Ideologi, dalam bentuk apa pun, selalu mendistorsi realitas. Pertanyaan “Apakah agama menimbulkan kekerasan” adalah pertanyaan ideologis dan … retoris. Untuk mengubahnya menjadi pertanyaan ilmiah, kita harus meninggalkan konsep agama yang elusif. Seperti disebutkan di atas, konsep “agama” terlalu abstrak sehingga tidak bisa dioperasionalisasikan. Untuk menjawab pertanyaan di atas, yang menjadi pokok bahasan tulisan ini, kita harus membatasi konsep agama pada “aktor-aktor agama”.
Yang dimaksud dengan aktor agama ialah orang yang dibentuk oleh komunitas agama dan yang bertindak dengan maksud untuk menegakkan, menyebarkan, atau mempertahankan nilai-nilai dan ajaran agamanya. Individu, kelompok, komunitas, atau bahkan negara yang raison d’etre dibentuk oleh dan untuk agama kita masukkan dalam kategori aktor agama. Dengan begitu sekarang, kita dapat memilahkan dengan tegas mana tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aktor agama dan mana yang bukan.
Kita mengubah perumusan masalahnya: Benarkah aktor-aktor agama menyebabkan tindakan kekerasan? Pada situasi apa aktor-aktor agama itu terdorong untuk melakukan tindakan kekerasan? Pertanyaan pertama dengan segera bisa kita jawab dengan afirmasi. Tanpa harus menengok kepada sejarah masa lalu, setiap hari kita melihat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aktor-aktor agama. Tugas kita ialah menjawab pertanyaan yang kedua.
Mengapa Aktor Agama Melakukan Tindakan Kekerasan?
Imam Khomeini adalah manusia yang lahir dari garba Islam, dibentuk dalam sistem sosial Islam, dan berjuang untuk Islam. Mengapa ia menggerakkan bangsa Iran untuk melakukan revolusi? Desmond Tutu adalah seorang Anglikan yang saleh. Mengapa ia melakukan perlawanan dengan kekerasan? Hamas adalah organisasi yang lahir dari kelompok Islam dan berjuang membebaskan Palestina berdasarkan nilai-nilai Islam. Mengapa Hamas melakukan perlawanan bersenjata?
Walaupun kita memusatkan perhatian kita pada aktor agama, kita tidak akan melacak sebab-sebab tindakan kekerasannya pada faktor-faktor individual: faktor biologis, predisposisi personal, pengalaman masa kecil, struktur kepribadian. Kita akan jatuh pada apa yang disebut Lee Ross sebagai fundamental attribution error (FAE).
Analisis individual tentang aktor keagamaan yang melakukan kekerasan membawa kita pada sesat fikir (fallacy) seperti menyalahkan korban (blaming the victim). Mereka langsung disalahkan melakukan kekerasan karena mereka, misalnya, memang punya “bakat” keras. Mereka menderita gangguan kejiwaan atau cacat dalam struktur kepribadian mereka. Dengan begitu, kita mengabaikan institusi-institusi sosial seperti sistem ipoleksosbud yang membentuknya. Masyarakat dan negara dilepaskan dari “kesalahan” apa pun. Pelaku kekerasan harus menanggung seluruh beban.
Karena keterbatasan ruang, dalam tulisan ini saya hanya menyebut dua faktor situasional yang mendorong aktor agama untuk melakukan tindakan kekerasan: (1) Orientasi keagamaan yang dianut oleh kelompok mayoritas, dan (2) Perlakuan tidak adil dari pemegang hegemoni.
Orientasi Keagamaan. Aktor agama hidup di tengah-tengah sistem sosial dengan tradisi yang sudah berlangsung sejak zaman nenek-moyangnya. Perlahan tapi pasti ia menyerap nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan yang diterima secara umum. Ia menginternalisasikannya setelah terlibat dengan agen-agen sosialisasi seperti sekolah, madrasah, masjid, gereja, media, komunitas dan tokoh-tokohnya.
Ada tiga orientasi keagamaan. Ketiganya berkaitan dengan tingkat toleransi akan perbedaan paham, yang pada gilirannya berhubungan dengan penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
Berdasarkan tiga orientasi itu, kita mengidentifikasi tiga tipe aktor agama. Ekslusivis adalah aktor agama yang membangun tembok dan menciptakan sebuah “enclave”, daerah terlindung, yang steril. Ia hanya percaya pada satu-satunya kebenaran, satu jalan untuk memahami realitas, dan satu cara untuk menafsirkan teks-teks suci.
Secara soteriologis (ilmu tentang keselamatan), ia percaya hanya kelompok dia saja yang akan selamat. Kelompok yang lain dijamin “masuk neraka”. Sebaliknya, inklusivis, mengakui adanya keragaman tradisi, komunitas dan kebenaran. Semuanya adalah jalan menuju kebenaran. Tetapi agama (baca, paham keagamaan) yang dianutnya tetaplah jalan yang paling lurus, yang paling sempurna, di atas dan mencakup semua paham keagamaan lainnya.
Terakhir, pluralis menganggap bahwa kebenaran bukan hanya milik satu tradisi atau komunitas keagamaan. Perbedaan komunitas dan tradisi tidak dianggap sebagai penghalang yang harus dilenyapkan, tetapi sebagai peluang untuk dialog (dalam pengertian Martin Buber).
Kaum eksklusivis memiliki tingkat toleransi paling lemah dan kelompok pluralis mencapai tingkat toleransi paling kuat. Menurut David Little, “bersikap toleran pada tingkat minimalnya berarti merespons kepercayaan dan pengamalan agama yang dianggap devian tanpa menggunakan intervensi kekuatan”. Walhasil, para aktor keagamaan akan melakukan tindakan kekerasan bila mereka “dibesarkan” dalam orientasi keagamaan yang bersifat eksklusif.
Kita dapat mengoperasionalisasikan tujuh tahapan toleransi. Kaum eksklusivis menduduki tahap pertama toleransi, membiarkan, yakni bersedia hidup bersama dengan agama yang lain dan tidak menyerang mereka. Kaum inklusivis menduduki tahap kedua mengakui¸yakni setelah bersedia hidup damai dengan agama lain, ia juga mengakui hak hidup agama lain itu.
Tahap ketiga, meneliti, berusaha ingin tahu tentang agama lain, walaupun sepintas. Tahap keempat, menghormati¸mengakui kontribusi setiap agama pada kemanusiaan. Kaum pluralis meneruskan kaum inklusivis dengan memasuki tahap kelima, belajar, yakni mempelajari agama yang lain dengan mendalam dengan sikap rendah hati dan tujuan memahami.
Tahap keenam, mengapresiasi, yakni menghargai persamaan dan perbedaan antara agama. Dan tahap ketujuh (terakhir), merayakan, menikmati keragaman dan mengggunakan kontribusi setiap agama untuk memperbaiki dirinya dan masyarakatnya.
Aktor agama yang ekslusivis, ketika bergabung dengan aktor politik, etnis, dan nasionalis, akan mengembangkan intoleransinya dari menolak, menolak keabsahan kelompok agama lain; ke membatasi¸ melakukan diskriminasi dan membatasi hak sipil kelmpok agama lain; ke menindas, merampas hartanya, menjatuhkan kehormatannya, melanggar hak-hak asasinya; mendehumanisasikan, menganggap kelompok agama lain tidak lagi sebagai manusia; membunuh, menumpahkan darahnya, memeranginya, dan akhirnya melenyapkan, holocaust, melakukan genosid, menghilangkan kelompok agama lain sama sekali.
Perlakuan tidak adil. Perkembangan intoleransi yang makin memburuk terjadi pada kelompok aktor agama yang merupakan kelompok mayoritas atau memiliki kekuatan politik dan ekonomi. Aktor agama yang lemah dan hidup di bawah hegemoni kelompok yang lain sering terdorong untuk melakukan kekerasan karena sempitnya pilihan untuk tidak menggunakan kekerasan.
Para tokoh agama di Iran sering mengutip ucapan Ali bin Abi Thalib untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap kekuasaan yang ditopang oleh militer, “Kematian ada dalam kehidupan yang ditaklukkan. Kehidupan ada pada kematian yang menaklukkan.”
Ali bin Abi Thalib juga sering dikutip ketika ia berkata, “Kezaliman hanya akan bertahan apabila ada kerjasama antara yang menzalimi dengan yang dizalimi.” Bersikap diam ketika penindasan dan penganiyaan terhadap umat Islam sama saja dengan mendukung kezaliman itu. Atas dasar itulah Imam Khomeini mengubah acara Asyura yang melukai diri sendiri menjadi acara Asyura yang diarahkan kepada para pelaku kezaliman. Inilah makna syahid.
Di Afrika Selatan, Desmond Tutu, Uskup Besar Anglikan, menyaksikan politik apartheid yang dilakukan pemerintah kulit putih. Menurut uskup besar ini, memperlakukan manusia sekan-akan mereka di bawah makhluk Tuhan, menindas mereka, menginjak-injak hak-hak mereka, bukan hanya kejahatan, tetapi kekafiran, karena sama saja dengan meludahi muka Tuhan. Karena itu, kata Tutu, “kita begitu bersemangat untuk menentang kejahatan apartheid.”
Selanjutnya ia menegaskan, “Setiap orang beriman tidak punya pilihan. Di hadapan ketakadilan dan penindasan, kita melawan Tuhan jika kita tidak melawan kezaliman dan penindasan itu.”
Muhammad Fnaysh, salah seorang pimpinan Hizbullah berkata, “Islam bukanlah agama kekerasan. Islam adalah agama yang memberikan izin kepada para pengikutnya untuk melawan agresor berdasarkan keadilan dan kebenaran.” Ia kemudian mengutip Surat 22:39-40. “Tidak ada makna pada kehidupan, tidak ada nilai, tidak ada kebebasan bagi manusia jika kita mengizinkan para penindas melaksanakan agresi sambil tidak ada hak bagi orang tertindas untuk melakukan pembalasan,” kata Fnaysh.
Ketika Yasser Arafat mengecam bom bunuh diri sebagai tindakan yang merugikan perjuangan Palestina, Ismail Haniyeh, tokoh Hamas berkata, “Abu Ammar dipaksa untuk membuat pernyataan tentang operasi syuhada… Ia sedang berbicara kepada dunia luar, bukan kepada rakyat Palestina. Walaupun ia melakukan seruan-seruan tadi, Israel tidak akan berhenti melakukan pembantaian dan agresi. Kita tidak punya pilihan kecuali mempertahankan diri kita bahkan dengan serangan syahid sekalipun. Tetapi, pada saat yang sama kami tidak bermaksud melukai seorang sipil pun dan bukan pula kami yang memulai.. Israel memulainya di Hebron dan masih terus berlangsung… Rakyat mana yang ditindas seperti ini tidak ingin mempertahankan dirinya.”
Aktor agama tahu bahwa semua agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan. Jika bagian pertama ajaran agama tidak bisa dilaksanakan, pilihannya hanyalah bagian kedua. Kamu ubah kemunkaran dengan tanganmu. Jika kamu tidak bisa, ubahlah dengan lidahmu. Jika kamu tidak bisa, ubahlah dengan hatimu. “Tapi itu iman yang paling lemah,” sabda Nabi SAW.
Tulisan ini hanya memberikan kerangka teoretis untuk memahami tindakan kekerasan yang diduga diilhami oleh atau dilakukan atas nama agama. Ketika menganalisis kekerasan yang terjadi di negeri kita, kita dituntut untuk tidak terjebak dengan ideologi sekular yang bermaksud memojokkan agama. Pada saat yang sama juga, kita tidak begitu saja menafikan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aktor-aktor agama.
Pada dasarnya, aktor agama tidak cenderung menggunakan kekerasan, seperti yang dikumandangkan oleh kaum ateis. Faktor-faktor situasional seperti dominasi orientasi dan wacana keagamaan yang eksklusivis dan perlakuan tidak adil “memaksa” aktor agama untuk memilih kekerasan. Karena alasan ini, kita dapat merumuskan hipotesis bahwa aktor-aktor agama sebetulnya lebih mudah menjadi agen-agen perdamaian ketimbang menjadi pelaku kekerasan. Ini tampaknya memerlukan pembahasan tersendiri.
Baca juga: