Minggu, Oktober 13, 2024

Cadar dan Wajah Islam

Ali Romdhoni
Ali Romdhoni
Pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China. Pengurus Cabang Istimewa NU Tiongkok.

Meskipun tidak selalu, pada hari tertentu saya mengajak keluarga untuk bersama-sama menunaikan ibadah salat di masjid. Seperti pada Jumat pekan lalu. Selain untuk menumbuhkan sikap dan kebiasaan pada puteri dan putera kami, perjalanan dari rumah menuju masjid yang membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dengan menggunakan kendaraan umum (bus) bisa menjadi semacam rekreasi tersendiri.

Siang itu, sekitar pukul sebelas waktu Harbin, kami berangkat menuju ke Masjid Daowai, di Harbin, China. Di dalam bus, karena mengetahui istriku berjilbab, kami disapa oleh seorang muslimah bercadar dengan mengucapkan salam.

Wanita itu bersama suami serta tiga orang anak. Dari raut muka si suami, saya bisa mengerti bahwa mereka adalah keluarga berkebangsaan Pakistan yang sedang studi di China.

Melihat keberadaan wanita bercadar di beberapa kampus di Harbin, bagi saya bukan hal baru. Saya bahkan juga bertetangga dengan seorang teman mahasiswa yang istrinya bercadar. Hampir setiap hari anaknya bermain bersama anak saya.

Ya, seperti keluarga yang bertemu kami di dalam kendaraan bus tadi, keluarga tetangga saya itu juga berasal dari Pakistan. Meskipun demikian, tidak semua mahasiswi yang berasal dari Pakistan bercadar. Di kelas, saya mempunyai seorang teman mahasiswi dari Pakistan yang tidak bercadar.

Melalui tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk berempati kepada masyarakat tuan rumah. Bagaimana perasaan kita bila kedatangan tamu, di sisi lain si tamu tidak mau memperlihatkan rupa wajahnya. Bagaimana kita menjaga prasangka baik kepada orang yang jelas-jelas menutup diri dari bertegur-sapa dan berhubungan baik untuk saling mengenal kepada kita.

Dalam pengalaman saya (Anda tentu boleh memiliki pengalaman berbeda), orang yang bercadar cenderung menutup diri. Mereka membatasi diri dalam bersosialisasi dengan tetangga, mengurung diri dalam rumah atau kamar, dan oleh karena itu sering absen dari partisipasi social di lingkungan terdekat.

Bila bertempat-tinggal di apartemen khusus untuk mahasiswa asing, misalnya, pihak pengelola tentu menghadapi persoalan tersendiri. Bagaimana untuk memastikan bahwa yang keluar-masuk apartemen adalah masyarakat yang memang benar-benar warga setempat. Ketika hal ini dihubungkan dengan masalah keamanan, tentu menjadi persoalan.

Tidak hanya persoalan itu. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah dengan iklim yang ekstrem seperti China, pakaian tidak semata-mata masalah suka atau tidak suka, pantas atau tidak pantas. Jenis dan model pakaian musti disesuaikan dengan kondisi alam, dan terutama kondisi cuaca pada waktu itu.

Sudah berapa kali istri saya ditanya oleh warga, karena memakai pakaian panjang dan berjilbab, sementara kondisi cuaca telah memasuki summer (musim panas). “Apa tidak sumuk, dalam musim yang panas seperti ini memakai pakaian seperti itu,” tanya mereka.

Pada satu hari, kami bertemu ibu-ibu berusia lima puluh tahunan. Setelah menyapa kami, buru-buru ibu-ibu ini ingin membantu membetulkan cara berpakaian istri saya yang baik dan benar, menurut ukuran dia. Apalagi bila yang mereka anggap berpakaian tidak sesuai dengan keadaan adalah anak-anak kami. Mereka bisa tidak berhenti mengingatkan, sebelum kami mengikuti. Unik, bukan?

Tetapi perlu dicatat. Mereka seperti itu bukan karena tidak senang, atau melarang orang berpakaian longgar dan tertutup. Mereka sebenarnya merasa kasihan dan menganggap bahwa pakaian seperti itu tidak sesuai dengan keadaan. Serius.

Nah, berbeda lagi kondisinya di musim dingin (winter). Kalau Anda sempat jalan-jalan ke Harbin di musim dingin, tentu akan mendapatkan pemandangan yang “islami”. Semua orang berpakaian lengkap dan tertutup. Pakaian mereka nampak seperti jubah, lengkap dengan penutup kepala, masker dan juga sarung tangan.

Tetapi tahukah Anda bahwa mereka tidak sedang berjubah, tidak pula memakai gamis atau pakaian muslimah lainnya. Sebenarnya yang terjadi karena memang musim pada waktu itu menuntut orang untuk berpakaian tertutup dan tebal.

Saya saja terkecoh ketika pertama kali datang ke Harbin, dan pada waktu itu memang menjelang masuk musim dingin.

Pada satu hari saya mendapati seorang perempuan berpakaian tertutup, termasuk penutup kepala yang mirip dengan jilbab. Saya bertanya kepada seorang teman yang sudah lama tinggal di Harbin.

“…Apakah mereka itu muslimah,” tanya saya.
“Bukan, mereka berpakaian begitu karena kedinginan…,” jawab teman saya. Kami pun tertawa bersama.

Jangan Tutupi Wajah Islam

Sebagai seorang Muslim, kita sebenarnya sedang mengekspresikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran agama Islam itu sendiri. Terlebih ketika kita sedang berada di tengah mayoritas masyarakat yang belum mengenal dan mengerti Islam, maka kita sesungguhnya sedang melakukan semacam exhibition.

Pada saat itu, kita dituntut untuk bisa menyampaikan pesan perdamaian kepada semua orang yang kita temui. Di mana pun. Kita musti menyanggupi ajakan untuk berbuat baik. Termasuk kita juga harus bersedia menjadi bagian dari komunitas yang terbuka, saling mengenal dan melindungi antara satu dengan yang lainnya.

Mengapa demikian? Karena begitulah sejatinya kebaikan dan kebesaran yang terkandung dalam ajaran Islam. Pesan keindahan Islam ini harus kita sampaikan kepada audiens, masyarakat di hadapan kita.

Bagaimana kedatangan Islam bisa menjadi kabar gembira, jika muka si pembawa Islam saja tidak mau dilihat oleh calon penerima kabar yang dibawa Islam. Bukankah aneh seorang penjual dagangan tidak mau disahabati oleh calon pembeli. Bagaimana dagangan kita akan laku keras, bila model marketing kita sudah sangat menakutkan.

Meskipun demikian, saya sepenuhnya bisa menerima dan menghargai saudara-saudariku yang memutuskan untuk bercadar. Wassalamu ‘ala manittaba’al huda.

Baca juga:

Mengkaji Apa itu Islam

“Islam Kaffah” yang Bagaimana?

Haji dan Kemunculan Islam

Ali Romdhoni
Ali Romdhoni
Pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China. Pengurus Cabang Istimewa NU Tiongkok.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.