Per Desember 2014 perusahaan analis risiko Verisk Maplecroft yang berbasis di Inggris melaporkan, pada tahun 2014 angka korban tewas akibat aksi terorisme meningkat hampir 25 persen pada perhitungan antara 1 November 2013 – 31 Oktober 2014. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa dunia masih belum akan mencapai stabilitas keamanan, seiring dengan adanya kelompok-kelompok teroris yang belum berhasil diatasi, seperti ISIS dan Bako Haram yang hingga saat ini masih melakukan aksi kekerasan, kalau bukan dikatakan aksi yang sangat keji dengan mengatasnamakan Islam.
Tak lama setelah itu, sebuah lembaga think tank yang berbasis di New York, Institute for Economics and Peace (IEP), dalam laporannya menyebutkan bahwa sekitar 14 triliun dolar AS dihamburkan dalam berbagai konflik dunia sepanjang tahun 2014.
Data di atas merupakan sebuah alarm bagi kita bahwa konflik-konflik yang terjadi di belahan dunia lain, khususnya Timur Tengah, hingga saat ini masih relatif tinggi. Bahkan bukan tidak mungkin di tengah era keterbukaan dan era digital seperti sekarang, ketika siapa saja bisa mengakses informasi begitu cepat, pengaruhnya tentu bisa dengan cepat merembet ke kawasan lain atau bahkan negara kita sendiri.
Karena itu, perlu bagi pemerintah bahkan sangat mendesak untuk melakukan berbagai aksi nyata dalam pencegahan konflik (conflict prevention) di tengah maraknya konflik yang terjadi di beberapa negara, khususnya kawasan Timur Tengah, yang menimbulkan migrasi manusia ke beberapa kawasan, terutama kawasan Eropa dan negera Barat lainya. Membludaknya pengungsi dari wilayah konflik bukan tidak mungkin menimbulkan masalah-masalah baru yang akan menjadi pekerjaan rumah besar bagi kita semua.
Terlebih jika kita melihat konflik di Rohingya, yang akibatnya sangat mengganggu stabilitas kawasan di tengah tradisi negara-negara Asean yang sungkan untuk mengurusi negara lain yang sedang berkonflik karena prinsip “non intervensi” yang abadi itu. Adapun yang bisa dilakukan (langkah nyata) adalah bantuan kemanusiaan dengan cara people to people diplomacy dan second track diplomacy dengan melibatkan kekuatan sipil bukan negara ansich.
Di Indonesia, kitat patut bersyukur beberapa tahun terakhir lembaga kemanusiaan yang berbasiskan sipil semakin kuat, seperti halnya kolaborasi MDMC bersama Lazismu, dan beberapa organisasi lainya yang terjun di Rohignya secara nyata.
Din Syamsudin dan Pencegahan Konflik
Di tengah situasi tersebut, penunjukan Din Syamsuddin sebagai utusan khusus presiden untuk dialog dan kerja sama antaragama dan peradaban oleh Presiden Jokowi adalah langkah yang sangat tepat. Apalagi di tengah situasi dunia yang semakin bergerak ke kanan dengan corak populismenya.
Dominggus Oktavianus (2017) mencatat bahwa di Eropa, gejala populisme kanan bisa dijelaskan lebih luas dengan bangkitnya politik identitas yang memenangkan suara cukup besar dalam pemilu (bahkan sebagai mayoritas di parlemen beberapa negara).
Keluarnya Inggris dari Uni Eropa mencatatkan perbedaan cukup tipis antara 51,89% yang memilih tinggalkan Uni Eropa dan 48,11% yang memilip tetap di Uni Eropa.
Demikian halnya dengan kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton di Amerika Serikat yang segera diikuti dengan protes besar dari berbagai kalangan. Dan protes-protes itu tentu tidak membawa perubahan. Populisme di Eropa maupun di Amerika Serikat, menurut Oktavianus, membawa sentimen antiimigran, anti-Islam. Hal-hal seperti itu tentu sangat rentan akan terjadinya konflik yang bisa merugikan semua pihak.
Bukan hanya tepat dalam konteks tantangan yang dihadapi Inonesia dalam isu perdamaian dunia dan pencegahan konflik, namun Din Syamsuddin adalah sosok yang sangat tepat untuk mengemban amanah yang cukup berat ini. Menurut Abdul Mukti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin merupakan “the right man on the right place”.
Pernyataan Mas Mukti, sapaan akrab Abdul Mukti, itu bukan hanya karena keduanya dari Muhammadiyah, tetapi karena apa yang dilakukan oleh Din Syamsuddin selama satu dekade terakhir ini. Selain menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama dua periode (2005-2010 dan 2010-2015), beliau juga ditunjuk sebagai pimpinan organisasi-organisasi perdamaian dunia.
Hingga saat ini Din Syamsuddin tercatat sebagai Chairman of Inter-Religious Council of Indonesia (IRC), President and Moderator of Asian Conference on Religion for Peace (ACRP), Co-President World Conference on Religions for Peace (WCRP/RfP), Member of Strategic Alliance between Rusia and the Muslim World, Chairman of Indonesia-Palestine Friendship Initiative (IPFI), dan Chairman of Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC).
Selain itu, Din Syamsuddin juga beberapa kali diminta oleh Kementerian Luar Negeri RI sebagai representasi tokoh Muhammadiyah dan tokoh Muslim moderat untuk memberikan pandangan terkait Islam Indonesia di berbagai forum internasional dan beberapa kegiatan interfaith dialogue yang digagas oleh Kemenlu RI pasca peristiwa 9/11.
Pada saat itu kita tahu Indonesia dicap sebagai sarang teroris oleh dunia internasional menyusul beberapa aksi bom bunuh diri yang dilakukan teroris dengan mengatasnamakan Islam. Menurut mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, adanya beberapa konferensi dengan mengundang tokoh-tokoh Islam moderat Indonesia tidak lepas dari pandangan yang menyebutkan bahwa satu-satunya obat penawar (anti-dot) pencegahan konflik dan mispersepsi adalah dialog (Wirajuda, 2013).
Konsistensi Din Syamsuddin dalam mengkampanyekan perdamaian dan mengutuk pihak-pihak yang melakukan kekerasan dan peperangan atas nama agama ia lakukan melalui kegiatan World Peace Forum (WPF). WPF yang digagas oleh Din Syamsuddin tersebut merupakan forum dialog antartokoh dunia mengenai perdamaian dunia, mendiskusikan nilai-nilai kemanusiaan untuk menciptakan perdamaian, memperkuat jaringan dialog antar tokoh agama dari berbagai negara, dalam rangka menghilangkan mispersepsi mengenai Islam (Mu’ti : 2006).
Hingga saat ini tercatat sudah enam kali WPF diselenggarakan di Indonesia dengan pembahasan yang berbeda-beda. WPF yang pertama diadakan di Jakarta pada Agustus 2006. Forum tersebut menjadi tempat bagi tokoh-tokoh kunci dunia untuk menyuarakan pesan perdamaian dunia dengan meninggalkan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan.
Inilah beberapa poin penting dari hasil WPF. Pertama, menyediakan forum dialog perdamaian di antara para tokoh kunci dari peradaban dunia. Kedua, menggali nilai-nilai kemanusiaan, tujuan bersama dan tanggung jawab bersama umat manusia yang dapat digunakan sebagai kekuatan pemersatu dalam usaha menghapus masalah kekerasan dan menegakkan perdamaian dunia;
Ketiga, mempererat jaringan dialog di antara peradaban yang berbeda untuk meningkatkan toleransi dan rasa saling menghormati. Keempat, mengupayakan supaya peradaban yang berbeda dapat bekerjasama dengan lebih baik untuk menyebarkan suara perdamaian.
Menurut Din Syamsuddin, WPF merupakan bentuk komitmen, peran serta dan tanggung jawab Muhammadiyah dalam menciptakan tata dunia yang damai.
Dalam WPF juga terdapat penekanan-penekanan khusus dalam isu tertentu. Misalnya di WPF ke-4 yang diadakan di Bogor, berlangsung secara terpisah sebuah pertemuan damai secara informal antara MILF dan MNLF yang bertujuan untuk mendorong perdamaian yang berkelanjutan di wilayah Filipina Selatan. Dalam hal ini, menurut Prof. Din Syamsuddin (2012), PP Muhammadiyah dan Kementerian Luar Negeri berperan sebagai pihak penengah (mediator).
Kemudian penekanan khusus pada WPF ke-5, yaitu Muhammadiyah mendorong pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla untuk memberikan pengakuan terhadap keberadaan negara Kosovo. Menurut Din Syamsudin (2014), pengakuan terhadap negara Kosovo, pecahan dari Serbia, tidak didasari hanya sentimen keagamaan, namun lebih didasari atas sisi kemanusiaan dan perdamaian.
Din Syamsuddin menekankan bahwa tidak ada alasan untuk tidak mengakui Kosovo, hal itu didasari dalam hubungan Internasional Indonesia yang menganut bebas dan aktif, dan sesuai konstitusi UUD 1945.
Dan pada tahun 2015 Din Syamsuddin juga mengadakan Asian Conference of Religion for Peace (ACRP). Ada dua isu yang diangkat dalam pertemuan tersebut, yaitu mengoptimalkan peran agama-agama Asia untuk menghadapi dua fenomena besar: kebangkitan Asia Timur dan kawasan Asia Tenggara, yang kedua adalah menyikapi ancaman ekstremis yang mengatasnamakan agama.
Apa yang dilakukan oleh Guru Besar Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah dalam WPF dan beberapa aksi nyata lainya selama ini mengingatkan kita betapa pentingnya melakukan pencegahan konflik melalui dialog untuk dunia yang damai dan yang berkemajuan. Seperti kata pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati.
Selamat bertugas, Prof Din Syamsuddin!
Kolom terkait:
Ketika Agama Bawa Damai, bukan Perang: Belajar dari “Imam dan Pastor”
Jokowi, Pesantren, dan Proyeksi Perdamaian
Secercah Harapan di Balik Caci Maki Muslim dan Kristen