Semalam, setelah mendengar kabar wafatnya, lalu membacakan Al-Fatihah, saya menjalankan semacam ritual penghormatan untuk jenazah almarhum Danarto dengan membaca salah satu karyanya yang berjudul: “Begitu ya Begitu, tapi Mbok Jangan Begitu”. Bagi saya, dengan “ritual” itu, Danarto akan terus “hidup”.
Karyanya yang saya baca itu sedikit berbeda. Bukan cerita pendek yang membesarkan namanya hingga mengantarkannya memenangkan Hadiah Sastra 1982 dari Dewan Kesenian Jakarta. Yang ini kumpulan kolom-kolom “Refleksi” yang terbit di Republika pada pertengahan 1990-an.
Bahkan, kolom-kolom itu, seperti diakui oleh Danarto dalam “Sekapur Sirih” di buku itu, berbeda dengan kolom-kolomnya biasanya. Yang terpenting karena di tengah sebagian besar umurnya di mana ia tak bisa marah-marah, ia bersyukur di sebagian kolom-kolom itu bersikap marah-marah dalam arti harfiah. Tentu, tak mudah bersikap berani marah-marah di media massa nasional di era itu. Besar risikonya. Tapi, justru itulah yang disyukurinya: ia berani saat “lumrahnya” takut, ia berbicara saat “amannya” diam.
Marahnya itu rata-rata pada apa yang disebutnya sebagai “Rakyat Besar” yang zalim sebagai terminologi antitesa dari “rakyat kecil” yang terzalimi. Juga soal HAM, agama atau bahkan Tuhan yang “dijual” murah, problem haji yang bermuara pada kapitalisasi (yang hari-hari ini betul-betul memprihatinkan seiring dengan kasus-kasus itu), tanda tangan di atas kertas yang menjadi jimat paling sakti dari jimat maling mana pun, dan lain-lain. Bahkan, salah satu kolomnya, ia berkirim surat pada Tuhan, mengadukan bangsanya: “S.O.S. Indonesia!!!” kalimat pertama surat itu.
Saya ingin membagikan sedikit bacaan saya semalam melalui kolom ini. Semata-mata untuk memperkenalkan buat yang belum kenal atau memberi nostalgia buat yang sudah mengenal, betapa Danarto adalah orang baik yang berhak mendapat penyaksian itu dari kita, sehingga—sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad riwayat Imam Bukhari—ia akan mendapatkan kelapangan jalan pada keridhoan Allah “di sana”. Tapi, bukan yang edisi marah-marah. Kita sudah bebas marah-marah saat ini, bahkan hingga telanjur.
Mari kita mulai dari judulnya dulu. Dari sana kita bisa mengenal betapa “zuhud”-nya beliau, dekatnya dengan spiritualitas Islam (sufisme), dan cakapnya mencari kesatuan antara keislaman dan keindonesiaan.
“Begitu ya begitu, tapi mbok jangan begitu” ini sebuah petuah yang populer di masyarakat Jawa: “Ngono ya ngono, ning mbok aja ngono”. Bagi Danarto, ia sebuah filosofi tentang kedewasaan yang melahirkan kewajaran (kemoderatan) dan berujung pada kesederhanaan. Ia merupakan ajakan untuk berpikir dan bertindak, tetapi jangan berpikir dan bertindak. Membingungkan? Memang! Apalagi kalau Anda bukan orang Jawa, mungkin agak sulit memahaminya secara kaffah. Tapi, maksudnya kira-kira begini: berpikir dan bertindaklah dalam batas kewajaran.
Dengan kewajaran itu, takkan terjadi tabrakan di antara kita. Kita boleh tak suka, tak setuju, dan lain-lain, tapi harus tetap menjaga kemasyarakatan kita. Misalnya, ada yang salah ya dikritik, tapi jangan sampai dibenci, apalagi dituduh yang bukan-bukan.
Dari mana petuah itu? Kata Danarto, itu bersumber dari ajaran tasawuf yang diajarkan para sufi penyebar Islam di Jawa. Seorang sufi bisa jadi ia kaya, tapi harus tetap “miskin”. Boleh memiliki, tapi jangan sampai dimiliki. Islam memang mengajarkan untuk tidak berlebihan. Makan dan minumlah, kata Nabi, tapi jangan berlebihan. Firman-Nya mengajarkan agar kebencian tak lantas membuat kita berlaku tak adil pada apa yang kita benci.
Bagaimana petuah itu bisa dijalankan di Jawa? Bagi Danarto, lantaran masyarakat Jawa dikenal selalu mengolah segala sesuatunya dengan rasa. Keseksamaan adalah pondasi hidupnya. Makanya dikenal petuah lain: Nuding, sing papat mbalik”. Artinya, kalau Anda nunjuk (yakni biasanya dengan satu jari telunjuk), empat jari lainnya ‘kan justru menunjuk diri sendiri.
Jadi, boleh menunjuk (mengkritik), tapi tetap introspeksi bahwa diri ini tak suci juga, jadi—lagi-lagi- jangan berlebihan dan penuh kebencian.
Mengutip Imam Ghazali, Danarto menulis kolom tentang menyalakan cinta sebagai tugas pokok kita. Cinta yang dikaruniakan Tuhan dalam setiap hati, tapi kemudian tertidur di sana. Semua tindak-tanduk kita harus bermuara pada cinta itu. Tulisnya, jika hidup adalah ibadah, maka tugas ibadah adalah menyalakan cinta. Adapun yang terjadi, kita olah pikiran, olahraga, olah skill, tapi tak olah rasa.
Kita tak pernah sadar atau disadarkan bahwa muara semua olah itu adalah olah rasa yang bervisi menyalakan cinta. Dan itu menjadi masalah pokok kemasyarakatan kita: bagaimana kita memperlakukan orang lain sebagaimana memperlakukan diri sendiri.
Hari ini, Danarto sudah wafat. Tentang kematian itu sendiri, ia pernah menulis: “Ternyata kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tidak terbatas. Luas bagai cakrawala. Mengapa harus ditangisi? Jelas ini salah tafsir”. Tulisan ini mengingatkan saya pada apa yang datang dari Jalaluddin Rumi, sufi Persia tersohor itu:
Tatkala aku mati, tatkala kerandaku didekatkan,
Jangan mengira aku akan merindui dunia ini.
Tak perlu meratapi kepergianku.
Aku tidak tersuruk ke dalam kegelapan.
Tatkala jasadku dipandu, jangan tangisi kepergianku.
Aku tidak pergi, aku tengah tiba pada cinta abadi.
Sampai sini, mungkin Anda bertanya-tanya: “Mas Danarto ini budayawan apa sufi, sih?!” Saya jawab: “Begitu ya begitu, tapi mbok jangan begitu”. Memangnya kalau budayawan gak boleh nyufi, atau sufi gak bisa berbudaya?
Akhirnya, kolom ini tetesan super kecil dari samudra karya-karya Danarto. Bacalah! Sebelum dan sesudahnya, jangan lupa bacakan Al-Fatihah untuk almarhum.
Jangan lewatkan:
Para Imam Mazhab di Tengah Perbedaan Pendapat
Asia Tengah: Pusat Peradaban Islam yang Terlupakan