Tidak hanya terjadi di Indonesia, kemunculan kelas menengah Muslim merupakan fenomena global yang juga dialami oleh negara-negara di dunia. Baik yang mayoritas ataupun minoritas terdiri dari kelompok Islam seperti di Malaysia, Turki, India, Inggris, dan Australia.
Secara eksternal munculnya kelas menengah Muslim terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi-sosial sekuler secara global, dan secara internal adanya keterhubungan identitas Muslim berikut prinsip-prinsip yang dipegang dan kebiasaan konsumsi. Tumbuhnya kelompok Muslim menengah ini kemudian membuka pasar global secara luas dengan kehadiran brand-brand Islami (Rakhmani, 2016).
Dalam konteks Indonesia, salah satu indikator pertumbuhan kelas menengah Muslim pasca rezim Orde Baru bisa dilihat dengan meningkatnya jemaah umrah di Indonesia. Peningkatan ini tidak hanya menandai intensitas keagamaan, melainkan juga torehan ekonomi
Sebagaimana dikutip oleh Kata Data (3 Maret 2017), menurut laporan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi, jumlah visa umrah yang telah dikeluarkan untuk Indonesia pada 2016 mencapai 699,6 ribu jemaah. Jumlah ini meningkat 7,2 persen dari tahun sebelumnya. Indonesia masuk dalam peringkat nomor ke-3 terbanyak setelah Mesir sebagai urutan ke-1 dengan jumlah 1,3 juta jemaah, naik 17 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 1,1 juta jemaah.
Pakistan berada diurutan ke-2 dengan jumlah visa mencapai 991 ribu jemaah, juga naik 29 persen dari tahun sebelumnya, 703,85 ribu jemaah. Sementara itu, di bawahnya menyusul secara berurutan, yaitu Turki (4), Yordania (5), India (6), Aljazair, (7) Malaysia, (8) Uni Emirat Arab, dan Irak (9).
Namun, menurut laporan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi yang dilansir oleh Arab News setahun berikutnya, pada 25 Juni 2017, Indonesia menempati urutan kedua dengan jumlah 875,958 orang, mengalami kenaikan sampai 25 persen. Urutan pertama masih ditempati oleh Pakistan dengan jumlah 1,446,284 orang, naik hingga 45 persen.
Faktor utama mengapa jumlah jemaah umrah meningkat di Indonesia adalah tidak perlu menunggu antrian. Berbeda dengan ibadah haji yang membutuhkan waktu lama dengan jadwal antrian hingga bertahun-tahun, melaksanakan ibadah umrah bisa dilakukan berkali-kali asalkan memiliki uang kisaran Rp 20 juta – 60 juta. Jumlah uang yang dibayarkan ini tergantung dari kelas umrah yang diambil dan juga momentum bulan, di mana Ramadhan menjadi harga termahal untuk ibadah umrah.
Bagi mereka yang memiliki uang berlebih, jumlah tersebut tidak mahal. Setiap tahun, kelas menengah dan elite Muslim Indonesia bisa 2-3 kali melaksanakan ibadah umrah. Namun, alih-alih sekadar beribadah, dalam level ini mereka menjalankan ibadah sekaligus berlibur ke negara-negara terdekat dari Arab Saudi.
Di sisi lain, bagi orang-orang kelas menengah ke bawah, ibadah umrah kemudian menjadi jalan keluar terbaik untuk pergi haji ke tanah suci di tengah lamanya menunggu ibadah haji dan mahalnya biaya tersebut yang harus ditangguhkan.
Kemampuan ekonomi, pasar yang luas, dan keinginan ke tanah suci dengan segera merupakan lahan basah untuk biro haji dan umrah. Dengan agresif, banyak dari biro haji dan umrah menawarkan pelbagai paket umrah; dari mulai paket hemat hingga premium bersama ustaz–ustazah terkenal hingga umrah bareng artis; sekalian berlibur ke negara-negara terdekat seperti Turki, Mesir, Dubai, dan Maroko hingga negara-negara Eropa.
Di tengah persaingan tersebut, tidak sedikit biro perjalanan tersebut kemudian mengiming-imingi dengan paket umrah promo di luar harga normal, yaitu Rp 14 juta. Harga murah dan pendekatan agresif di setiap pelosok daerah inilah yang memungkinkan tiga biro perjalanan (First Travel, PT SBL, dan Abu Tours) mendapatkan akumulasi keuntungan yang berlimpah.
Untuk mengakali biaya murah tersebut, mereka tidak menggunakan sistem yang lumrah digunakan, yaitu menggunakan uang jemaah umrah lalu mengambil marjin keuntungan dari total biaya. Sebaliknya, tiga biro perjalanan tersebut justru mengambil dua sistem, yaitu multi level marketing (MLM) dan sistem ponzi. Dengan sistem MLM, untuk berangkat umrah dengan harga murah tersebut, calon jemaah umrah harus bisa mencari minimal dua orang agar ia bisa berangkat.
Dua orang ini kemudian dituntut untuk mencari calon jemaah lain agar mereka bisa berangkat. Adapun sistem ponzi lebih pada menggunakan uang calon jemaah umrah untuk investasi yang lain. Hasil dari uang investasi ini yang diharapkan dapat membayarkan calon jemaah umrah tersebut dengan menutupi kekurangan ongkos sebelumnya tidak bisa ditutupi.
Kenyataannya, sejumlah uang calon jemaah umrah tersebut digunakan untuk menopang hasrat gaya hidup pemilik biro perjalanan tersebut. Hal ini tercermin dari dua pemilik biro perjalanan First Travel dan Abu Tours. Kemiskinan dan kesulitan hidup yang dulu mereka dan keluarga alami, dari mulai berjualan warung kelontongan, jualan pulsa, dan es krim potong keliling, bukan dijadikan ruang refleksi untuk membantu semaksimal mungkin umat Islam ke tanah suci yang selalu dirindukan.
Lebih jauh, sejumlah uang yang berhasil dikumpulkan oleh calon jemaah umrah tersebut justru menjadi semacam medium dendam untuk mengutuki kemiskinan dengan cara membeli semua kemewahan yang mereka tidak bisa dapatkan sebelumnya, mulai dari mobil dan aksesoris sepatu dan tas mahal hingga mengisi liburan ke kota-kota Eropa yang sebelumnya tidak pernah mereka pikirkan.
Di sini, media sosial seperti Instagram dan Facebook menjadi limpahan ekspresi yang menandakan kepuasaan atas capaian yang mereka dapatkan. Alih-alih melakukan prinsip-prinsip Islam di mana kerja keras menjadi utama untuk meraih maksimal, dengan ingin kebelet dan ngebet kaya, mereka melakukan cara-cara kriminal sambil berharap umat Islam mengampuninya.
Penggelapan uang dan raibnya seluruh uang calon jemaah umrah yang tidak bisa diberangkat ini tidak hanya menjadi cermin bagi agen biro perjalanan lain agar lebih berhati-hati, tetapi juga menunjukkan tindakan zalim itu bukan berasal dari anggota masyarakat yang beragama lain, melainkan justru dari internal umat Islam itu sendiri. Mereka bermain sangat kotor dengan amanah uang umat yang mereka percayai.
Kezaliman ini yang merenggut mimpi masyarakat kelompok Muslim menengah bawah yang setiap hari berzikir dan berdoa untuk bisa mencium Ka’bah. Mimpi-mimpi ini mereka wujudkan dari menyisihkan sebagian besar pendapatan harian dan bulanan mereka dengan memberikannya kepada biro perjalanan tersebut sebagai bentuk tabungan.
Memang, dari tindakan kriminal ini, negara melalui aparatusnya sudah bergerak menangkapi mereka. Namun, pernyataan keras harus diserukan juga oleh organisasi besar Islam seperti Muhammadiyah dan NU sebagai bentuk peringatan sekaligus kewaspadaan kepada biro perjalanan yang mencoba-coba nakal kepada para calon jemaah umrah.
Memang, menurut KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), apa yang dilakukan oleh First Travel itu sebagai murni kriminal, yaitu penipuan, di mana dalam Islam sendiri ada hukumanya bagi para penipu dan UU Indonesia juga sudah mengaturnya (www.liputan6.com, 2 September 2017).
Harus diakui, secara ucapan, tidak ada satu pun dari pemilik biro perjalanan tersebut yang menghina agama Islam. Namun, secara tindakan, apa yang mereka lakukan telah melanggar Pasal 156a KUHP terkait dengan penistaan agama, yaitu “dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (1) melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”.
Dalam konteks ini, biro perjalanan tersebut telah melakukan perbuatan penyalahgunaan agama Islam, yakni uang umat Islam untuk pergi ke tanah suci; sebuah ibadah yang dimuliakan dan disunahkan dalam Islam. Pertanyaannya, apakah kita berani melakukan kajian penistaan agama dalam kasus ini secara serius?
Kolom terkait:
Ketika Berhaji Sekadar Berburu Huruf “H”
Agama dan Korupsi: Dari Patung Yesus hingga Haji dan Umroh