar diri dan keberadaannya di dunia, diterangkan dengan lugas oleh kitab suci.

Akhir kalam, bila demikian yang dimaknai tentang fiksi itu, bolehlah kiranya kita menyebut kehidupan di dunia ini hanya fiksi sahaja. Lalu tuhan… Ah, biarlah Dia menuliskan kehendak-Nya.

Kolom terkait:

Gerungisme dan Dalih Penistaan Agama

Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Dimulai dari Mana?

Fiksi Politik, Mitos Kekuasaan, dan Pak Tua

Mitos Seputar Biografi Nabi Muhammad [Renungan Maulid]

Para Imam Mazhab di Tengah Perbedaan Pendapat

Ren Muhammad
Ren Muhammad
Penulis, pendiri Khatulistiwa Muda, Direktur Eksekutif Candra Malik Institute.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.