LELAH sekali rasanya beragama jika semua orang melulu berbicara syariah. Yang terbaru di negeri ini bahkan soal suap, ada juga yang syariah ternyata. Satu dan sama agama saja para pemeluknya bisa tanpa henti saling menyalahkan serasa merasa benar sendiri, apalagi beda agama.
Kubayangkan Gajahmada hidup di zaman ini dan mengepalkan tangan seraya mengikrarkan Sumpah Palapa, tidak lama kemudian niscaya ia bakal jadi korban perundungan, dibongkar jejak digitalnya, ditertawakan banyak warganet, dan mungkin malah dipaksa turun dari takhta Mahapatih Majapahit.
Entah apa lagi yang bisa menyatukan bangsa ini. Bhinneka Tunggal Ika? Atau saripatinya: Pancasila? Atau hukum-hukum agama? Atau adanya “musuh bersama” bagi seluruh atau sebagian besar anak negeri? Atau apa?
Terlalu banyak fenomena terjadi dalam kurun waktu yang saling berdekatan, lantas banyak pula yang tenggelam sesudah timbul hanya beberapa saat. Terlalu sering terjadi momentum sehingga tak cukup lama kontroversi bisa “dinikmati”, sudah muncul lagi yang berikutnya. Tak ada jeda sejenak yang membuat kita boleh berleha-leha. Semua bergerak amat cepat. Ruang dan waktu didesak.
Susah sekarang ini menemukan orang bijak. Siapa pun kini terlihat bijak: bisa menulis status bijak bestari di linimasa sambil tertawa, atau entah sambil apa. Susah pula mendapatkan orang cerdas yang mencerdaskan karena godaan menjadi lebih cerdas sedikit saja dari orang lain ialah membodoh-bodohkan yang dianggapnya lebih bodoh. Susah akhir-akhir ini memperoleh orang baik. Sebab, kebaikan makin sering dilabeli ini-itu bahkan dengan publikasi yang, sebutlah, baik pula. Susah menjumpai pendakwah yang tidak merasa pegang hidayah pula; mengingatkan kita pada kebenaran tanpa merasa lebih benar.
Aku senang membaca whatsapp kawan di sebuah grup tentang polemik bumi, apakah bulat atau datar. Kurang-lebih, ia menulis,” Secara ‘ilmal yaqin, bumi itu bulat. Secara ‘ainul yaqin, bumi itu datar. Secara haqqul yaqin, bumi itu serpihan yang teramat kecil bahkan “sirna” di hadapan semesta raya.”
Ia tak menyalahkan siapa pun dengan pendapat masing-masing. Ia mencoba mengerti—dan memahamkan kami, setidaknya aku. Alangkah indah jika sesaat istirahat dari saling bantah dan debat, lalu bersalaman, berangkulan, sekadar menanyakan kabar. Berhenti bicara surga-neraka, sebentar saja.
Sejenak saja mari bicara sebagai sama-sama manusia yang hidup di dunia. Ya, memang fana. Tapi, apa boleh buat, sampai detik ini kita masih hidup di dunia yang fatamorgana ini. Kaki kita masih menginjak tanah dan setinggi-tinggi ilmu kita juga kepala tidak menyundul langit ketujuh.
Mari sekadar menanyakan kesehatan, umur anak-anak dan pendidikannya, kondisi rumah apakah baik-baik saja, dan lain-lain yang tak menyenggol urusan privat dalam beragama. Biar saja berbeda pilihan agama, aliran, politik, kepala negara, kepala daerah, dan seterusnya, yang penting kita bisa mengobrol lagi.
Tema pemotongan gaji untuk zakat bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dibahas dari berbagai dimensi, dari perspektif agama sampai politik kekuasaan: tidak akan dua periode presiden sekarang jika tetap dipaksakan, demikian ujaran yang mulai digulirkan. Semua hal, bisa jadi bahkan setiap hal, rasanya kian mudah dijadikan amunisi untuk serang-menyerang lawan politik. Ya, lawan politik. Beragama pun mengapa makin terasa semacam berpolitik: jika berbeda maka berlawanan; dan berlawanan dalam hal ini dijuruskan sebagai saling lawan. Bukankah surga itu banyak dan masing-masing punya banyak pintu?
Untuk apa mudah mengkafirkan orang lain? Bukankah Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad SAW lebih suka memberi tanda-tanda saja daripada menunjuk hidung orang? Tanda-tanda orang kafir, syirik, munafik, misalnya. Jelas sekali maksudnya, yaitu supaya kita mawas diri dengan membaca tanda-tanda itu pada diri kita sendiri.
Apakah aku termasuk orang kafir, syirik, atau munafik? Sudahkah aku memenuhi tanda-tanda orang beriman, berserah diri pada Allah, bertakwa? Siapa tahu, dengan membaca tanda-tanda itu pada diri sendiri, kita kemudian berikhtiar untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Aku percaya, pesatnya perkembangan teknologi informasi secara kuantitas dan kualitas juga mengambil peran penting dalam masa transisi ini. Lihat saja, Pidi Baiq beberapa waktu lalu menegas-negaskan Dilan tak ada hubungannya dengan partai politik apa pun. Ia menulis status di Twitter menanggapi dipakainya Dilan sebagai maskot partai politik. Sebentar kemudian, muncul para pengguna lain, mulai dari Ditjen Pajak, Kepolisian, Tentara Nasional Indonesia, Komnas HAM, surat kabar, sampai calon gubernur yang memoles Dilan jadi media promo, publikasi, dan kampanye.
Pidi mungkin ingin bergerak cepat, untuk semacam mengklarifikasi. Tapi, media sosial bergerak lebih cepat dan mengklarifikasi: segala yang jika telah dipublikasikan maka menjadi milik publik. Hak paten? Hak atas kekayaan intelektual? Plagiasi? Adakah kontrak kerja sama antara pihak Pidi, pembikin film, dan pengguna ikon Dilan? Nanti, nanti saja dibicarakan.
Sekarang sedang musim Dilan dan masyarakat sedang euforia. Lagipula, tidak ada yang tidak terima, kok. Pidi tak menyoal lagi. Toh musim sering cepat berganti. Kita mudah lupa, sekaligus mudah ingat sesuatu hal, pada saat-saat tertentu.
Membendung informasi pada zaman sekarang seperti membendung hujan turun ke laut. Mana bisa kita memaksa hujan hanya boleh turun ke bumi? Mana bisa kita menahan warganet “berjasa” mengirimkan data dan informasi—yang entah valid atau tidak—sejak adanya citizen journalism? Hoaks dan ujaran kebencian pun berkembang dari sini.
Tema citizen journalism hanya sesaat, tak disertai pembekalan yang berkesinambungan, maka jadilah tiap orang merasa berhak memberitakan sesuatu hal tanpa ia merasa harus memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik. Karut marut dan salah kaprah bersatu.
Memiliki 47 ribu media massa; dengan rincian 2 ribu media cetak, 674 radio, 523 televisi, dan sisanya media online, sebagaimana disampaikan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dalam puncak peringatan Hari Pers Nasional 2018 di Padang, pada 9 Februari lalu, bisa dibayangkan gaduhnya penglihatan, pendengaran, perkataan, pikiran, dan perasaan kita setiap hari. Ke mana pun kita berpaling, di sana wajah berita-berita, entah apa saja berita itu. Sampai-sampai, segala hal sepertinya harus diberitakan. Yang tadinya tayang di Youtube seringkali lantas diikuti oleh pemberitaan, dan jadilah kontroversi berseri.
Ya, letih sekali memang jika apa-apa harus dilihat dengan kacamata agama, apalagi jika harus dengan sudut pandang syariah, setidaknya menurut aku yang tak pandai agama dan ilmu syariah ini. Ingin rasanya ada interval, jeda, spasi, istirah, atau apa pun namanya, yang bisa kita gunakan melepas beban.
Sesekali, jika memang semua harus berdimensi agama, boleh juga diobrolkan dari sisi thariqah, haqiqah, dan ma’rifah. Atau, aku sih sebenarnya ingin kita bicara tentang rindu. Tapi, orang-orang sudah telanjur percaya rindu itu berat, dan hanya Dilan yang boleh menanggungnya.
Ya sudah, kita bicara soal naturalisasi saja. Bagaimana?
Kolom terkait:
Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama
Tuhan Tidak Menghendaki Olok-olok
Keragaman Agama Itu Sunnatullah
Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?